Menu Utama

Senin, 04 Oktober 2010

Jangan Lupakan Tragedi UBL Berdarah !!

Oleh : Saddam Cahyo**

Tahun ini genap 11 tahun masyarakat Lampung kembali melewatkan momentum sejarah gerakan massanya yang terbesar sepanjang reformasi di tegakkan di negeri ini. Dalam suasana euforia kemenangan reformasi, bangsa kita menghadapi babak baru, dimana era keterbukaan mulai di usung, tak luput masyarakat Lampung yang juga berpartisipasi aktif dalam proses sebelumnya.

Gerakan rakyat di Lampung kala itu bisa dikatakan sangat solid, karena masyarakat yang dipelopori gerakan intelektual mahasiswa mulai menyadari pentingnya mengorganisir diri dan memperjuangkan hak hidup bersama, termasuk dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Tidak hanya di Lampung, lompatan kualitas kesadaran masyarakat akan pentingnya menegakkan demokrasi juga bermunculan di seluruh pelosok negeri, begitupun berbagai reaksi massa untuk menyuarakan pendapatnya di muka umum telah menjadi budaya positif yang baru.

28 September 1999, gerakan rakyat di Lampung kembali melakukan gejolak perlawanan untuk menolak kebijakan Pemerintah Gusdur yang berupa RUU PKB atau Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya untuk menanggulangi berbagai gejolak sosial pasca reformasi di berbagai daerah. UU ini dinilai oleh rakyat Indonesia yang baru terlepas dari belenggu tekanan otoritarian militer sebagai bentuk legitimasi penindasan gaya baru oleh militer terhadap masyarakat sipil yang sekedar bergejolak menyuarakan aspirasinya.

Gerakan ini sesungguhnya merupakan klimaks persatuan perjuangan rakyat Lampung, di lihat dari kuantitas massa aksi yang mencapai ribuan orang dari berbagai elemen dan kualitas tuntutan serta teknis aksi yang sistematis, namun sangat disayangkan karena gerakan ini justru berubah menjadi Tragedi pelanggaran HAM terbesar dalam periode reformasi di tanah Lampung ini.

Ribuan massa aksi yang datang berangsur-angsur melakukan longmarch menyuarakan aspirasi justru di pukul mundur dan di bubar paksakan oleh aparat TNI yang bersiaga di depan kampus UBL. Tak hanya itu, penyalah gunaan wewenang pun dilakukan aparat TNI yang menerobos kampus UBL mengejar demonstran sambil melakukan pemukulan dan pengerusakan fasilitas kampus.

Tragedi ini pun akhirnya merenggut dua nyawa aktivis mahasiswa Unila, Yusuf Rizal sebagai massa aksi yang ditembak mati di tempat dan Saidatul Fitria aktivis Pers Mahasiswa yang kepalanya di popor senapan saat sedang melakukan kerja jurnalistik serta ratusan orang lainnya luka-luka. Begitu kompleksnya dampak tragedi UBL berdarah ini, dan dapat kita kerucut kan sebagai bentuk nyata potensi kekejaman militerisme terhadap massa rakyat yang menghendaki demokrasi.

Berangkat dari ini, sewajarnya kita sebagai mahasiswa harus menjadi pelopor perubahan, Mengingat pelanggaran HAM di negeri ini belum pernah dihentikan melainkan terus berlangsung dengan ”cara baru” yang lebih di legitimasi pemerintah. Tak hanya memperingati tragedi puncak ini sebagai ceremonial tahunan belaka, tetapi menjadikannya sebagai momentum penguatan tekad anti penindasan antar manusia serta penguatan desakan sosial dari masyarakat akan realisasi program-program kampanye pemerintah yang selalu menjanjikan pengusutan dan penghentian segala bentuk pelanggaran HAM bukan sekedar wacana pencitraan pendongkrak popularitas politik saja.
** Mahasiswa sosiologi FISIP Unila
Sekeretaris LMND Ekskot Bandar Lampung

Sabtu, 02 Oktober 2010

11 tahun Tragedi UBL Berdarah


UBL Peringati Tragedi 28 September

Sejumlah aparat kepolisian dari Polresta Bandar Lampung, disiagakan untuk menertibkan jalannya aksi tersebut. Tepat 11 tahun propinsi lampung menadapat catatan tragedi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat militer terhadap masyarakat tak bersenjata.

Tanggal 28 September 1999 Muhammad Yusuf Rizal, seorang Mahasiswa jurusan FISIP salah satu Universitas di Lampung angkatan 1997, yang pada waktu itu turut ambil dalam aksi penolakan pembentukan Rancangan Undang-Undang Penaggulangan Keadaan Berbahaya (RUUPKB), meninggal dunia dengan luka tembak di dadanya tembus hingga ke belakang, dan juga sebutir peluru yang menembus lehernya. Ia tertembak di depan markas Koramil Kedaton, Lampung. Puluhan mahasiswa lainnya terluka sehingga harus dirawat di rumah sakit. Beberapa hari kemudian Saidatul Fitriah, yang juga salah seorang Mahasiswa dari salah satu Perguruan Tinggi di Lampung, yang juga menjadi korban kekerasan aparat, yang akhirnya meninggal dunia juga.

Banyaknya korban disebabkan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) dimasuki oleh aparat keamanan baik yang mengenakan berseragam maupun yang tidak berseragam, para aparat keamanan tersebut melepaskan tembakan saat mahasiswa melakukan demonstrasi yang menentang RUU PKB pada tanggal 28 September 1999 tersebut. Aparat juga melakukan pengejaran dan pemukulan terhadap beberapa mahasiswa. Selain itu aparat juga melakukan perusakan di dalam kampus UBL, yaitu berupa gedung kampus, kendaraan roda dua dan roda empat. Tindakan anarkis aparat ini sungguh menakutkan para mahasiswa maupun dosen di UBL, sehingga kampus Universitas Bandar lampung (UBL) harus diliburkan untuk beberapa hari.

Atas dasar kesadaran dan pentingnya penegakan HAM yang adil di tanah air, Komite 28 September yang dimotori oleh berbagai elemen Intelektual Progresif menuntut:

1. Usut tuntas Tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat UBL berdarah.

2. Hentikan praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia.

3. Bangun tugu peringatan Tragedi pelanggaran HAM berat UBL berdarah.

Komite 28 September ( LMND, HMI, IMM, PMII, PMKRI, TEKNOKRA UNILA, UKMBS UBL, UKM MAPALA UBL, SRMI, PRD Lampung)

Peringati HARI TANI


BANDARLAMPUNG - Sedikitnya 11 elemen masyarakat memperingati Hari Tani Nasional dan setengah abad berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang jatuh pada tanggal 24 September dengan aksi unjuk rasa di Bundaran Tugu Adipura, Bandarlampung, kemarin (24/9). Menurut koordinator aksi, Rifky, aksi yang dimulai sekitar pukul 08.30 WIB ini bertujuan mendesak pemerintah melakukan perubahan mendasar terhadap penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah di Indonesia, khususnya Provinsi Lampung, yang selama ini dianggap tidak memihak rakyat kecil.

’’Ketidakadilan ini dibuktikan dengan adanya praktik monopoli, penguasaan, dan pemanfaatan lahan yang begitu luas oleh pengusaha asing maupun domestik. Sedangkan di sisi lain, rakyat jelata hanya sedikit yang menikmati,” kata Rifky dalam orasinya.

Dia mencontohkan kasus di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Bukit Barisan, dan kawasan hutan lainnya, di mana warga terancam terusir dari tanah garapannya.

’’Saya yakin jika UUPA dilaksanakan dengan baik, maka semua rakyat Indonesia akan sejahtera,” tegasnya.

Dalam aksi tersebut, massa menuntut tujuh hal pokok. Di antaranya mendesak negara untuk melaksanakan UUPA dengan mencabut kebijakan yang bertentangan dengan UU tersebut. Kemudian menuntut pemerintah untuk melakukan distribusi dan redistribusi tanah serta lahan pertanian kepada rakyat kecil, mendesak pemerintah untuk memberikan kemudahan untuk pemenuhan sarana produksi pertanian, menjamin harga produk pertanian, menjamin hak berorganisasi bagi petani dan melindungi tanah-tanah pertanian.

Selain itu, mereka juga menuntut negara untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada petani untuk menguasai dan mengelola hutan secara lestari.

”Jadi kami menolak mekanisme kompensasi karbon, sebab dengan demikian, maka para petani yang ada di kawasan hutan akan tergusur,” tukas Rifky.

Tak hanya itu, gabungan demonstran ini juga meminta kepada negara untuk menyediakan lahan untuk kepentingan publik, berupa ruang terbuka hijau, lahan untuk pendidikan dan tempat bermain anak, lahan untuk sector informal dan untuk perumahan rakyat miskin.

Juga menuntut negara untuk menyelesaikan konflik agraria secara adil berdasar asas perlindungan kepentingan untuk melindungi sector produksi agraris berbasis petani, serta menuntut negara untuk melindungi jalur tangkap dan kondisi perairan Indonesia untuk kesejahteraan nelayan dan petani.

Terpisah, massa yang tergabung dalam Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) Lampung juga menggelar aksi demonstrasi di depan gedung DPRD Lampung kemarin.

Demo yang di koordinator oleh Lamen Hendra Saputra tersebut di mulai pukul 10.00 WIB. Serupa, APJ juga menilai lebih dari 175 juta hektar lahan potensial telah dikuasai pihak asing.

Dalam orasinya Lamen membeberkan konflik lahan seluas 238 Ha milik masyarakat di 3 kecamatan di Lampung tengah dengan Ex PT Sahang Bandarlampung, sengketa lahan masyarakat di 2 desa di Tulang bawang barat dengan PT Umas Jata Agro. Para pendemo yang tidak berhasil bertemu dengan anggota dewan akhirnya menuju ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandarlampung dan mengakhiri aksi tersebut disana