Menu Utama

Jumat, 04 Juli 2014

Kecacatan Sistem Dalam Uang Kuliah Tunggal


Senin, 25 November 2013
Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad[1]



Kawan SD, SMP, maupun SMA kita, kini banyak yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Padahal mereka ingin sekali ke pendidikan tinggi. Mau tidak mau, mereka menjadi buruh, tani, atau bahkan sialnya jadi pengangguran. Bagi mereka, yang terpenting adalah bertahan hidup dari jerembab kuasa rezim yang najis ini. Bagaimana mereka hendak kuliah? Kalau uang gedung atau uang pangkalnya saja paling kecil 5 juta rupiah. Itu paling kecil. Sedangkan untuk mendapat kampus bermutu, setidaknya harus merogoh kocek belasan, puluhan, hingga ratusan juta.

Menyingkap Rahasia Besar di Balik Liberalisasi Pendidikan


“Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan,” begitulah kalimat yang termaktub dalam pasal 31 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fakta bahwa pendidikan termasuk dalam hal dasar yang harus dipenuhi oleh seluruh warga Negara tercermin di tiap-tiap ayat dalam pasal 31 UUD 1945 tersebut. Output yang diharapkan memang sudah sepatutnya terwujud, yaitu pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, Namun fakta di lapangan berbicara lain, masih banyak realita yang bertentangan dengan amanat pasal 31 UUD 1945 ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) mengenai sensus penduduk Indonesia tahun 2010 silam, tercatat bahwa penduduk usia 7-12 tahun (SD) sebanyak 27.840.900 jiwa dan sebanyak 94,89% jiwa yang terserap ke bangku sekolah dasar. Untuk penduduk usia 13-15 tahun (SMP) terdapat 13.408.650 jiwa dan sebanyak 84,24% yang bisa mengenyam bangku SMP. Masih sama dengan kasus sebelumnya yaitu pada penduduk usia 16-18 tahun (SMA) terdapat 12.455.244 jiwa dan hanya 52,78% jiwa yang bisa terserap ke bangku SMA. Kasus terakhir yaitu dialami oleh penduduk usia 19-24 tahun (kuliah) terdapat 23.902.077 jiwa dengan daya resap ke Perguruan Tinggi hanya sebesar 15,09% jiwa. [1]
Data di lapangan mempertontonkan dengan jelas bahwa tiap naik jenjang pendidikan daya serapnya semakin berkurang, jika ditanya mengapa, jawabannya hanya ada dua, pertama karena memang kurang tersedianya instansi pendidikan terkait dan kurangnya tenaga pendidik sehingga daya tampung tak mencukupi, dan yang kedua karena pendidikan yang sudah ada tak mampu diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk menjawabnya tak bisa jika hanya dipahami dari segi realita yang ada saat ini, namun liberalisasi khususnya liberalisasi pendidikan sudah menjadi alur dan mendarah daging sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Harus dimaknai asal muasal terjadinya liberalisasi pendidikan agar bisa memahami alur sistem yang ada. Serta harus melihat alur jauh kebelakang untuk memahami kompleksitas dari liberalisasi pendidikan.
Era Bretton Woods System.
Bermula dari terbentunya Bretton Woods System pada tahun 1944 menjelang selesainya Perang Dunia ke II inilah awal saling kait terkaitnya liberalisasi pendidikan.Bretton Woods System ini hadir berkat gagasan J.M Keyness dari Inggris dan Harry Dexter White dari AS, keduanya memiliki keinginan untuk mengakhiri konflik domestik Negara dan menstabilkan perekonomian dunia akibat The Great Depression yang terjadi di tahun 1930an dan Perang Dunia ke II di tahun 1939-1945. Sistem ini menjadikan US dollar sebagai satu-satunya mata uang yang dapat dikonversi menjadi emas, standar inilah yang menjadi dasar sistem moneter internasional yang disebut dengan fixed exchange rate. Dengan system ini perekonomian dunia cenderung akan stabil karena berstandar emas, dan kala itu 1 ons emas jika dikonversikan menjadi 35 USD.
Bretton Woods System yang ditandatangani 44 negara di desa Bretton Woods Negara bagian New Hampshire itu selain menciptakan fondasi sistem moneter baru di dunia (fixed exchange rate), juga menghasilkan organ-organ keuangan dunia yang nantinya menggerogoti kedaulatan Negara-negara anggotanya, organ tersebut tak lain adalah IMF (International Monetary Fund) dan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development). IMF fokus pada permasalahan moneter dunia sedangkan IBRD concern terhadap rekonstruksi dan pembangunan Negara-negara yang hancur akibat PD II. Di tahun 1945 berdiri WB (World Bank) yang concernterhadap investasi luar negeri dan modal. IBRD pun dimasukkan menjadi bagian dari World Bank. Merasa belum cukup dengan dua organ tersebut, pada tahun 1947 berdirilah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang mengatur tarif-tarif dan perdagangan bebas dunia.
Berjalannya Bretton Woods System dengan dimotori oleh tiga organ dunia tersebut mampu menjawab keterpurukan Negara-negara pasca PD II dengan hasil yang cukup signifikan. Jeffrey Frieden pun mengatakan “fixed exchange rate” yang diterapkan olehBretton Woods System merupakan system moneter internasional terbaik”. Bretton Woods System mampu menjawab kebutuhan Jepang yang hancur pasca PD II dengan menstimulus perekonomian Jepang hingga mampu pulih kembali beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1952, di Eropa berhasil terbentuk ECSC (The European Coal & Steel Community) sebagai dasar perkembangan perdagangan di Eropa, itupun berkat stimulus Bretton Woods System. Tak tanggung-tanggung, pada tahun 1971 pun berhasil terbentuk European Community.
Namun kestabian perekonomian dunia tak berlangsung lama, 26 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1970 terjadi depresi besar yang mengakibatkan keseimbangan neraca pembayaran USD terhadap emas. Hal itu disebabkan karena perang AS vs Vietnam yang memakan banyak biaya, ketika nilai dollar anjlok terhadap emas, Negara-negara Eropa lainnya yang memiliki banyak devisa menukarkan hampir semua dollar yang mereka punya ke AS untuk ditukarkan dengan emas, karena memang dollar AS lah yang mampu dikonversi menjadi emas, dan menjual kembali ke pasar dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini pun membuat persediaan emas di Fort Knox AS menurun drastis. Akhirnya Presiden Nixon mengakhiri pengaitan dollar ke emas dengan mengakhiri Bretton Woods System. Dengan berakhirnya sistem Bretton Woods sama dengan mengakhiri fixed exchange rate, dan setelah fixed exchange rate berakhir maka sistem moneter internasional berganti menjadi floating exchange rate.
Era Washington Consensus dan WTO
Berakhirnya fixed exchange rate berarti pertanda hilangnya kestabilan perekonomian dunia, karena standar emas sudah tidak lagi digunakan. Menghadapi situasi yang tak stabil ini M. Friedman menyempunakan gagasan neoliberal dengan membawa Departemen Keuangan AS, IMF dan World Bank pada suatu perundingan yang disebut dengan Washington Consensus pada tahun 1989.
Dalam buku “What Washington Means by Policy Reform” karangan John Williamson, tercatat bahwa ada 10 rekomendasi dari hasil Konsensus Washington untuk mengatasi masalah-masalah pertumbuhan dan perkembangan Negara berkembang, dan ada beberapa yang berkaitan dengan masalah pendidikan, yakni; 1)Pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah. 2)Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif. 3)Penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik investasi asing langsung. 4)Privatisasi BUMN. [2]
Dengan adanya Konsesus Washington yang menerapkan prinsip neoliberal ditambah dengan sistem floating exchange rate berhasil membawa dunia menuju liberalisasi.
Merasa kurang dengan keberadaan GATT, akhirnya pada tahun 1994, GATT bereformasi menjadi WTO (World Trade Organization) yang agendanya menjadi pokok bahasan pada putaran Uruguay GATT di Maroko. Satu cacatan penting yang harus digaris bawahi, Indonesia pun tergabung di dalamnya setelah meratifikasi“Agreement Establishing The World Trade Organization” dalam bentuk UU No.7 Tahun 1994. Dengan meratifikasi perjanjian tersebut sama saja dengan menyetujui seluruh hasil perundingan GATT di putaran-putaran sebelumnya meskipun Indonesia belum bergabung kala itu, yang bahasannya mengenai pengurangan hambatan perdagangan internasional dengan mereduksi hambatan tarif dan non-tarif. Karena tujuan pembentukan WTO adalah untuk membuat prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan dalam rangka meliberalisasi perdagangan internasional. [3]
Era GATS dan Dimulainya Liberalisasi Pendidikan.
Tahun 2000 menjadi tempat Putaran Doha WTO yang membahas mengenai liberalisasi perdagangan dunia. Dalam putaran ini membahas mengenai liberalisasi 12 sektor jasa terhadap Negara-negara anggota, salah satunya adalah jasa pendidikan. Namun Indonesia masih belum menyetujui liberalisasi jasa pendidikan karena Indonesia menawarkan 5 jasa selain jasa pendidikan untuk diliberalisasi, yaitu jasa konstruksi, jasa telekomunikasi, jasa bisnis, jasa angkutan laut, jasa pariwisata, dan jasa keuangan.[4] Putaran ini menjadi awal ratifikasinya GATS (General Agreement on Trade in Service) yang mencakup liberalisasi 12 sektor jasa.
Tindak lanjut dari Putaran Doha menghasilkan terbentuknya UU No.20 tahun 2003 mengenai Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). UU ini mengatur akan harus adanya otonomi dalam hal lembaga pendidikan. UU ini pun menuai banyak kontroversi, salah satunya pada pasal 50 ayat 6 dalam UU Sisdiknas yang mengatakan “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.” Serta dalam pasal 53 nya membahas mengenai BHP (Badan Hukum Pendidikan). Meskipun dalam pasal 53 tentang BHP disebut nirlaba namun kenyataan bahwa Perguruan Tinggi mengelola keuangannya secara mandiri memberikan konsekuensi besar bahwa dana pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua seperti yang dijelaskan dalam pasal 46 ayat 1 tersebut menjadi semakin besar dan lebih besar akibat adanya otonomi pendidikan yang merupakan bentuk liberalisasi pendidikan.
Pada Desember 2005, Indonesia menyetujui liberalisasi 12 sektor jasa dengan meratifikasi GATS. Pada ratifikasi GATS pada Konferensi Tingkat Menteri di Hongkong ini pun secara resmi membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya akan 12 sektor jasa, yakni; 1) jasa bisnis, 2)jasa komunikasi, 3) jasa konstruksi dan teknik terkait, 4)jasa distribusi, 5)jasa pendidikan, 6)jasa lingkungan, 7)jasa keuangan, 8)jasa kesehatan dan sosial, 9)jasa wisata dan perjalanan, 10)jasa rekreasi, budaya dan olahraga, 11)jasa transportasi, dan 12)jasa-jasa lain yang belum tercantum. [5]
Pertemuan Konferensi Tingkat Menteri di Putaran Hongkong itupun menjadi awal Indonesia meliberalisasi jasa pendidikan, yaitu dengan meliberalisasi; 1) jasa pendidikan menengah tehnikal dan advokasi, 2) jasa pendidikan tinggi tehnikal dan advokasi, 3) jasa pendidikan tinggi, 4) jasa pelatihan dan kursus bahasa, 5) jasa pendidikan dan pelatihan sepakbola dan catur. [6]
Persis setelah Indonesia membuka selebar-lebarnya pada dunia akan liberalisasi pendidikannya, langsung ada 6 negara yang menawarkan Indonesia kerjasama dalam bidang pendidikan, yaitu Australia, AS, Jepang, Cina, Korsel, dan Selandia Baru. Mengingat saat itu populasi Indonesia sejumlah 210 juta jiwa dan yang terserap di Perguruan Tinggi hanya 14% dari jumlah umur 19-24 tahun. [7]
Liberalisasi dalam Konteks Pendidikan Tinggi
Pada tahun 2007 muncul RUU BHP dan legalisasinya menjadi UU BHP terjadi pada tahun 2009 dalam UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU BHP muncul akibat amanat pasal 53 UU Sisdiknas untuk membentuk Badan Hukum Pendidikan. Namun karena banyak pasal-pasal yang bertentangan dan merugikan masyarakat akhirnya UU BHP gagal saat diuji materi atau judicial review oleh MK(Mahkamah Konstitusi) pada Maret 2010 silam. Namun ternyata Pemerintah memang tak kehabisan akal dengan menyiapkan RUU PT (Pendidikan Tinggi) yang kemudian legalisasinya menjadi UU PT terjadi pada 13 Juli 2012 silam. Di UU PT ini pun banyak pasal yang bertentangan dan meresahkan banyak kalangan masyarakat, contoh kongkritnya adalah saat konsep otonomi pendidikan tinggi yang sudah di judicial review ke MK saat UU BHP dibawa lagi kedalam UU PT dan disetujui DPR. Entah apa yang dipikirkan oleh pemerintah?
Berbicara mengenai liberalisasi pendidikan memang tak bisa jika hanya dilihat dari realita saat ini, namun apa daya jika semua itu sudah menjadi pesanan asing dan diatur dalam ratifikasi GATS pada tahun 2005 lalu. Sejak itupun bermunculan sistem-sistem yang sangat-sangat jelas mengkomersialisasikan pendidikan. Mungkin terasa percuma jika UU BHP digagalkan oleh MK dan kini masyarakat masih menunggu hasiljudicial review UU PT oleh MK, misalkan UU PT kembali digagakan oleh MK, maka pemerintah pasti akan mencari cara lain untuk menciptakan RUU RUU lain dengan substansi yang sama yaitu meliberalisasi pendidikan, mengapa? Karena memang hal ini sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjalankan perjanjian GATS untuk meliberalisasi jasa pendidikan sejak 2005 lalu.
Hal ini sudah menjadi alur dan sudah menjadi sistem global. Apakah pemerintah mampu memproteksi pendidikan dalam negeri untuk melindungi peserta didik?? Jawabannya adalah tidak, kekuatan nasioal tidak berarti apa-apa jika dibandingkan kekuatan global (red: WTO dan GATS). Jika pendidikan mau murah dan terlepas dari intervensi asing, maka Indonesia harus memutuskan dulu hubungan antara Indonesia dengan WTO serta perjanjian GATS. Namun apakah itu mungkin?? jawabannya adalah tidak, Indonesia sangat bergantung pada The Unholy Trinity (IMF, WB, WTO) dan jika Indonesia melepaskan hubungan dengan 3 organ dunia tersebut, entah akan jadi seperti apa Indonesia, selain mendapatkan sanksi internasional yang cukup berat, Indonesia juga akan menjadi Negara terpuruk karena seluruh bantuan internasional akan berhenti dan meninggalkan Indonesia. Lalu kita harus apa?? Apakah memang sudah menjadi takdir kalau pendidikan akan mahal karena liberalisasi pendidikan?? Bukankah liberalisasi pendidikan sangat bertentangan dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945?? Pertanyaan-pertanyaa itu hanya membisu saat pemerintah terus dan terus saja menjual kedaulatan negaranya pada asing!!
Wahai mahasiswa, wahai rakyat Indonesia, apakah kalian rela jika pendidikan dijadikan sebagai komoditas yang bisa diperjual belikan???
***
Muhammad Ali Husein
Mahasiswa Hubungan Internasional 2011
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Jenderal Soedirman
Staf Kementerian Advokasi BEM FISIP Unsoed Kabinet Spektakuler
***
[1] Sensus Angka Partisipasi Sekolah BPS (Badan Pusat Statistik) Tahun 2010.
[2] Williamson, John, “What Washington Means by Policy Reform”.
[3] Malanczuk Akehurst’s, Peter. 1997, “Modern Introduction of International Law”.
[4] Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 10.
[5] Indonesia for Global Justice; GATS Informasi Dasar.
[6] Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 10-11.
[7] Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 2.
Referensi :
Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Seputar Indonesia, 12-13 Maret 2007
Frieden, Jeffrey A. 2006. “The Bretton-Wood System in Action”, dalam Global Capitalism: Its Fall and Rise in the Twentieth Century. New York: W.W. Norton & Co


LMND Lampung: Pilpres 2014 Harus Menangkan Cita-Cita Kemerdekaan !


Jumat, 27 Juni 2014 | 16:10 WIB 0 Komentar | 89 Views
 
Jumat (27/6) pagi, sekitar pukul 09.00 WIB, puluhan aktivis mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung melakukan aksi longmarch sepanjang Jl. Raden Intan menuju Tugu Adipura.
Dalam aksinya massa aksi LMND ini mengusung spanduk bertuliskan: “Pilpres 9 Juli 2014 Menangkan Cita-Cita Kemerdekaan; Usir Penjajah Asing/Imperialisme; Laksanakan Pasal 33 UUD 1945; Tegakkan Keadilan Bagi Rakyat Korban Konflik Agraria di Rembang, Karawang & Pesisir Barat”.
Selain itu, massa aksi juga menggelar aksi teatrikal jalanan. Hampir semua peserta aksi mengecat tubuhnya dengan cat berwarna merah dan bertuliskan “Sila 3 Persatuan Indonesia” di bagian punggungnya.
Tak hanya itu, mereka juga memerankan berbagai kondisi kesulitan yang masih terus dialami oleh begitu banyak rakyat Indonesia, namun luput dari perhatian karena momentum Pilpres, seperti kasus petani yang selalu dirampas tanahnya, buruh yang disunat upahnya, PKL yang digusur lapaknya, TKI yang disiksa negeri orang, danmahasiswa yang dihisap biaya pendidikan yang mahal.
Ricky Satriawan, yang menjadi coordinator lapangan aksi ini, mengatakan,“kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tidak hanyut dibutakan oleh kampanye hitam yang memancing konflik horizontal hanya karena membela pilihan capresnya saja, tetapi kita harus mengedepankan kampanye positif, harus mengutamakan mandat sila ke-3 Persatuan Indonesia, dan memajukan momentum Pilpres 9 Juli mendatang sebagai kemenangan sejati rakyat Indonesia yang berhasil mendesak komitmen dan konsistensi pemerintahan baru untuk membangun negara yang mandiri, berdaulat, adil, dan makmur.”
Sementara ketua LMND Kota Bandar Lampung, Rizmayanti, bilang, “masih ada waktu agar kedua pasangan Capres untuk kita desak agar tidak saling menghujat kekurangan masing-masing, namun mendesak mereka agar berpikir keras tentang bagaimana mewujudkan pemerintahan yang mandiri dan berdaulat.”
Menurut Rizmayanti, imperialisme sudah terlalu lama mennghisap kekayaan alam Indonesia. Di saat bersamaan, kata dia, rakyat dipaksa menjadi budak di negeri sendiri.
“Negara ini sudah bangkrut APBN kita tak sanggup membiayai kesejahteraan rakyat karena dikorupsi. Jumlahnya juga kecil karena cuma mengandalkan pajak rakyat. Sementara utang luar negeri kita terus melambung sampai tiga ribu triliun rupiah. Komitmen terhadap persoalan seperti ini yang mestinya jadi ukuran bagi kita untuk memilih capres secara objektif,” tandasnya.
Reza Fadlie, orator lainnya, mengatakan, “kita juga harus lebih objektif melihat kenyataan-kenyataan pahit berupa penderitaan rakyat atas kesewenangan penguasa lalim dan aparat sebagai contoh konflik agraria perampasan tanah rakyat oleh perusahaan penindas dan aparat keji, seperti di Rembang (Jawa Tengah), Karawang (Jawa Barat), dan Pesisir Barat (Lampung).
Selain itu, tambah dia, masih banyak persoalan mendasar yang mesti dijawab dan dituntaskan oleh pemerintahan baru.
Dalam aksinya, LMND mengusung sejumlah tuntutan yang mendesak dituntaskan oleh pemerintahan mendatang, yakni pencabutan UU Sisdiknas dan UKT, pembatalan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, penghapusan sistim outsourcing dan politik upah murah, pelaksanaan agenda reforma agraria nasional, dan peningkatan subsidi BBM, listrik, pupuk, pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial.
Dalam tuntutannya, LMND juga menuntut pemerintahan baru berani menasionalisasi aset kekayaan alam dari tangan asing, menghapus utang luar negeri, dan memberantas korupsi.
Aksi ini berlangsung sampai pukul 11.20 WIB, massa aksi membubarkan diri setelah menyanyikan lagu darah juang sebagai refleksi atas perjuangan rakyat Indonesia yang harus dituntaskan.
Devin Prastyia