Menu Utama

Jumat, 04 Juli 2014

Kecacatan Sistem Dalam Uang Kuliah Tunggal


Senin, 25 November 2013
Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad[1]



Kawan SD, SMP, maupun SMA kita, kini banyak yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Padahal mereka ingin sekali ke pendidikan tinggi. Mau tidak mau, mereka menjadi buruh, tani, atau bahkan sialnya jadi pengangguran. Bagi mereka, yang terpenting adalah bertahan hidup dari jerembab kuasa rezim yang najis ini. Bagaimana mereka hendak kuliah? Kalau uang gedung atau uang pangkalnya saja paling kecil 5 juta rupiah. Itu paling kecil. Sedangkan untuk mendapat kampus bermutu, setidaknya harus merogoh kocek belasan, puluhan, hingga ratusan juta.

Menyingkap Rahasia Besar di Balik Liberalisasi Pendidikan


“Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan,” begitulah kalimat yang termaktub dalam pasal 31 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fakta bahwa pendidikan termasuk dalam hal dasar yang harus dipenuhi oleh seluruh warga Negara tercermin di tiap-tiap ayat dalam pasal 31 UUD 1945 tersebut. Output yang diharapkan memang sudah sepatutnya terwujud, yaitu pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, Namun fakta di lapangan berbicara lain, masih banyak realita yang bertentangan dengan amanat pasal 31 UUD 1945 ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) mengenai sensus penduduk Indonesia tahun 2010 silam, tercatat bahwa penduduk usia 7-12 tahun (SD) sebanyak 27.840.900 jiwa dan sebanyak 94,89% jiwa yang terserap ke bangku sekolah dasar. Untuk penduduk usia 13-15 tahun (SMP) terdapat 13.408.650 jiwa dan sebanyak 84,24% yang bisa mengenyam bangku SMP. Masih sama dengan kasus sebelumnya yaitu pada penduduk usia 16-18 tahun (SMA) terdapat 12.455.244 jiwa dan hanya 52,78% jiwa yang bisa terserap ke bangku SMA. Kasus terakhir yaitu dialami oleh penduduk usia 19-24 tahun (kuliah) terdapat 23.902.077 jiwa dengan daya resap ke Perguruan Tinggi hanya sebesar 15,09% jiwa. [1]
Data di lapangan mempertontonkan dengan jelas bahwa tiap naik jenjang pendidikan daya serapnya semakin berkurang, jika ditanya mengapa, jawabannya hanya ada dua, pertama karena memang kurang tersedianya instansi pendidikan terkait dan kurangnya tenaga pendidik sehingga daya tampung tak mencukupi, dan yang kedua karena pendidikan yang sudah ada tak mampu diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk menjawabnya tak bisa jika hanya dipahami dari segi realita yang ada saat ini, namun liberalisasi khususnya liberalisasi pendidikan sudah menjadi alur dan mendarah daging sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Harus dimaknai asal muasal terjadinya liberalisasi pendidikan agar bisa memahami alur sistem yang ada. Serta harus melihat alur jauh kebelakang untuk memahami kompleksitas dari liberalisasi pendidikan.
Era Bretton Woods System.
Bermula dari terbentunya Bretton Woods System pada tahun 1944 menjelang selesainya Perang Dunia ke II inilah awal saling kait terkaitnya liberalisasi pendidikan.Bretton Woods System ini hadir berkat gagasan J.M Keyness dari Inggris dan Harry Dexter White dari AS, keduanya memiliki keinginan untuk mengakhiri konflik domestik Negara dan menstabilkan perekonomian dunia akibat The Great Depression yang terjadi di tahun 1930an dan Perang Dunia ke II di tahun 1939-1945. Sistem ini menjadikan US dollar sebagai satu-satunya mata uang yang dapat dikonversi menjadi emas, standar inilah yang menjadi dasar sistem moneter internasional yang disebut dengan fixed exchange rate. Dengan system ini perekonomian dunia cenderung akan stabil karena berstandar emas, dan kala itu 1 ons emas jika dikonversikan menjadi 35 USD.
Bretton Woods System yang ditandatangani 44 negara di desa Bretton Woods Negara bagian New Hampshire itu selain menciptakan fondasi sistem moneter baru di dunia (fixed exchange rate), juga menghasilkan organ-organ keuangan dunia yang nantinya menggerogoti kedaulatan Negara-negara anggotanya, organ tersebut tak lain adalah IMF (International Monetary Fund) dan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development). IMF fokus pada permasalahan moneter dunia sedangkan IBRD concern terhadap rekonstruksi dan pembangunan Negara-negara yang hancur akibat PD II. Di tahun 1945 berdiri WB (World Bank) yang concernterhadap investasi luar negeri dan modal. IBRD pun dimasukkan menjadi bagian dari World Bank. Merasa belum cukup dengan dua organ tersebut, pada tahun 1947 berdirilah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang mengatur tarif-tarif dan perdagangan bebas dunia.
Berjalannya Bretton Woods System dengan dimotori oleh tiga organ dunia tersebut mampu menjawab keterpurukan Negara-negara pasca PD II dengan hasil yang cukup signifikan. Jeffrey Frieden pun mengatakan “fixed exchange rate” yang diterapkan olehBretton Woods System merupakan system moneter internasional terbaik”. Bretton Woods System mampu menjawab kebutuhan Jepang yang hancur pasca PD II dengan menstimulus perekonomian Jepang hingga mampu pulih kembali beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1952, di Eropa berhasil terbentuk ECSC (The European Coal & Steel Community) sebagai dasar perkembangan perdagangan di Eropa, itupun berkat stimulus Bretton Woods System. Tak tanggung-tanggung, pada tahun 1971 pun berhasil terbentuk European Community.
Namun kestabian perekonomian dunia tak berlangsung lama, 26 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1970 terjadi depresi besar yang mengakibatkan keseimbangan neraca pembayaran USD terhadap emas. Hal itu disebabkan karena perang AS vs Vietnam yang memakan banyak biaya, ketika nilai dollar anjlok terhadap emas, Negara-negara Eropa lainnya yang memiliki banyak devisa menukarkan hampir semua dollar yang mereka punya ke AS untuk ditukarkan dengan emas, karena memang dollar AS lah yang mampu dikonversi menjadi emas, dan menjual kembali ke pasar dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini pun membuat persediaan emas di Fort Knox AS menurun drastis. Akhirnya Presiden Nixon mengakhiri pengaitan dollar ke emas dengan mengakhiri Bretton Woods System. Dengan berakhirnya sistem Bretton Woods sama dengan mengakhiri fixed exchange rate, dan setelah fixed exchange rate berakhir maka sistem moneter internasional berganti menjadi floating exchange rate.
Era Washington Consensus dan WTO
Berakhirnya fixed exchange rate berarti pertanda hilangnya kestabilan perekonomian dunia, karena standar emas sudah tidak lagi digunakan. Menghadapi situasi yang tak stabil ini M. Friedman menyempunakan gagasan neoliberal dengan membawa Departemen Keuangan AS, IMF dan World Bank pada suatu perundingan yang disebut dengan Washington Consensus pada tahun 1989.
Dalam buku “What Washington Means by Policy Reform” karangan John Williamson, tercatat bahwa ada 10 rekomendasi dari hasil Konsensus Washington untuk mengatasi masalah-masalah pertumbuhan dan perkembangan Negara berkembang, dan ada beberapa yang berkaitan dengan masalah pendidikan, yakni; 1)Pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah. 2)Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif. 3)Penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik investasi asing langsung. 4)Privatisasi BUMN. [2]
Dengan adanya Konsesus Washington yang menerapkan prinsip neoliberal ditambah dengan sistem floating exchange rate berhasil membawa dunia menuju liberalisasi.
Merasa kurang dengan keberadaan GATT, akhirnya pada tahun 1994, GATT bereformasi menjadi WTO (World Trade Organization) yang agendanya menjadi pokok bahasan pada putaran Uruguay GATT di Maroko. Satu cacatan penting yang harus digaris bawahi, Indonesia pun tergabung di dalamnya setelah meratifikasi“Agreement Establishing The World Trade Organization” dalam bentuk UU No.7 Tahun 1994. Dengan meratifikasi perjanjian tersebut sama saja dengan menyetujui seluruh hasil perundingan GATT di putaran-putaran sebelumnya meskipun Indonesia belum bergabung kala itu, yang bahasannya mengenai pengurangan hambatan perdagangan internasional dengan mereduksi hambatan tarif dan non-tarif. Karena tujuan pembentukan WTO adalah untuk membuat prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan dalam rangka meliberalisasi perdagangan internasional. [3]
Era GATS dan Dimulainya Liberalisasi Pendidikan.
Tahun 2000 menjadi tempat Putaran Doha WTO yang membahas mengenai liberalisasi perdagangan dunia. Dalam putaran ini membahas mengenai liberalisasi 12 sektor jasa terhadap Negara-negara anggota, salah satunya adalah jasa pendidikan. Namun Indonesia masih belum menyetujui liberalisasi jasa pendidikan karena Indonesia menawarkan 5 jasa selain jasa pendidikan untuk diliberalisasi, yaitu jasa konstruksi, jasa telekomunikasi, jasa bisnis, jasa angkutan laut, jasa pariwisata, dan jasa keuangan.[4] Putaran ini menjadi awal ratifikasinya GATS (General Agreement on Trade in Service) yang mencakup liberalisasi 12 sektor jasa.
Tindak lanjut dari Putaran Doha menghasilkan terbentuknya UU No.20 tahun 2003 mengenai Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). UU ini mengatur akan harus adanya otonomi dalam hal lembaga pendidikan. UU ini pun menuai banyak kontroversi, salah satunya pada pasal 50 ayat 6 dalam UU Sisdiknas yang mengatakan “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.” Serta dalam pasal 53 nya membahas mengenai BHP (Badan Hukum Pendidikan). Meskipun dalam pasal 53 tentang BHP disebut nirlaba namun kenyataan bahwa Perguruan Tinggi mengelola keuangannya secara mandiri memberikan konsekuensi besar bahwa dana pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua seperti yang dijelaskan dalam pasal 46 ayat 1 tersebut menjadi semakin besar dan lebih besar akibat adanya otonomi pendidikan yang merupakan bentuk liberalisasi pendidikan.
Pada Desember 2005, Indonesia menyetujui liberalisasi 12 sektor jasa dengan meratifikasi GATS. Pada ratifikasi GATS pada Konferensi Tingkat Menteri di Hongkong ini pun secara resmi membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya akan 12 sektor jasa, yakni; 1) jasa bisnis, 2)jasa komunikasi, 3) jasa konstruksi dan teknik terkait, 4)jasa distribusi, 5)jasa pendidikan, 6)jasa lingkungan, 7)jasa keuangan, 8)jasa kesehatan dan sosial, 9)jasa wisata dan perjalanan, 10)jasa rekreasi, budaya dan olahraga, 11)jasa transportasi, dan 12)jasa-jasa lain yang belum tercantum. [5]
Pertemuan Konferensi Tingkat Menteri di Putaran Hongkong itupun menjadi awal Indonesia meliberalisasi jasa pendidikan, yaitu dengan meliberalisasi; 1) jasa pendidikan menengah tehnikal dan advokasi, 2) jasa pendidikan tinggi tehnikal dan advokasi, 3) jasa pendidikan tinggi, 4) jasa pelatihan dan kursus bahasa, 5) jasa pendidikan dan pelatihan sepakbola dan catur. [6]
Persis setelah Indonesia membuka selebar-lebarnya pada dunia akan liberalisasi pendidikannya, langsung ada 6 negara yang menawarkan Indonesia kerjasama dalam bidang pendidikan, yaitu Australia, AS, Jepang, Cina, Korsel, dan Selandia Baru. Mengingat saat itu populasi Indonesia sejumlah 210 juta jiwa dan yang terserap di Perguruan Tinggi hanya 14% dari jumlah umur 19-24 tahun. [7]
Liberalisasi dalam Konteks Pendidikan Tinggi
Pada tahun 2007 muncul RUU BHP dan legalisasinya menjadi UU BHP terjadi pada tahun 2009 dalam UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU BHP muncul akibat amanat pasal 53 UU Sisdiknas untuk membentuk Badan Hukum Pendidikan. Namun karena banyak pasal-pasal yang bertentangan dan merugikan masyarakat akhirnya UU BHP gagal saat diuji materi atau judicial review oleh MK(Mahkamah Konstitusi) pada Maret 2010 silam. Namun ternyata Pemerintah memang tak kehabisan akal dengan menyiapkan RUU PT (Pendidikan Tinggi) yang kemudian legalisasinya menjadi UU PT terjadi pada 13 Juli 2012 silam. Di UU PT ini pun banyak pasal yang bertentangan dan meresahkan banyak kalangan masyarakat, contoh kongkritnya adalah saat konsep otonomi pendidikan tinggi yang sudah di judicial review ke MK saat UU BHP dibawa lagi kedalam UU PT dan disetujui DPR. Entah apa yang dipikirkan oleh pemerintah?
Berbicara mengenai liberalisasi pendidikan memang tak bisa jika hanya dilihat dari realita saat ini, namun apa daya jika semua itu sudah menjadi pesanan asing dan diatur dalam ratifikasi GATS pada tahun 2005 lalu. Sejak itupun bermunculan sistem-sistem yang sangat-sangat jelas mengkomersialisasikan pendidikan. Mungkin terasa percuma jika UU BHP digagalkan oleh MK dan kini masyarakat masih menunggu hasiljudicial review UU PT oleh MK, misalkan UU PT kembali digagakan oleh MK, maka pemerintah pasti akan mencari cara lain untuk menciptakan RUU RUU lain dengan substansi yang sama yaitu meliberalisasi pendidikan, mengapa? Karena memang hal ini sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjalankan perjanjian GATS untuk meliberalisasi jasa pendidikan sejak 2005 lalu.
Hal ini sudah menjadi alur dan sudah menjadi sistem global. Apakah pemerintah mampu memproteksi pendidikan dalam negeri untuk melindungi peserta didik?? Jawabannya adalah tidak, kekuatan nasioal tidak berarti apa-apa jika dibandingkan kekuatan global (red: WTO dan GATS). Jika pendidikan mau murah dan terlepas dari intervensi asing, maka Indonesia harus memutuskan dulu hubungan antara Indonesia dengan WTO serta perjanjian GATS. Namun apakah itu mungkin?? jawabannya adalah tidak, Indonesia sangat bergantung pada The Unholy Trinity (IMF, WB, WTO) dan jika Indonesia melepaskan hubungan dengan 3 organ dunia tersebut, entah akan jadi seperti apa Indonesia, selain mendapatkan sanksi internasional yang cukup berat, Indonesia juga akan menjadi Negara terpuruk karena seluruh bantuan internasional akan berhenti dan meninggalkan Indonesia. Lalu kita harus apa?? Apakah memang sudah menjadi takdir kalau pendidikan akan mahal karena liberalisasi pendidikan?? Bukankah liberalisasi pendidikan sangat bertentangan dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945?? Pertanyaan-pertanyaa itu hanya membisu saat pemerintah terus dan terus saja menjual kedaulatan negaranya pada asing!!
Wahai mahasiswa, wahai rakyat Indonesia, apakah kalian rela jika pendidikan dijadikan sebagai komoditas yang bisa diperjual belikan???
***
Muhammad Ali Husein
Mahasiswa Hubungan Internasional 2011
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Jenderal Soedirman
Staf Kementerian Advokasi BEM FISIP Unsoed Kabinet Spektakuler
***
[1] Sensus Angka Partisipasi Sekolah BPS (Badan Pusat Statistik) Tahun 2010.
[2] Williamson, John, “What Washington Means by Policy Reform”.
[3] Malanczuk Akehurst’s, Peter. 1997, “Modern Introduction of International Law”.
[4] Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 10.
[5] Indonesia for Global Justice; GATS Informasi Dasar.
[6] Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 10-11.
[7] Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 2.
Referensi :
Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Seputar Indonesia, 12-13 Maret 2007
Frieden, Jeffrey A. 2006. “The Bretton-Wood System in Action”, dalam Global Capitalism: Its Fall and Rise in the Twentieth Century. New York: W.W. Norton & Co


LMND Lampung: Pilpres 2014 Harus Menangkan Cita-Cita Kemerdekaan !


Jumat, 27 Juni 2014 | 16:10 WIB 0 Komentar | 89 Views
 
Jumat (27/6) pagi, sekitar pukul 09.00 WIB, puluhan aktivis mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung melakukan aksi longmarch sepanjang Jl. Raden Intan menuju Tugu Adipura.
Dalam aksinya massa aksi LMND ini mengusung spanduk bertuliskan: “Pilpres 9 Juli 2014 Menangkan Cita-Cita Kemerdekaan; Usir Penjajah Asing/Imperialisme; Laksanakan Pasal 33 UUD 1945; Tegakkan Keadilan Bagi Rakyat Korban Konflik Agraria di Rembang, Karawang & Pesisir Barat”.
Selain itu, massa aksi juga menggelar aksi teatrikal jalanan. Hampir semua peserta aksi mengecat tubuhnya dengan cat berwarna merah dan bertuliskan “Sila 3 Persatuan Indonesia” di bagian punggungnya.
Tak hanya itu, mereka juga memerankan berbagai kondisi kesulitan yang masih terus dialami oleh begitu banyak rakyat Indonesia, namun luput dari perhatian karena momentum Pilpres, seperti kasus petani yang selalu dirampas tanahnya, buruh yang disunat upahnya, PKL yang digusur lapaknya, TKI yang disiksa negeri orang, danmahasiswa yang dihisap biaya pendidikan yang mahal.
Ricky Satriawan, yang menjadi coordinator lapangan aksi ini, mengatakan,“kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tidak hanyut dibutakan oleh kampanye hitam yang memancing konflik horizontal hanya karena membela pilihan capresnya saja, tetapi kita harus mengedepankan kampanye positif, harus mengutamakan mandat sila ke-3 Persatuan Indonesia, dan memajukan momentum Pilpres 9 Juli mendatang sebagai kemenangan sejati rakyat Indonesia yang berhasil mendesak komitmen dan konsistensi pemerintahan baru untuk membangun negara yang mandiri, berdaulat, adil, dan makmur.”
Sementara ketua LMND Kota Bandar Lampung, Rizmayanti, bilang, “masih ada waktu agar kedua pasangan Capres untuk kita desak agar tidak saling menghujat kekurangan masing-masing, namun mendesak mereka agar berpikir keras tentang bagaimana mewujudkan pemerintahan yang mandiri dan berdaulat.”
Menurut Rizmayanti, imperialisme sudah terlalu lama mennghisap kekayaan alam Indonesia. Di saat bersamaan, kata dia, rakyat dipaksa menjadi budak di negeri sendiri.
“Negara ini sudah bangkrut APBN kita tak sanggup membiayai kesejahteraan rakyat karena dikorupsi. Jumlahnya juga kecil karena cuma mengandalkan pajak rakyat. Sementara utang luar negeri kita terus melambung sampai tiga ribu triliun rupiah. Komitmen terhadap persoalan seperti ini yang mestinya jadi ukuran bagi kita untuk memilih capres secara objektif,” tandasnya.
Reza Fadlie, orator lainnya, mengatakan, “kita juga harus lebih objektif melihat kenyataan-kenyataan pahit berupa penderitaan rakyat atas kesewenangan penguasa lalim dan aparat sebagai contoh konflik agraria perampasan tanah rakyat oleh perusahaan penindas dan aparat keji, seperti di Rembang (Jawa Tengah), Karawang (Jawa Barat), dan Pesisir Barat (Lampung).
Selain itu, tambah dia, masih banyak persoalan mendasar yang mesti dijawab dan dituntaskan oleh pemerintahan baru.
Dalam aksinya, LMND mengusung sejumlah tuntutan yang mendesak dituntaskan oleh pemerintahan mendatang, yakni pencabutan UU Sisdiknas dan UKT, pembatalan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, penghapusan sistim outsourcing dan politik upah murah, pelaksanaan agenda reforma agraria nasional, dan peningkatan subsidi BBM, listrik, pupuk, pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial.
Dalam tuntutannya, LMND juga menuntut pemerintahan baru berani menasionalisasi aset kekayaan alam dari tangan asing, menghapus utang luar negeri, dan memberantas korupsi.
Aksi ini berlangsung sampai pukul 11.20 WIB, massa aksi membubarkan diri setelah menyanyikan lagu darah juang sebagai refleksi atas perjuangan rakyat Indonesia yang harus dituntaskan.
Devin Prastyia

Ratusan Petani Pesisir Barat Tuntut Penyelesaian Konflik Agraria


Kamis, 26 Juni 2014 | 22:45 WIB 0 Komentar | 267 Views
 
Ratusan petani plasma di kabupaten Pesisir Barat, Lampung, menggelar aksi massa di kantor Bupati setempat, Kamis (26/6/2014). Mereka menuntut pengembalian sertifikat kepemilikan lahan yang dirampas oleh PT. Karya Canggih Mandiri Utama (KCMU).
Di halaman kantor Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat, para petani yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 ini menggelar mimbar bebas. Satu per satu perwakilan petani menyampaikan orasinya.
Tak lama berselang, Bupati Pesisir Barat Kherlani keluar menemui massa aksi petani. Menurutnya, pihaknya kesulitan memproses pengembalian sertifikat petani plasma dari pihak PT. KCMU karena data yang diajukan petani tidak lengkap.
“Kami tetap berkomitmen. Namun, hingga saat ini kami masih mengumpulkan data-data valid, karena hingga kini data yang diberikan oleh petani belum lengkap, dari data mulai dari biaya penanaman hingga masa panen,” ujar dia.
Terkait komitmen dirinya dalam menuntaskan konflik agraria antara petani plasma versus PT. KCMU, Kherlani menceritakan pertemuannya dengan para petani pada Desember tahun lalu.
“Buktinya, setahun lalu saya sudah menemui bapak-bapak ini (petani) di Pasar Minggu, Ngambur, Desember lalu, dan kasih Rp. 1juta untuk makan dan minum,” jelasnya.
Pernyataan Kherlani itu kontan disambut sinis oleh para petani. Tanpa dikomando, para petani pun langsung mengumpulkan uang Rp 1 juta sebagai ganti uang yang diberikan oleh sang Bupati.
“Kita sudah bosan dengan retorika- retorika yang ada dan harus dipahami bahwa selama 20 tahun ini prosesnya masih jalan di tempat, apalagi dia (Kherlani) nampaknya bangga dengan memberi uang Rp 1 juta kemarin,” ujar Sekretaris Partai Rakyat Demokratik (PRD) Lampung, Rahmad, menanggapi pernyataan Kherlani.
Namun, Kherlani menolak pengembalian uang oleh petani. Dia bilang, uang pemberiannya kepada petani adalah bentuk kepeduliannya kepada para petani. Ia pun meminta petani untuk pulang ke rumah masing-masing.
Begitu Bupati kembali masuk ke kantornya, para petani dan aktivis PRD menggelar musyawarah. Mereka kemudian mengeluarkan deklarasi ultimatum: bila hingga tanggal 30 Agustus 2014 Pemkab Pesisir Barat belum juga mengembalikan sertifikat petani, maka petani plasma akan menggelar aksi pemboikotan terhadap PT. KCMU pada tanggal 24 September 2014.
Sujak, salah seorang petani, dalam orasinya menyatakan bahwa pada tanggal 24 September mendatang, yang bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional, para petani plasma akan menutup PT. KCMU karena telah menguasai petani secara ilegal dan mengemplang pembayaran pajak.
Solidaritas untuk Petani Karawang
Dalam aksinya, ratusan petani plasma ini juga menyatakan solidaritas terhadap petani Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat. “Kami mendukung perjuangan petani Karawang untuk mempertahankan tanahnya yang dirampas oleh Agung Podomoro Land,” ujar koordinator aksi, Gusti Kadek Artawan, dalam orasinya.
Menurut Kadek, konflik agraria yang melanda Indonesia, termasuk di Karawang, terjadi karena politik agraria saat ini yang sangat liberal dan cenderung berpihak kepada pemilik modal.
Ketua PRD Lampung Barat ini mendesak pemerintah segera menuntaskan berbagai konflik agraria di Indonesia. Tak hanya itu, ia juga mendesak agar pemerintah segera melaksanakan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai basis untuk mengembalikan tata-kelola agraria yang berkeadilan sosial.
Togar Harahap

PRD Lampung Gelar Launching Sikap Politik Terhadap Pilpres 2014


Rabu, 11 Juni 2014 | 15:57 WIB   ·   0 Komentar
Pada hari Selasa (10/6/2014), sekitar pukul 16.00 WIB, bertempat di sekretariat KPW PRD Lampung, Jl Sadewo Bawah No.46 Bandar Lampung, digelar acara launching sikap politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) terhadap momentum Pilpres 2014.
Acara yang dihadiri oleh puluhan tamu undangan dari berbagai elemen gerakan rakyat serta rekan-rekan pers di provinsi Lampung itu mengambil tema Bersatu Memenangkan Program Kemandirian Nasional Untuk Mewujudkan Cita-Cita Proklamasi 17 Agustus 1945”. Isnan Subkhi, Staf Deputi Politik KPW PRD Lampung, memulainya dengan membacakan dokumen sikap politik PRD terhadap Pilpres tahun 2014.
Seusai pembacaan dokumen sikap politik, diadakan diskusi terbuka dan tanggapan. Enny Mushidah, wartawan Antara, sempat mempertanyakan kemana pilihan politik PRD diberikan antara kedua capres.
“PRD tidak mendukung salah satu capres, bukan berarti juga menyerukan golput, sebaliknya PRD memandang momentum ini sebagai ruang untuk melakukan pendidikan politik yang programatik dan idologis terhadap masyarakat. Pasalnya, keduanya adalah representasi kaum nasionalis yang sudah berhasil menyingkirkan kaum neoliberalis dari panggung politik nasional. Tugas PRD adalah memagari dan memajukan program-program pro kemandirian nasional yang sudah diusung oleh kedua capres,” kata Deputi Politik KPW PRD Lampung, Rakhmad Husein DC, menjawab pertanyaaan tersebut.
Annisa, seorang seniman drama yang turut hadir, memberikan pendapatnya. Menurut dia, masyarakat saat ini sudah dibuat terlalu bingung dalam menentukan pilihan, karena media massa tidak lagi berada pada jalurnya. Mereka sibuk mengunggulkan dan menjelekkan satu sama lain: Prabowo disebut pelanggar HAM, sedangkan Jokowi dituding menutupi identitas asilnya sebagai keturunan etnis cina dan seorang muallaf.
Menaggapi hal tersebut, Isnan Subkhi mengatakan, yang terpenting adalah kita harus mengedepankan kecerdasan dalam menyaring semua informasi yang diberikan oleh semua media massa. “Kita jangan mau digiring menjadi bodoh dan melupakan persoalan pokok yang semestinya dibahas, yakni program-program kebijakan pro kemandirian nasional yang telah dikumandangkan oleh kedua capres. Semestinya kita bisa mendesakkan persoalan ini hingga pada tataran bagaimana operasionalisasinya,” pungkas alumnus Unila itu.
Senada dengan itu, ketua PMKRI Lampung Rizal mengatakan, “jangan mau kita dibuat saling serang dan saling benci hanya karena fanatisme terhadap ketokohan capres-capres itu saja, bisa jadi kampanye hitam ini menimbulkan chaos, konflik horizontal di antara masyarakat itu sendiri, ini sangat bertentangan dengan semangat persatuan dan kebhinekaan yang selama ini kita agungkan.”
Menurutnya, kita harus sadar sepenuhnya bahwa munculnya duel kekuatan nasionalis di pilpres ini merupakan buah dari pendidikan politik kritis yang selama dua periode kepemimpinan SBY ini selalu didengungkan oleh berbagai elemen gerakan melalui protes dan aksi massa.
“Ternyata rakyat kita mulai sadar bahwa rezim neoliberal harus dihukum dan disisihkan dari arena,” katanya.
Rizmayanti, aktivis LMND Lampung, menegaskan, “sebagai organisasi gerakan, kita semua tentu memiliki kesadaran lebih terhadap momentum politik semacam pilres, oleh karenanya menjadi tugas kita bersama untuk mengawal dan memajukan proses ini menjadi ajang pencerdasan politik rakyat.”
Menurut dia, kaum pergerakana harus gencar mengajak seluruh lapisan rakyat memperdebatkan agenda-agenda kampanye positif. “Kita harus mendorong partisipasi aktif rakyat agar pemerintahan baru yang terpilih kelak bisa konsisten menjalankan roda pemerintahan demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan,” serunya.
Togar Harahap

Opini : Memenangkan Cita-Cita Kemerdekaan Nasional


 
Secara resmi KPU sudah menetapkan nomor urut dua pasang calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang siap bertarung merebut simpati rakyat dalam momentum puncak tahun politik 2014, yakni Pilpres pada 9 Juli  mendatang.

Dua pasangan itu adalah Prabowo Subianto – Hatta Rajasa di nomor urut 1 dan Joko Widodo – Jusuf Kalla di nomor urut 2. Keempat orang itu merupakan tokoh politik nasional yang sudah sangat dikenal track record nya selama ini. Uniknya, kedua pasangan ini merupakan representasi kekuatan politik oposisi yang berbaur dengan unsur kekuatan politik petahana. Semisal, Jokowi dari PDI-P berpasangan dengan mantan wakil Presiden, Jusuf Kallan, yang juga mantan ketua umum partai Golkar dan wapres periode 2004-2009. Sementara Prabowo dari Gerindra berpasangan dengan Hatta Rajasa yang menjabat menteri di dua periode kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Duel Nasionalis

Terlepas dari itu semua, tahun ini memang telah menjadi momentum kemenangan bagi kekuatan politik baru yang punya kecenderungan membangkitkan kembali semangat ideologi nasionalisme ala Bung Karno. Hasil Pileg bulan Juli kemarin menunjukkannya dengan perolehan suara yang diraih oleh PDI Perjuangan di posisi pertama dengan jumlah 18,95 %, Gerindra di posisi ketiga dengan jumlah 11, 81 %, sementara pendatang baru Nasdem bertengger di posisi 8 dengan jumlah 6,72 %. Ketiga partai politik ini cukup getol menyatakan diri sebagai oposisi dan menghidupkan kembali nuansa politik ideologis yang kental dengan jargon dan retorika nasionalisme, semisal semangat restorasi bangsa, trisakti, kebangkitan bangsa, dan sebagainya. Sementara partai-partai politik lainnya cenderung selalu mengambil langkah moderat demi menjaga eksistensinya di dalam pemerintahan.

Persoalannya memang, selama lebih satu dasawarsa terakhir, bangsa kita menghadapi situasi pelik yang kian menjauhi cita-cita kemerdekaan. Alih-alih memenangkan demokrasi politik, reformasi malah melahirkan gegar kebebasan politik yang membuat para elit sibuk berebut kursi kekuasaan demi mengamankan posisi kelompok masing-masing. Situasi ini telah begitu melemahkan bangsa kita hingga cengkraman penjajahan asing gaya baru yang kerap disebut neoliberalisme semakin kokoh meluas.

Kemudian, soal sumber daya alam kita yang begitu kaya telah dikuasai oleh berbagai perusahan raksasa asing. Juga betapa kuasanya produk impor yang membuat kita ketergantungan. Betapa besarnya pula lonjakan kenaikan utang luar negeri yang harus kita tanggung sekarang. Ditambah banyaknya regulasi dan Undang-Undang yang diterbitkan untuk memuluskan semuanya. Karenanya, tak salah jika banyak pihak berpendapat bahwa bangsa ini belum mencapai kemerdekaan yang seutuhnya.

Indonesia Menang

Jika kita merujuk pada dokumen resmi Visi Misi dan Program kedua capres yang dipublikasikan oleh KPU RI, sejatinya visi-misi kedua capres bernuansa selaras dengan mengusung tema kemandirian nasional. Tampaknya mereka cukup memiliki kesadaran yang sefaham tentang persoalan pokok yang paling mendesak untuk diatasi bangsa ini, yakni praktik neoliberalisme dan penegakkan konsep clean and good government.
Namun, agak disayangkan ketika secara programatik kedua kekuatan capres nasionalis ini relatif sama, amunisi yang digunakan untuk bertarung justru masalah-masalah personal dan rekam jejak. Akibatnya, rakyat bukan disuguhi gambaran konkret mengenai aplikasi program kemandirian nasionalnya itu, malah hidangan isu-isu kampanye negatif sampai hitamyang muncul berjejalan. Tentu situasi ini sangat kontra-produktif bagi semangat kemandirian bangsa itu sendiri.

Kemerdekaan nasional seharusnya menjadi jalan bagi kita untuk membangun bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Itu pula yang akan menjadi landasan bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita nasionalnya: masyarakat adil dan makmur. Penting bagi kita semua, seluruh kalangan rakyat Indonesia, baik yang sudah menentukan pilihan mau pun tidak, agar memahami betul esensi momentum Pilpres ini sebagai penentu arah masa depan Bangsa.

Kemenangan parpol nasionalis ini harus dikerucutkan menjadi kemenangan sejati Bangsa Indonesia, siapa pun yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presidennya. Jika tidak, momentum pemilu ini hanya akan kembali berlangsung hampa sekadar sebagai prosedur suksesi kepemimpinan yang tidak sungguh-sungguh membawa perubahan. Hanya dengan mengusung kampanye positif yang kental nuansa programatik dan ideologis, seraya menempatkan semangat persatuan nasional sebagai batas perdebatan-lah, kelak kedua pihak ini bisa didorong untuk saling menopang pemerintahan Indonesia yang baru.

Pleno KPUD Lampung Tengah Ricuh, Satu Saksi Ditangkap


Rabu, 16 April 2014 | 10:58 WIB   ·   0 Komentar
Suasana Rapat Pleno perhitungan suara hasil pemilihan gubernur (Pilgub) Lampung di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Lampung Tengah, Selasa (15/4/2013), berlangsung ricuh.
Rapat Pleno KPU Lamteng ini diwarnai hujan interupsi. Salah satunya diajukan oleh saksi dari pasangan Calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur Herman HN-Zainudin Hasan (Manzada).
Joni Fadli, yang menjadi saksi pasangan Manzada, menuntut agar dilakukan penghitungan ulang surat suara di Kampung Utama Jaya, kecamatan Seputih Mataram.
Pasalnya, menurut Joni Fadli, pada saat penghitungan suara di daerah tersebut, 6 saksi dari Manzada ditolak masuk oleh petugas PPS. Karena itu, Joni menuding ada upaya manipulasi dalam proses penghitungan tersebut.
Namun, tuntutan tersebut diabaikan oleh pihak KPUD. Karena merasa tuntutannya diabaikan dan KPU tidak netral, maka saksi Manzada pun marah. Kericuhan pun tak terelakkan.
Ketua KPUD Lampung Tengah, Hendra Fadilah, menerintahkan aparat kepolisian untuk menangkap Joni Fadli. Alasannya, Joni Fadli telah memprovokasi kericuhan di Rapat Pleno KPU tersebut.
Ironisnya, Ketua Partai Demokrat Lampung Tengah, Syamsir Firdaus, yang juga saksi dari pasangan Ridho Ficardo-Bachtiar Basri, turut berteriak-teriak menuntut agar Joni Fadli ditangkap.
Untuk diketahui, selain protes dari saksi Manzada, Rapat Pleno KPUD Lampung tengah juga diwarnai dengan aksi “Walk-Out” dari saksi pasangan  Berlian Tihang-Mukhlis Basri dan M Alzier Dianis Tabrani-Lukman Hakim. Alhasil, Rapat Pleno KPUD Lampung Tengah hanya diikuti oleh saksi dari pasangan Ridho Ficardo-Bachtiar Basri.
Menanggapi penangkapan saksi pasangan Manzada, Tim Advokasi dari Manzada berencana mendatangi Polda Lampung untuk melaporkan Ketua KPUD Lampung Tengah dan Ketua Partai Demokrat Lampung Tengah.
Untuk diketahui, Joni Fadli adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di tahun 1990-an, ia terlibat dalam perjuangan mahasiswa dan rakyat untuk melawan kediktatoran Orde Baru.
Ulfa Ilyas

Sumber Artikel:
http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20140416/pleno-kpud-lampung-tengah-ricuh-satu-saksi-ditangkap.html#ixzz2z9QU7WRL
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Opini Sekali Lagi, Pancasila Dasar Negara !


Jumat, 11 April 2014 | 18:28 WIB   ·   0 Komentar
Pancasila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; (5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sebuah kabar gembira akhirnya muncul ke muka publik setelah berusaha keras berjejalan dengan tumpukan berita dan iklan seputar kontes pemilu yang mulai menjemukan. Kabar itu adalah tentang keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan tuntutan judicial review oleh Masyarakat Pengawal Pancasila Yogyakarta, Solo, Semarang (MPP Joglo Semar) atas Pasal 34 ayat 3b UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik yang menyebut Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan. MK melalui ketuanya Hamdan Zoelva pada kamis (3/4) kemarin secara resmi telah menghapus frasa “empat pilar kebangsaan dan bernegara” dalam pasal tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Sebuah Polemik
Empat Pilar Kebangsaan yang mencakup Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI merupakan sebuah paket doktrin yang digagas oleh lembaga MPR RI sekitar empat tahun lalu. Gagasan ini kemudian sangat gencar disosialisasikan di berbagai ruang publik, terutama lembaga pendidikan, maupun lembaga negara lainnya karena dinilai sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman bagi setiap warga negara dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan pada Maret 2013 lalu, mendiang Taufiq Kiemas mewakili lembaga MPR RI yang dipimpinnya saat itu sempat memperoleh gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C) dari Universitas Trisakti atas jasanya melahirkan gagasan tersebut.
Namun perjalanannnya tidaklah mulus. Ada banyak protes dilontarkan berbagai kalangan masyarakat, dari yang awam sampai akademikus dan tokoh politik. Pada dasarnya kritik mereka ini sangat beralasan dan sepatutnya dipertimbangkan, tapi hal ini malah menjadi polemik karena MPR RI bergeming dengan semakin massif melakukan sosialisasi empat pilar kebangsaan. Persoalan pokoknya bukanlah pada penggunaan analogi bangunan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena sejak dahulu analogi itu sudah dipakai, melainkan soal semantik yakni diksi atau pemilihan kata yang salah dalam mengemas dan memposisikan beberapa nilai luhur yang patut dilestarikan tersebut. Frasa “pilar” dalam sebuah bangunan merupakan tiang penopang dan bermakna hal yang dimaksud itu sangatlah penting untuk ditegakkan dengan kokoh.
Kesalahan ini memang cukup fatal karena menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar sangatlah berpotensi “menyesatkan” pengetahuan anak bangsa. Sejak awal kemerdekaan sudah begitu jelas dinyatakan dalam lembaran konstitusi resmi negara, yakni pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke-4 menyebut Pancasila sebagai dasar negara. Pun demikian, dokumen-dokumen sejarah atau para founding father berkali-kali menegaskannya sebagai falsafah dasar yang sangat fundamental, pandangan hidup bangsa, ideologi nasional, dan sumber hukum. Oleh karenanya gagasan empat pilar kebangsaan dianggap bisa mereduksi makna luhur dari Pancasila itu sendiri. Dalam kajian filsafat ilmu pun ini menimbulkan kerancuan secara ontologis, epistimologis, dan aksiologis.
Kritik Konstruktif
Prof. Sri-Edi Swasono, salah seorang kritikus konsep ini, dalam banyak kesempatan pernah memberi sebuah kritik konstruktif bahwa Pancasila tak bisa diganggu gugat sebagai dasar negara, sementara 4 pilar yang lebih tepat yaitu : 1. Proklamasi kemerdekaan; 2. UUD 1945; 3. NKRI; 4. Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan atap yang menaunginya adalah cita-cita kemerdekaan nasional dalam teks pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dengan demikian konsep bangunan negara dan bangsa Indonesia yang utuh senantiasa kokoh di tengah iklim borderless state sekarang ini.
Bagaimana pun juga gagasan inovatif lembaga MPR RI untuk kembali menegakkan dan menghidupkan nilai luhur berbangsa dan bernegara di tengah zaman yang mulai absurd ini sangatlah patut diapresiasi. Bangsa kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan oleh kepentingan asing. Sementara di dalam kita terpuruk dengan belitan kusut persoalan seperti korupsi, konflik horizontal, rendahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, dan seterusnya. Belum lagi fragmentasi kepentingan politik dan pemilu kerap menambah keruh suasana.
Polemik yang mulai berakhir ini barangkali bermanfaat memantik bangkitnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya persatuan nasional ketimbang saling sikut. Terlebih lagi jika mampu mendorong kepedulian generasi muda Indonesia, yang pengetahuan sejarahnya sudah sedemikian rupa terputus oleh arus liberalisasi ini agar lebih pro aktif menggali dan mengkaji sejarah dan pengetahuan tentang bangsanya sendiri. Sekarang, masyarakat Indonesia tinggal menunggu langkah arif lembaga MPR RI untuk melahirkan inovasi baru yang menyempurnakan semangat awalnya sebagai pelopor sekaligus penjaga nyala obor semangat kebangsaan di hati dan benak seluruh rakyat Indonesia. Hal penting yang perlu dipertegas oleh lembaga negara tersebut adalah mengusung inklusifitas dengan mengedepankan musyawarah terbuka yang melibatkan berbagai pihak terutama para ahli maupun kelompok masyarakat lainnya agar tragedi penyesatan faham kebangsaan yang barangkali tidak secara serius disengaja ini terulang kembali.

Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung