Menu Utama

Minggu, 29 Agustus 2010

Negeri Tentara,,

Oleh : Saddam Tjahyo**

Bicara perkembangan sejarah Negara Indonesia berarti juga bicara soal militernya. Tidak dipungkiri, peran militer maupun sipil bersenjata dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan sebuah bangsa memang sangat vital. Saya jadi tersenyum mengingat karikatur rubrik opini Lampost edisi 26 Juni lalu yang menggambarkan sosok seorang TNI berwajah pucat yang berteriak siap terjun dengan parasut menuju sebuah kotak suara bertuliskan Pemilu 2014.

Wacana yang digulirkan Presiden SBY di Istana Cipanas pertengahan Juni lalu memang menambah polemik dalam masyarakat. SBY meminta Panglima TNI mempelajari kemungkinan dikembalikannya hak pilih TNI/Polri dalam Pemilu 2014 mendatang. Sangat kontroversial memang pernyataan SBY ditengah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap seluruh lembaga terkait penegakan hukum seperti ini, tak terkecuali TNI.

Militer di Indonesia memiliki sejarah yang fenomenal. Era Soekarno militer mengalami beberapa kali reformasi internal dengan deretan gejolak konflik dan intrik di dalamnya, Era Soeharto selama tiga dasawarsa lebih militer memiliki peran yang sangat strategis bagi hajat hidup rakyat Indonesia. Atas nama demokrasi, militer Indonesia diberi hak lebih spesial dari warga negara yang lain, yakni dwifungsi ABRI fungsi pertahanan dan keamanan serta fungsi politik yang sangat dominan dalam masyarakat. Era Reformasi, TNI diasingkan dari dunia politik dan dikembalikan ke baraknya.

Pengaruh Pemerintahan Soeharto dengan nuansa militeristiknya selama 32 tahun itu memang sangat mengakar dalam kultur masyarakat kita. Banyak masyarakat kita yang bangga memiliki famili militer, memajang foto militer berseragam di ruang tamu atau toko, menggunakan atribut dan aksesoris militer dalam keseharian, dan sebagainya seolah hal ini sudah menjadi kultur lumrah yang merasa terangkat harkatnya bila berperilaku seperti itu, tidak salah memang.

Kini dua belas tahun lebih menghirup demokrasi yang lebih baik, kita masih belum dapat melepas akulturasi budaya militeristik yang terbentuk selama 3 generasi sebelumnya. Membicarakan militer memang kerap dianggap tabu diungkapkan dalam realitas politik Indonesia karena resikonya diannggap besar bila berurusan dengan mereka. Apakah negara ini negerinya tentara ? tentu kita tidak bisa mengiyakan begitu saja. Militer memang tidak lagi tampak berkuasa dominan, tetapi bila kita cermati, peran militer dalam sistem politik dalam negeri sangatlah kental namun tercover dengan apik. Dari presiden, jajaran birokrasi, anggota parlemen hingga kepala daerah masih diwarnai oleh purnawirawan militer dengan karakternya.

Sebagai warganegara, militer memang semestinya memiliki hak politik yang sama dengan masyarakat lainnya. Dalam relasi hubungan negara dan warga negara demokrasi hak politik tidaklah boleh diskriminatif karena merupakan hak asasinya sebagai manusia. Untuk itu wacana pemulihan hak politik militer tidaklah menyimpang. Namun kita tidak bisa begitu saja menyepakati kebijakan pemulihan suara TNI/Polri pada pemilu 2014 nanti. Perlu dikaji serius karena ini sangatlah rentan disalah gunakan dan memiliki potensi buruk bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Mengingat catatan sejarah buruk ketika negara memberi hak memiliki senjata sekaligus berkuasa pada warga negaranya dalam berbagai aspek kehidupan.

Belum ditetapkan saja, kebijakan ini sudah mendapat apresiasi berlebihan dari berbagai fraksi di DPR, para politisi sipil itu fasih melogikakan alasannya. Memang tak bisa di pungkiri demokrasi di negara ini mungkin hanya panggung dari konflik kepentingan antar golongan, dan diwarnai dengan pragmatisme politisi sipilnya.

Tidak bisa sesederhana itu melegitimasi kembalinya hak politik spesial militer, kajian serius soal kedewasaan dan kesiapan institusi TNI/Polri untuk kembali terjun dalam jantung politik perlu kita pertanyakan, trake record buruk sebelumnya perlu kita nilai kembali dengan kritis. Bisa dikatakan, kebijakan ini adalah transformasi remiliterisasi di negeri ini, untuk menopang keberhasilan purnawirawan-purnawirawan yang sudah berhasil maupun akan menduduki jabatan publik tertentu kelak.

Setidaknya syarat lazim seperti stabilitas politik, supremasi sipil, infrastruktur politik yang kokoh, dan kematangan politisi sipil agar kuat dari hegemoni politik militer harus terlebih dulu di bangun. Selain itu independensi anggota TNI/Polri dalam menggunakan hak politiknya juga perlu dipastikan kokoh dari intervensi kesatuan maupun atasan, mengingat pola militer yang patuh dan disiplin dalam segala hal dan jagoan-jagoan politik saat ini dipenuhi berbagai purnawirawan tinggi.

Pemulihan hak politik militer belumlah menjadi kebutuhan pokok yang harus dibahas sekarang ini, karena sangat rentan menjadi legitimasi remiliterisasi yang sarat kepentingan dan semakin menjauhkan langkah menuju demokrasi yang sejati. Karena negeri ini bukanlah negeri tentara.


** Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Sekretaris LMND Eksekutif Kota Bandar Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar