Menu Utama

Kamis, 28 April 2011

Eko Prasetyo: 70% pengeluaran Keluarga Indonesia untuk Pendidikan



Rabu, 27 April 2011 | 18:08 WIB

Kabar Rakyat
Oleh : Saddam Cahyo

Dalam diskusi bedah buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”, Eko Prasetyo membeberkan bahwa 70% pengeluaran mayoritas keluarga di Indonesia adalah untuk pendidikan. Sayangnya, menurut penulis buku yang produktif ini, hasil yang didapatkan dari proses pendidikan sangat kurang.
“Anak-anak cuma mendapat keterampilan-keterampilan praktis, seperti ribuan tips bagaimana menjawab soal-soal ujian,” kata Eko Prasetyo mencontohkan. Situasi ini, katanya, semakin diperparah oleh kenyataan bahwa sistim ujian nasional hanya membodohi anak-anak.
Eko Prasetyo juga menyoroti kebiasaan pemerintah untuk cepat gonta-ganti kurikulum, sehingga berdampak buruk bagi perkembangan pendidikan nasional. “Sampai kapanpun, kalau sistimnya masih begini, anak-anak Indonesia akan kesulitan mengakses pendidikan yang berkualitas,” tutur penulis buku-buku progressif ini.
Diskusi ini merupakan bagian dari persiapan menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), pada 2 Mei mendatang, yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FMIPA Universitas Lampung.
Pada bagian awal diskusi, Eko lebih banyak menceritakan latar-belakang mengapa ia menulis bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Eko menceritakan, suatu ketika ia mengajar sebagai dosen tamu di klas khusus ITB, dan bertemu dengan anak-anak berprestasi gemilang, diantaranya sebagai pemenang olympiade sains. Sebagian besar anak-anak itu berasal dari keluarga yang terbilang mampu.
Saat itu, Eko mulai mengingat bagaimana jutaan anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, tidak bisa mengakses pendidikan karena persoalan biaya. Dari situlah ia mendapatkan inspirasi untuk menulis buku yang cukup populer itu, yang kabarnya sudah enam kali naik cetak.
Selain itu, Eko Prasetyo juga membeberkan sejumlah persoalan pokok di dunia pendidikan, diantaranya: orientasi pendidikan yang patuh kepada pasar tenaga kerja, pola manajemen yang menerapkan otonomi penuh, dan sistim pendidikan yang mengutamakan efisiensi dan pemadatan materi.
Karena hal tersebut, kata Eko, ada banyak sekali menjamur promosi-promosi pendidikan instan dan penawaran jurusan-jurusan populer, namun sangat mengabaikan aspek kualitas pengetahuan.
Diskusi ini dihadiri sekitar 40-orang mahasiswa. Proses diskusi pun berjalan dialogis. Ada banyak mahasiswa yang mengajukan pertanyaan. Salah satu dari pertanyaan mahasiswa itu adalah soal solusi untuk merombak sistim pendidikan sementara pemerintah sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Eko Prasetyo pun menjawab dengan mengambil pengalaman Iran. “pemerintah harus merombak kurikulum dan secara tegas memperuntukkan sekolah negeri untuk rakyat miskin,” katanya.

Perlunya pendidikan alternatif

Dalam diskusi itu, Eko mengeritik aktivis yang sekedar terjebak adalam aktivisme belaka, tetapi jarang mengupayakan terjadinya perubahan yang kecil-kecil dan terkadang dianggap sepele.
“Kita membangun pendidikan alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap sistim pendidikan nasional yang menindas anak bangsa,” katanya dengan tegas.
Selain itu, ia juga menganjurkan perlunya menciptakan kurikulum baru yang membebaskan, yaitu kurikulum yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan nalar, berkarya, dan berimajinasi.
Ia juga menekankan bahwa kurikulum itu harus memberikan kepercayaan diri kepada peserta didik dan kesadaran akan pentingnya kerjasama. Eko pun mengutip perkataan Bung Karno, bahwa “untuk mengubah suatu bangsa, maka ubahlan sistim pendidikannya. Karena pendidikan adalah tiang untuk kekokohan suatu bangsa.”

Rabu, 27 April 2011

Pernyataan Sikap LMND untuk Hari Buruh Internasional

PERNYATAAN SIKAP
Nomor : 004/Perny. Sikap/EN/V/2011

HENTIKAN REZIM PEMBOHONG-NEOLIBERAL :
SBY-BOEDIONO
BANGUN PERSATUAN NASIONAL
UNTUK KEDAULATAN & KEMANDIRIAN NASIONAL

Janji pemerintahan SBY-Boediono yang disampaikan pada tanggal 4 Juli 2009 di Gelora Bung Karno untuk menciptakan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendidikan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pemerintahan yang bersih; semakin jauh dari kenyataan.
Kita sulit menemukan penjelasan rasional ketika harapan perbaikan kehidupan rakyat Indonesia dapat dibangun oleh Pemerintah SBY-Boediono diatas fondasi kebijakan Neoliberal yang menghancurkan kepentingan nasional. Bagaimana mungkin pemerintahan SBY-Boediono dapat menciptakan lapangan kerja jika sumber-sumber energi dan perekonomian nasional dari hulu sampai ke hilir justru diserahkan kepada asing. Data Forum Rektor Indonesia pada 2007 menyebutkan bahwa dominasi korporasi asing yang saat ini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia. Sektor ekonomi yang penting seperti perkebunan, ritel, telekomunikasi, transportasi penerbangan, air minum, dan sektor strategis lainnya juga telah dikuasai oleh asing. Sehingga tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi, yang diklaim pemerintah naik saat ini, tidak lain hanyalah pertumbuhan semu yang hanya dinikmati segelintir orang kaya. Sungguh ironis ketika ada 150 orang terkaya Indonesia sekarang ini menguasai Rp 650 triliun rupiah, tetapi ada 105 juta lebih orang miskin, yang harus cukup dengan 18.000 per hari. Kehidupan mayoritas rakyat Indonesia saat ini hidup dari sector informal (72,7 juta) dan untuk bertahan hidup harus bersandar pada konsumsi yang dibiayai melalui utang, seperti kredit konsumsi, program sosial neoliberal (BLT, KUR, BOS, PNPM, dan sebagainya) yang dibiayai dengan utang, program stimulus ekonomi yang juga dibiayai utang, hingga kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri yang juga dibiayai dengan utang.
Bersamaan dengan proses penghancuran ekonomi nasional, sistem pendidikan nasional dibawah pemerintahan SBY-Boediono tidak lebih daripada praktek Politik Etis di zaman Kolonial. Pendidikan nasional tidak diarahkan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sehingga dapat mengolah dan meningkatkan nilai tambah dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa. Pendidikan nasional telah diselewengkan hanya untuk memenuhi pasar tenaga kerja murah dan pelayan jasa bagi modal-modal internasional yang telah mengeruk kekayaan alam bangsa ini. Menurut data, preferensi pekerjaan yang banyak diisi oleh lulusan perguruan tinggi adalah bidang jasa (52 persen), perdagangan, hotel, restoran (14 persen), dan pertanian (10 persen). Bidang industri pengolahan hanya diminati oleh 8 persen lulusan. Sehingga tidak mengherankan jika saat industry nasional mengalami kehancuran, sistem pendidikan nasional justru menciptakan barisan pengangguran terdidik yang terus meningkat setiap tahunnya. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terbuka (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, pada Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau menjadi sekitar 626.200 orang. Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, maka pada Februari 2011 telah terjadi peningkatan pengangguran terdidik S1 sejumlah terdapat 1.275.100 orang. Jumlah ini belum ditambah dengan pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.
Sementara itu, anggaran pendidikan sebesar 20% APBN yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah dalam realisasinya justru bukan didasarkan pada total jumlah APBN sebesar 1.229,5 trilliun. Fakta ini disampaikan oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, Hekinus Manao, bahwa pemenuhan amanat undang-undang dalam penyaluran anggaran pendidikan sebesar 20% diambil dari pos belanja pemerintah pusat pada APBN yang besarnya Rp 410,4 trilliun (Suara Pembaharuan, 2010). Sehingga tidak mengherankan jika pendidikan nasional tidak menunjukkan perbaikan terhadap akses terhadap mayoritas rakyat miskin, kualitas sarana infrastruktur, kurikulum, tenaga pengajar dan kualitas lulusannya.
Dibawah Pemerintahan SBY-Boediono saat ini, kehidupan rakyat Indonesia telah nyata dikembalikan pada kondisi kolonial. Dan untuk melanggengkan kekuasaannya, kolonialisme akan terus melanggengkan keterbelakangan, kebodohan dan mentalitas inlander suatu bangsa.
Untuk memutus mata-rantai itu, bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda cerdas dan progressif, yang sanggup menjadi pembawa “obor” pencerahan untuk kemajuan bangsanya. Oleh karenanya, pada peringatan hari Buruh Se Dunia dan Hari Pendidikan Nasional 2011 ini, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi menegaskan bahwa jalan untuk bangkit mandiri dari keterpurukan bangsa saat ini adalah :
1. Melakukan Pencabutan terhadap berbagai UU yang berbau neoliberal (yang dibiayai oleh aing); UU 25/2007 tentang Penanaman Modal , UU 21/2002 tentang Ketenaga Listrikan , UU 2/2001 tentang Minyak dan Gas, UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau , UU 19/2003 tentang BUMN, RUU Pertanahan
2. Melakukan nasionalisasi terhadap pertambangan asing dan sector-sektor strategis lainnya bagi pembangunan industry nasional
3. Hapus hutang luar negeri yang menjadi instrument menciptakan ketergantungan terhadap ekonomi dan politik nasional serta membebani APBN.
Akhir kata, kami mengajak kepada seluruh gerakan rakyat, pemuda, mahasiswa dan pelajar untuk membangun dan memperkuat persatuan nasional guna meng-HENTIKAN pemerintahan Neoliberal SBY-Boediono.
Selamat Hari Buruh Se-Dunia,
Hidup Kaum Buruh, Hidup Mahasiswa Indonesia!!!
Jakarta, …. Mei 2011
Bentuk Dewan Mahasiswa, Rebut Demokrasi Sejati
Eksekutif Nasional
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(EN-LMND)


Lamen Hendra Saputra Agus Priyanto
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

Selasa, 26 April 2011

Terus Menerus Mendapat Intimidasi, Petani Padang Ratu Datangi Mapolres



Oleh : Saddam Cahyo

Lampung Tengah-Sedikitnya 250-an petani dari Kecamatan Padang Ratu, Lampung Tengah, mendatangi Markas Polres setempat. Mereka menuntut pihak Kepolisian untuk bersikap netral dalam kasus konflik agraria dan tidak melakukan kriminalisasi terhadap pejuang petani.
Para petani mulai bergerak sejak pagi hari, sekitar pukul 08.00 WIB, dengan menumpangi 3 truk dan 1 mobil bak terbuka. Para petani pada umumnya berasal dari tiga desa, yaitu Sendang Ayu, Surabaya, dan Padang Ratu.
Sesampainya di kantor Polres, iring-iringan mobil truk yang membawa petani ini dihentikan polisi. Dengan dalih mencegah adanya senjata tajam atau barang berbahaya, Polisi melakukan pemeriksaan terhadap semua barang-barang bawaan petani. Alhasil, aksi yang direncanakan dimulai kira-kira pukul 10.00 WIB, akhirya molor hingga pukul 12.58 WIB.
Meskipun begitu, para petani tetap bersemangat dan membentuk barisan untuk memulai aksi. Ahmad Muslimin, yang bertindak sebagai koordinator lapangan, langsung mengarahkan massa untuk berbaris dan menyiapkan perangkat-perangkat aksi.
“Kami datang ke sini untuk menuntut keadilan, bukan untuk mencari kerusuhan. Jadi, ada baiknya pak Polisi bertindak netral terkait sengketa lahan antara petani dengan eks PT.Sahang,” kata Ahmad Muslimin.
Menurut Ahmad Muslimin, dasar penyelesaian sengketa lahan di atas ex-PT.Sahang adalah UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, dan Polisi seharusnya berpedoman pula pada aturan itu.
Rahmat Husen, koordinator deputi politik KPW PRD Lampung, mengatakan bahwa perjuangan petani untuk mengambil kembali hak-hak harus disertai keberanian dan tekad tak kenal menyerah.
Sambil mensitir perkataan Ketua Umum PRD, Agus Jabo Priyono, Rahmad Husein menyerukan kepada petani untuk menjalankan slogan “Rebut, Duduki, Jaga”. “Hanya dengan cara itulah, bapak-bapak dan ibu-ibu semua, kita bisa mempertahankan apa yang menjadi hak kita,” katanya.
Seorang petani asal Jambi, yaitu Pak Abas, yang juga Kepala Suku Anak Dalam, menyampaikan orasi dukungan dan solidaritas terhadap perjuangan para petani padang ratu. “Kita harus memiliki semangat juang, tidak kenal lelah, dan sebuah keyakinan bahwa kita pasti akan menang,” katanya menyemangati massa petani.
Pak Abbas, yang baru saja mengikuti Dewan Nasional STN beberapa hari lalu, mengajak para petani memperkuat persatuan dan berjuang melawan rejim neoliberal: SBY-Budiono.
Setelah berorasi kira-kira sejam lebih, beberapa perwakilan petani diperbolehkan untuk bertemu dengan Kapolres Lampung Tengah, AKBP Budi Wibowo.
AKBP Budi Wibowo mengatakan bahwa Polisi sama sekali tidak mencapuri urusan proses pedata yang sedang berlangsung di BPN RI, melainkan melakukan penyelidikan terkait pengrusakan dan pencurian lawan sawit oleh sejumlah warga.
Tetapi pernyataan Kapolres itu segera dibantah Ahmad Muslimin. Menurutnya, pihak Kepolisian telah bertindak meresahkan warga dan sudah keluar dari prosedur yang sah.
Seorang petani bernama Ahmat Tohari, misalnya, yang kendaraan roda duanya disita oleh Kepolisian dengan dalih barang bukti. Selain itu, pihak kepolisian juga dilaporkan sering melakukan intimidasi dan ancaman terhadap warga.
Perdebatan cukup alot pun terjadi. Namun, akhirnya, disepakati bahwa persoalan penyelidikan itu akan ditunda hingga ada putusan dari BPN RI tentang hak milik yang sah. Pihak Kepolisian menjanjikan akan menunda proses penyidikan hingga turunnya putusan BPN. Juga, meminta kepada masyarakat yang menjadi korban intimidasi agar melapor ke Polisi. Polres juga menjanjikan gelar perkara akan melibatkan masyarakat.

Dewan Nasional STN: Musuh Pokoknya Imperialisme, Alat Perjuangannya Front Persatuan


Oleh : Saddam Cahyo

SETELAH berlangsung dua hari, Dewan Nasional Serikat Tani Nasional (STN) akhirnya ditutup. Untuk mensosialisasikan hasil-hasil konsolidasi nasional ini, sejumlah pengurus nasional dan pengurus daerah STN menggelar konferensi pers.
Acara konferensi pers ini dilaksanakan di gedung PWI Lampung, kemarin (19/4). Yudi Budi Wibowo, selaku ketua Umum STN, bersama Ghazali dari NTB, Abbas dari Jambi, Wens dari NTT, Sutarno dari Riau, dan Kadek Artawan dari Lampung, menjelaskan kepada wartawan mengenai hasil-hasil pertemuan Dewan Nasional.
Persoalan pokonya adalah imperialisme
Dalam penjelasannya kepada wartawan, Yudi Wibowo menjelaskan bahwa pemerintahan SBY-Budiono sudah melanggar konstitusi karena membiarkan eksploitasi hutan dan lahan produktif oleh korporasi asing.
Yudi Wibowo juga menganggap SBY telah membohongi kaum tani dengan menjanjikan redistrubusi tanah, tetapi kenyataannya sebagian besar tanah produktif justru diserahkan kepada perusahaan asing.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kata Yudi, kaum tani Indonesia digempur oleh kebijakan-kebijakan neoliberal, yang berkepentingan untuk menghancurkan sektor pertanian di dalam negeri.
Dengan jalan neoliberal, jelasnya, negara diharuskan mencabut subsidi dan kredit mikro bagi petani, membuka ruang impor seluas-luasnya bagi produk pertanian negara lain, mengalihkan kepemilikan tanah dari masyarakat kepada swasta, dan mempromosikan mekanisme pasar untuk penjualan alat2 dan hasil produksi pertanian.
“Kehancuran produksi pangan nasional saat ini disebabkan oleh imperialisme. Produk pertanian kita dihancurkan dengan impor, tidak ada dukungan modal dan teknologi, dan pemerintah dibuat lepas tangan,” katanya.

Persatuan Nasional
Untuk menjawab persoalan imperialisme ini, dewan nasional STN menyimpulkan bahwa diperlukan sebuah persatun nasional seluas-luasnya untuk melawan imperialisme.
Kaum tani, kata Yudi, harus mengambil peran dalam menggalang dan mendorong pembentukan persatuan nasional seluas-luasnya ini, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Di tingkat lokal, misalnya, karena petani berhadapan langsung dengan korporasi asing dan proyek neoliberal, maka persatuan di tingkat lokal pun bisa digalang.
Menurut Yudi, ada banyak sekali kasus-kasus petani di tingkat lokal yang asal-muasalnya adalah imperialisme. “Dengan mengangkat isu-isu yang dekat dengan persoalan petani pun, kita bisa mendorong persatuan yang seluas-luasnya,” kata Yudi.
Berencana menggelar aksi nasional
Salah satu rekomendasi dari Dewan Nasional STN adalah rencana menggelar aksi nasional pada bulan September mendatang. “Kita akan mempersiapkan mobilisasi besar-besaran, tentu dengan mengajak organisasi tani dan komite tani yang lain, untuk bergabung dalam aksi bersama,” tegas Yudi dalam akhir konferensi persnya.
Dari aksi nasional itu, STN berharap bisa dibentuk semacam Komite Nasional untuk penuntasan kasus-kasus agraria. “Kita berharap bisa membentuk sebuah komite nasional untuk menuntaskan persoalan kaum tani. Tentu dengan partisipasi organisasi tani dan kaum tani itu sendiri,” tegasnya.

Jumat, 01 April 2011

Persatuan Rakyat Bandar Lampung serahkan koin rakyat pada DPRD


Oleh : Saddam Cahyo

Bandar Lampung, 1/4. Puluhan aktivis yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Bandar Lampung melanjutkan aksi penggalangan koin yang sudah dilakukannya selama satu minggu ini dengan mendatangi kantor DPRD Kota Bandar Lampung untuk menyerahkan secara langsung sekantung koin tersebut kepada pimpinan Komisi B yang secara terbuka diberbagai media lokal mengakui kesalahannya telah mengedarkan surat permintaaan partisipasi kepada lebih dari 40 perusahaan untuk insentif agenda kunjungan kerja tanpa mekanisme yang tepat.

Aksi kali ini dimulai sejak pukul 10.00 WIB dengan berjalan kaki dari persimpangan lampu merah Gubernuran sambil menyebar ratusan selebaran pernyataan sikapnya kepada seluruh warga pengguna jalan raya maupun pedagang di sepanjang jalan DR. Susilo Teluk Betung Utara. Sesampainya di depan kantor DPRD, puluhan massa aksi yang berasal dari berbagai ormas tersebut mulai merapihkan barisan dan membentangkan spanduk tuntutan mereka yang bertuliskan “Aksi Penggalangan Koin untuk Wakil Rakyat yang Suka Mengemis”.

Meski aksi ini dilakukan tanpa pengeras suara dan dijaga rapat oleh barisan aparat kepolisian, namun massa aksi cukup bersemangat dan lantang meneriakkan segala tuntutan yang mereka usung sesaat sampai di depan pintu masuk gedung DPRD. “Meski tidak memobilisasi massa sebanyak mungkin, aksi kami sangat serius karena merupakan lanjutan dari perjuangan bertahap untuk memutus praktik menyimpang seperti pungli di jajaran elit birokrasi yang justru menjadi akar permasalahan kemiskinan akut yang diderita rakyat” ujar Purnomo selaku koorlap aksi.

Dalam orasinya, Freddy Muchtar yang juga ketua SRMI Lampung menegaskan “Kekecewaan rakyat jangan sampai terus dibiarkan, kepercayaan dan mimpi akan kesejahteraan yang sudah di titipkan kepada wakil rakyat jangan lagi diselewengkan dan dilupakan dengan segala praktik menyimpang seperti uang siluman atau penarikan berbagai upeti yang mengundang tumbuh suburnya permasalahan kesejahteraan rakyat seperti kesenjangan pendapatan, kesempatan kerja hingga perputaran modal karena rakyat punya batas kesabaran yang mampu meledak seketika.”

Hal senada juga terungkap dari orasi Nyoman Adi bahwa “Kebiasaan buruk pada eksekutif-legislatif yang tanpa malu-malu melanggengkan praktik uang siluman seperti ini telah secara langsung mengangkangi amanah rakyat, mencoreng wajah demokrasi Indonesia dan membunuh hak hidup layak bagi rakyat, karena praktik uang siluman seperti ini setidaknya telah menyumbang 30% lebih dari beban produksi yang berimplikasi pada semakin terpuruknya upah buruh dan mendorong kehancuran sector perindustrian dalam negeri.” Tegas aktivis LMND tersebut.

Setelah hampir satu jam menggelar orasi di depan pintu masuk gedung DPRD akhirnya massa aksi ditemui oleh Kadivhumas DPRD Kota Bandar Lampung yang mewakili lembaga legislatif tersebut. Dalam kesempatan itu, Heri Muheri mengungkapkan permohonan maaf karena semestinya aspirasi positif dari masyarakat seperti ini disambut langsung oleh Komisi B namun amat disayangkan karena yang diharapkan sedang tidak berada ditempat, ia juga menawarkan kepada massa aksi untuk menunda penyerahan koin pada hari senin yang akan datang.
Namun massa aksi tetap mendesak agar koin yang sudah susah payah terkumpul dari keringat rakyat dan merupakan perwujudan aspirasi warga kota yang benar-benar mengharapkan munculnya itikad perubahan dari anggota dewan untuk kembali kejalan amanat kesejahteraan rakyat.

Setelah disepakati, sekantung koin berjumlah 55.300 rupiah tersebut diserahkan oleh perwakilan massa aksi kepada Heri Muheri, SH selaku kadivhumas DPRD yang akan meneruskannya kepada komisi B selaku pihak yang bersalah. Saat dikonfimasi perkembangan kasus ini, Heri mengatakan “Kasus ini masih dalam proses yang dilakukan langsung oleh Badan Kehormatan sedangkan ketua komisi B sendiri sudah mengakui kesalahan yang dilakukan oleh segenap pimpinan di komisinya, dan secara transparan penyelesaian kasus ini akan dipublikasikan secara luas kepada masyarakat.” Janjinya setelah menerima koin sumbangan masyarakat tersebut.