Menu Utama

Jumat, 13 April 2012

Red Flag, Musisi Reggae Kerakyatan yang Setia Berjuang Ditengah Kaum Tertindas


Oleh : Saddam Cahyo


“Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli..
Apa Guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu..”

Lirik lagu yang begitu menggugah ini terdengar merdu keluar dari petikan nada gitar dan lantunan suara Dompak Halomoan Tambunan, musisi Reggae Kerakyatan yang akrab dikenal kalangan gerakan pro demokrasi melalui Band “Red Flag” yang sejak era perjuangan reformasi telah melahirkan banyak lagu penyemangat perjuangan seperti “Tidur Jangan” yang ngetop dan dengan mudah bisa kita download di internet.

Kamis malam (12/4) ini terhitung sudah hari ke 8, Dompak “Red Flag” yang baru usai pentas satu panggung dengan “Shaggy Dog” sabtu lalu ini ikut mendampingi penuh Ratusan petani tertindas dari 3 Kampung di Lampung Tengah (Sendang Ayu, Surabaya dan Padang Ratu) yang menuntut dikembalikannya tanah mereka seluas 238,0630 ha setelah dirampas sejak tahun 1970 lalu oleh PT Sahang Bandar Lampung, kini mereka sedang melakukan aksi pendudukan sambil bermogok makan di Kantor BPN Wilayah Lampung sejak 20 Maret 2012 lalu.

Setelah cukup lama tidak tampil manggung di tengah aksi massa rakyat, Red Flag di malam pertamanya saat itu langsung mengajak berkumpul ratusan petani yang mulai terserang kegundahan dan kelesuan setelah 2 minggu menginap dalam kondisi tenda dan logistik seadanya. Setelah berkumpul di depan tenda posko utama, Red Flag memulai aksinya, ia mainkan Lagu ‘Apa Guna’ dari syair puisi Wiji Thukul yang diikuti oleh beberapa aktifis PRD yang menyimak riang.

Dalam kesempatanya kembali bergabung di aksi – aksi rakyat, Dompak yang juga pernah menjadi kader aktif PRD mangatakan, “Gua ngerasa sedih perhatikan perjuangan petani 3 Kampung ini sejak 2009 lalu, besar harapan melalui aksi pendudukan selama ini tuntutannya segera dipenuhi oleh negara sebagaimana kewajibannya memakmurkan rakyat dalam Konstitusi Pasal 33 UUD 45, karena rasa simpatik gua ini gua putuskan turut bersolidaritas bersama perjuangan kawan-kawan PRD Lampung yang dulu melahirkan gua.” Ujar seniman berambut gimbal itu dengan gaya selengean yang khas.

Di beberapa malam berikutnya, ia juga menyuntikkan semangat juang ratusan petani ini dengan beberapa lagu andalan yang dimainkannya sendiri maupun diikuti beberapa orang yang mengetahui makna yang terkandung dalam setiap liriknya, diantaranya beberapa lagu yang ada dalam album terakhirnya 2011 lalu, “Darah Juang”, “Hentikan”, “Tidur Jangan”, “Fight For Socialism”, “Berjuanglah”, “Buruh Tani”, dan “Budaya Pembebasan”.

“Disini gua juga dapet beberapa inspirasi segar untuk berkarya lagi, mudah-mudahan momentum andil gua selama 8 hari penuh hidup bersama kaum tani tertindas ini bisa gua abadikan melalui lagu yang bermanfaat bagi perjuangan rakyat di waktu dan tempat yang berbeda.” Ujar mantan aktivis mahasiswa lulusan FE UBL itu.

Menurut rencana,pada sabtu nanti Red Flag yang sukses membangun Komunitas Front Reggae Lampung itu hendak mengajak beberapa rekan musisi local untuk bersolidaritas pada perjuangan rakyat 3 Kampung ini, “Gua mau mencoba mempraktekan realism sosialis di kalangan musisi lokal di Lampung yang sudah cukup terkonsolidasikan, gua harap kawan-kawan musisi lain juga mulai memiliki kepekaan sosial yang bisa diwujudkan melalui karya seni kritis nya sebagai bentuk perjuangan, karena cita-cita Bangsa yang berdaulat dan mandiri harus diperjuangkan di segala sektor kehidupan rakyat, termasuk di bidang seni budaya.” Harapnya.

Rabu, 11 April 2012

Opini : Menguji Keberpihakan BPN RI dalam Konflik Agraria

Oleh : Saddam Cahyo**

“Oleh karena tanah faktor produksi yang utama, maka hendaknya peraturan soal tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya.” (Bung Hatta)

Penggalan pidato founding father Bung Hatta di tahun 1948 dahulu ini perlu dikaji kembali realisasinya saat ini, sebab sejarah Indonesia sebagai negeri agraris telah mencatat bahwa era Pemerintahan Orde Baru adalah sumber malapetaka sengketa pertanahan yang terus meletus di seantero jagat Nusantara, terutama pasca diterbitkannya berbagai regulasi kontraversial seperti UU Penanaman Modal Asing Th.1967, yang menegasikan UUPA No.5 Th.1960 yang sangat kerakyatan, dan semakin diperburuk oleh tumpang tindihnya berbagai regulasi di era Reformasi kini seperti UU Pengadaan Tanah,dsb.

Kasus Lamteng

Hampir semua konflik agraria yang muncul ke permukaan sejak menjelang reformasi hingga kini memiliki akar historis yang nyaris seragam, yakni terjadi di kisaran tahun 1970 sampai 1990-an dengan persoalan perampasan dan penguasaan tanah rakyat oleh perusahaan perkebunan yang dibekengi kekuatan aparatur pemerintahan beserta militer. Rangkaian konflik ini terkesan menjelma sebagai kisah duka tak berujung, yang seperti sengaja diciptakan namun tak pernah mau diselesaikan, hal ini oleh Noer Fauzi (2003) disebut dengan istilah konflik tenurial.

Seperti pada kasus yang dialami 475 KK masyarakat dari 3 Kampung di Lampung Tengah, yakni Padang Ratu, Sendang Ayu dan Surabaya, mereka sudah berminggu-minggu melakukan demonstrasi ‘pendudukan’ dengan berkemah seadanya di pinggir jalan raya sekitaran Kantor BPN RI Wilayah Lampung sejak 20 Maret lalu. Dari informasi yang didapat, ratusan petani ini bertekad tak akan pulang ke kampung halaman sebelum ada kejelasan sikap dari BPN RI pusat dengan mengeluarkan SK yang menegaskan status kepemilikan tanah mereka (eks HGU PT SBL) akan dikembalikan sebagai objek land reform oleh Negara (Lampost, 5/4) / (Radar, 4/4).

Konfliknya berawal pada tahun 1970, orang berkebangsaan Jepang bernama Gotto dan Okio di bawah bendera PT Sahang Bandar Lampung dan dibantu aparat pemerintahan telah menyewa paksa lahan masyarakat 3 kampung selama 25 tahun sampai 1995 dengan harga Rp. 2.500,-/Ha2 untuk dipergunakan menanam rempah. Namun pada tahun 1976, masyarakat mulai terusir dari tanahnya sendiri setelah PT SBL beralih kepemilikan kepada Winarta Halim, yang kemudian pada 29 November 1984 tanpa persetujuan masyarakat pemilik lahan, telah mendapatkan HGU No.U.i/LT seluas 238,0630 Ha2 dari Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Tengah dan berlaku selama 25 tahun.

Benang kusutnya pun berlanjut setelah PT SBL kembali menjual lahan tersebut ke PT Lambang Sawit Perkasa pada 12 Juni 2008 untuk menanam sawit meski tanpa HGU dan IUP seluas 195,8228 Ha2, 66,5279 Ha2 di jual ke perorangan dan terbagi kepada 6 orang berbeda, dan PT SBL masih menguasai sekitar 23,6430 Ha2. Saat ini perjuangan panjang kaum tani untuk merebut kembali hak atas tanah yang sudah puluhan tahun dirampas itu masih perlu beberapa langkah maju lagi untuk mencapai kemenangan penuh, agar sanak keluarga yang sudah menunggu selama beberapa generasi itu mampu kembali menghidupi dirinya dari corak produksi agraris sebagaimana yang diimpikan.

Melalui metode perjuangan yang cukup terorganisir, mereka sudah mengantongi beberapa kemenangan, diantaranya ; Surat BPN RI No.4031/25.2.600/X/2011 yang menerangkan bahwa HGU PT SBL sudah habis sejak 31 Desember 2008 dan tidak akan diperpanjang hingga status tanah langsung dikuasai Negara. Lalu Surat Keputusan Pemkab Lamteng No. 44/KPTS/D.5/2012 yang mencabut Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) No. 522/01/D.4/BU/2009 milik PT SBL dan melarang berlangsungnya aktifitas perkebunan yang juga sudah dimenangkan oleh pengadilan PTUN. Kemudian Surat Bupati Lampung Tenga kepada Kepala BPN RI pusat No. 590/0173.B/03/2012 yang menginformasikan bahwa tanah eks HGU PT SBL terindikasi sebagai tanah terlantar dengan runtutan historis terlampir dan agar konfliknya dapat diselesaikan melalui reforma agraria.

Tanah untuk Rakyat

Dukungan penuh yang paling ditunggu saat ini adalah komitmen BPN RI sebagai lembaga Negara yang bervisi mulia yakni mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945, serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia. Meski saat ini BPN Wilayah Lampung yang menjadi sasaran demonstrasi masyarakat tersebut masih menanggung tumpukan hutang penyelesaian konflik agraria tak kurang dari 31 kasus besar seperti konflik mesuji yang cukup populer(Lampost, 5/4).

Maka teranglah aksi demonstrasi ‘pendudukan’ oleh ratusan petani landless ini merupakan bentuk ujian atas komitmen keberpihakkan pemerintah terhadap rakyatnya. Tinggal bagaimana BPN RI dan berbagai instansi pemerintahan terkait dalam hal ini menjawabnya dengan opsi, segera menebus dosa sejarah yang dilakukan instansinya dengan konsisten menegakkan amanat UUPA no.5 Th 1960 tentang Land Reform, ataukah mereka lebih memilih mengikuti sikap pendahulunya di Era Orde Baru yang lebih nyaman terbujuk tunduk pada kuasa modal ? semuanya masih harus di uji.

_____________________
** Dimuat pada media Berdikari Online, 10 April 2012.
Dimuat pada rubrik Opini Harian Lampung Post, 12 April 2012.
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung
Sekretaris Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
Eksekutif Wilayah Lampung

Selasa, 10 April 2012

PERNYATAAN SIKAP LMND Lampung ; Menolak RUU Perguruan Tinggi !




Pernyataan Sikap

Nomor : 009/B/EW-LPG/ IV/2012






HENTIKAN SEGALA BENTUK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN !
TOLAK PENGESAHAN RUU PERGURUAN TINGGI YANG MENYENGSARAKAN !
WUJUDKAN PENDIDIKAN GRATIS, ILMIAH, DEMOKRATIS DAN MEMANUSIAKAN MANUSIA !!!

Salam Sejahtera untuk Rakyat Indonesia …
Salam Pembebasan !

Setelah sukses meloloskan agenda liberalisasi di sektor migas, kini DPR yang harus disadari ditunggangi kepentingan “modal” sedang mempersiapkan agenda serupa di bidang pendidikan, yakni Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi dan jika tidak ada aral yang melintang, maka DPR RI akan mengesahkan RUU PT yang menggiring sistem pendidikan tinggi Indonesia ke dalam mekanisme pasar ini pada bulan April 2012.

RUU PT ini jelas haruslah kita tolak agar dibatalkan. Banyak mahasiswa, dosen, guru besar, pejabat universitas, dan pemerhati pendidikan yang tidak setuju dengan RUU ini. Masyarakat luas, termasuk buruh, petani, dan rakyat miskin pada umumnya, yang juga berkepentingan dengan pendidikan publik yang inklusif ini juga mulai beramai-ramai tersadarkan dan melakukan penolakan tegas terhadapnya.

Inti dari penolakan itu adalah kuatnya semangat privatisasi lembaga pendidikan dalam RUU PT. Di mata banyak pihak, RUU PT hanya melanjutkan semangat UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yaitu untuk melepaskan tanggung jawab negara dalam urusan pendidikan dan mengubah lembaga pendidikan sebagai lahan subur penggalian keuntungan (profit).

Di dalamnya, ada ketentuan pasal mengenai otonomi perguruan tinggi: akademik dan non-akademik. Otonomi akademik akan membiarkan dunia perguruan tinggi berjalan sendiri, terpisah dengan mayoritas rakyat dan kepentingan nasional. Sedangkan otonomi non-akademik, khususnya di bidang keuangan, akan memaksa perguruan tinggi fokus mencari lahan pembiayaan sendiri, dan yang paling sering adalah dengan membebankan biaya pendidikan kepada peserta didik. Hal ini tentunya akan membatasi akses masyarakat luas atas hak memperoleh pendidikan di perguruan tinggi sebagaimana amanat pasal 31 UUD 1945.

Dalam kasus lain, misalnya pengelolaan sarana-prasarana, perguruan tinggi otonom akan menyewakan fasilitas kampusnya sebagai unit bisnis dan berharga mahal sebagai jalan mendapatkan pembiayaan. Bahkan Perguruan tinggi otonom juga dibolehkan mendirikan badan usaha professional untuk mendapatkan pendanaan. Kondisi ini tentu akan menggusur iklim akademik kampus menjadi murni aktifitas bisnis.

Dalam RUU PT ini juga ada ketentuan pembebanan 1/3 biaya pendidikan kepada mahasiswa. Sangat mengherankan, padahal jika menengok konstitusi dasar kita, biaya pendidikan mestinya ditanggung sepenuhnya oleh negara. Idealnya, jika pemerintah tunduk kepada konstitusi, biaya pendidikan itu digratiskan agar seluruh lapisan rakyat Indonesia bisa mengakses perguruan tinggi seperti cita-cita nasional yang tertuang pada pembukaan UUD 1945.

Privitasi sangat berbahaya bagi dunia pendidikan. Di beberapa negara Amerika Latin yang telah menjalankan agenda privatisasi, seperti Chile dan Kolombia, pendidikan di sana cenderung menghasilkan segmentasi, pengecualian, diskriminasi, selektivitasi dan kontra produktif bagi kepentingan nasional bangsanya. Artinya, tidak semua golongan masyarakat bisa menikmati pendidikan.

Pendidikan tidak bisa dijadikan eksklusif dan hanya bisa diakses oleh strata tertentu dalam masyarakat, Pendidikan harus menjadi inklusif dan dapat diakses oleh seluruh rakyat tanpa pengecualian. Semangat utama pendidikan nasional kita sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Di dalamnya adalah azas kesetaraan rakyat dalam mendapat pendidikan dan hak rakyat untuk mendapatkan ilmu yang mencerdaskan dan membebaskan, bukan sebaliknya menciptakan kastaisasi dunia pendidikan.

Untuk itu negara tidak bisa lepas dalam urusan pendidikan, baik dalam soal pembiayaan maupun penyelenggaraan pendidikan. Anggaran pendidikan Indonesia masih terbilang terendah di dunia: anggaran pendidikan kita masih berkisar 3,41% dari PDB. Sedangkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand masing-masing 7,9% dan 5,0% dari PDB-nya. UNESCO sendiri menyerukan anggaran ideal untuk pendidikan adalah 6% dari PDB.

Tidak hanya itu, RUU PT juga memberi sinyal kuat bagi masuknya Perguruan Tinggi asing di Indonesia, yang Kehadirannya dengan membawa logika profit dan kepentingan tertentu itu juga akan mengganggu kepentingan nasional kita di bidang pendidikan: mencerdaskan kehidupan rakyat, melahirkan tenaga terampil dan berpengetahuan tinggi untuk menopang pembangunan nasional, juga dalam kerangka memelihara dan memperkuat keragaman budaya, identitas nasional, dan kepribadian bangsa kita.

Atas dasar RUU PT ini sangat bertentangan dengan tujuan nasional kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agar mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Dan sebab RUU PT ini telah berlawanan langsung dengan semangat yang dibangun oleh Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu, kami Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dengan tegas menyatakan :

1. Menyerukan kepada seluruh elemen rakyat Indonesia untuk sedia turut bergabung dalam barisan, berjuang menolak pengesahan RUU PT dan segala bentuk komersialisasi pendidikan di negeri ini.

2. Cukup sudah bagi Rezim Pemerintahan SBY-Boediono menyengsarakan kehidupan rakyatnya, Cabut dan batalkan semua produk kebijakan berbau neoliberalisme yang memberi celah praktik komersialisasi pendidikan.

3. Perbaiki dan perbanyak infrastruktur pendidikan di seluruh Indonesiasampai memenuhi standar kualitas yang memadai dan sejahterakan seluruh tenaga didik.

4. Ciptakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional yang demokratis, humanis, produktif dan modern sebagai jalan kesejahteraan bangsa.

5. Saatnya negara bangkit menguasai industri SDA hulu-dan hilir seperti amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk subsidi kebutuhan dasar rakyat (Pendidikan, Kesehatan,dsb).

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan dengan penuh kesadaran demi mewujudkan Bangsa Indonesia yang Demokratis, Kerakyatan, Berdaulat, Mandiri dan Modern. Kiranya Tuhan YME selalu menyertai perjuangan kita bersama, Amin.

Bandar Lampung, 8 April 2012
Bangun Persatuan Nasional, Hentikan Imprealisme…!!!

Eksekutif Wilayah
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(EW-LMND) Lampung

Isnan Subkhi
Ketua
Saddam Cahyo
Sekretaris

Gerimis Antar Kepergian Fotografer 'Jujur' Itu


Sumber : http://lampung.tribunnews.com/2012/03/31/gerimis-antar-kepergian-fotografer-jujur-itu
Sabtu, 31 Maret 2012 08:51 WIB

Tidak seperti biasanya, hujan turun pada Jumat (30/3) subuh di Bandar Lampung. Bukan hujan deras. Hanya gerimis yang luruh dengan lambat. Pada subuh yang dingin itu lah sebuah kabar duka datang: Marzuli Ariwibowo, fotografer Tribun Lampung, meninggal dunia di rumahnya di bilangan Gedong Air, Tanjungkarang Barat.

Zuli, begitu ia biasa disapa rekan-rekannya, wafat sembilan belas hari setelah ulang tahunnya ke-32. Kuasa sang takdir menghentikan perjuangannya selama beberapa bulan terakhir melawan sejumlah penyakit yang menderanya.

Kesedihan pun meruyak. Tak sedikit yang tercekat, kaget, lalu selebihnya menangis. Teman-temannya di Tribun, juga media lain tahu, putra almarhum Wahono Suhadi ini memang tak sehat beberapa waktu terakhir. Namun, nyaris tak terpikir Zuli akan pergi demikian cepat.

Sekitar sebulan lalu, Zuli dirawat di rumah sakit. Vonis dokter, usus buntunya harus dioperasi. Namun, operasi urung dilakukan, karena di saat yang sama demam berdarah pun datang menyerang. Hanya beberapa hari dirawat, Zuli pulang lalu kembali bekerja tak sampai sepekan kemudian.

Meski kehilangan sebagian besar bobot yang membuat tubuh gemuknya menjadi kurus, terbersit harap teman-temannya, Zuli akan pulih, kembali sehat, dan terus menjalani aktivitasnya sebagai fotografer. Asa yang sama pun muncul dari Zuli sendiri. Sesaat sepulang dari rumah sakit, pada status BlackBerry messenger-nya ia sempat menulis: Terima kasih Tuhan. Kau beri kesempatan kedua...

Memotret dengan Jujur
"Setiap karya foto tidak bisa dinilai. Karena setiap orang memiliki pandangannya masing-masing. Yang terpenting, fotografer itu memotret secara jujur," ujar Zuli suatu kali.
Entah mengutip, atau hasil perenungannya sendiri, yang pasti kalimat itu menjadi filosofi lelaki bertubuh gempal ini selama menekuni profesinya, terutama selama tiga tahun bergabung dengan Tribun. Baginya, kejujuran dalam memotret mampu menghadirkan realitas yang sesungguhnya.

Kejujuran itu pula yang mendorongnya membidik kotornya daerah sekitar TPA sampah Bakung, hancurnya Bukit Kunyit karena proyek Water Front City, atau kerasnya perjuangan para kuli batu, serta pedagang kaki lima di pasar-pasar tradisional.

Bagi mantan kontributor foto Reuters ini, lewat foto, tidak perlu ada yang ditutup-tutupi dari sebuah realitas di masyarakat. Dengan begitu, lewat karya-karyanya, Zuli pun berharap, masyarakat mampu memahami apa yang sesungguhnya terjadi.

Meski berusaha tetap jujur dan menampilkan realitas apa adanya, bukan berarti Zuli menegasikan seni dalam karya-karya foto jurnalistiknya. Sebisa mungkin ia berusaha memenuhi unsur estetika, bahkan untuk objek foto yang menurut orang lain biasa-biasa saja, termasuk ketika mengambil foto acara- acara seremonial. "Gue mau nerapin seni realisme dalam fotografi," ujar lajang yang pernah menjadi anggota Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) ini.

Di luar itu, Zuli adalah seorang perfeksionis yang selalu mengerahkan totalitas dalam aktivitas pemotretannya. Tidak jarang, untuk memotret satu objek saja, ia menghabiskan waktu sekurangnya 30 menit. "Nanti dulu, gue belum dapet angle yang bagus," jawabnya setiap kali diprotes reporter (tulis) yang hampir bosan menunggunya rampung memotret.

Namun, kesan perfeksionis itu segera berpendar di luar pekerjaan. Zuli bukanlah sosok yang kaku. Bagi kebanyakan rekannya, Zuli adalah seorang humoris. Ia pun dikenal sebagai sosok yang setia kawan. Tak heran, Zuli memiliki banyak teman dan disayang banyak orang. Itu semua terlihat saat ratusan jurnalis lintas media mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir di TPU Blora.

Termasuk sejumlah wartawan Tribun daerah yang memacu datang jauh-jauh dengan sepeda motor untuk memberikan penghormatan terakhir kepadanya.

Jumat kemarin, para jurnalis, rekan-rekan Marzuli, larut dalam duka. Air mata yang tumpah adalah kesedihan atas perginya sosok pekerja keras yang perfeksionis, sosok teman yang humoris dan setia kawan.

Selamat jalan kawan. Kami mengenangmu bersama foto-fotomu yang menoreh banyak kisah. (rez/joe)

Editor : soni
Akses lampung.tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat lampung.tribunnews.com/m