Menu Utama

Jumat, 04 Juli 2014

Kecacatan Sistem Dalam Uang Kuliah Tunggal


Senin, 25 November 2013
Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad[1]



Kawan SD, SMP, maupun SMA kita, kini banyak yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Padahal mereka ingin sekali ke pendidikan tinggi. Mau tidak mau, mereka menjadi buruh, tani, atau bahkan sialnya jadi pengangguran. Bagi mereka, yang terpenting adalah bertahan hidup dari jerembab kuasa rezim yang najis ini. Bagaimana mereka hendak kuliah? Kalau uang gedung atau uang pangkalnya saja paling kecil 5 juta rupiah. Itu paling kecil. Sedangkan untuk mendapat kampus bermutu, setidaknya harus merogoh kocek belasan, puluhan, hingga ratusan juta.


Bermula Dari Pungutan Uang Pangkal
Uang pangkal adalah pungutan paksa yang harus dibayarkan mahasiswa baru untuk dapat mengakses kuliah. Disebut pungutan paksa, karena bila tidak dilaksanakan maka tidak bisa kuliah. Uang pangkal ini namanya bermacam-macam. Ada SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi), POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa), BOPP (Biaya Operasional Pendidikan Tinggi), BFP (Biaya Fasilitas Pendidikan). Tapi apapun namanya, besarannya tidak jauh beda. Fungsi dari uang pangkal ini tidak jelas, karena biasanya tidak pernah ada transparansi mengenai untuk apa sajakah uang pangkal ini digunakan.
Fenomena uang pangkal ini terjadi pada fase-fase reformasi. Melalui penyepakatan GATS (General Agreement of Trade and Services), pendidikan tinggi dijadikan salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan secara bebas. GATS ini adalah cikal bakal WTO (World Trade Organization), dan Indonesia bergabung di dalamnya. Dari sini ada peralihan persepsi dimana tadinya pendidikan bukanlah komoditi, kemudian diubah menjadi komoditi. Proses yang demikian disebut komodifikasi pendidikan. Posisi negara tidak lagi menjamin hak manusia, tapi menjadi pelayan penguasa modal. Negara dibuat sebisa mungkin mengurangi intervensinya atas pasar, termasuk dalam membiayai pendidikan. Tujuannya jelas, yakni laba bagi penguasa modal. Dari sini, dapat terlihat bahwa peran Internasional mempengaruhi sistem pendidikan nasional.
Dampaknya dalam regulasi nasional adalah salah satunya pasca Undang-Undang BHP dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret tahun 2010, dua minggu kemudian tepatnya 17 April 2010, World Bank mengeluarkan dokumen Indonesia lewat proyek Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank Dunia untuk bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun renstra pendidikan nasional yang berbunyi begini, “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has a legal subset of BHP”[2]. Inilah cikal bakal pemerintah menyusun Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT).
UU PT adalah reinkarnasi dari UU BHP, semangat neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam pasal 62, diatur bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan sendiri kampusnya. Masih sama dengan konsep UU BHP, salah satu wewenang dari otonomi perguruan tinggi ini adalah dengan membentuk unit bisnis dan mengembangkan harta abadi. Dalam pasal 73 ayat (1) mengatur mengenai pola penerimaan mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah sebelumnya, yakni melegalisir penerimaan mahasiswa baru selain penerimaan mahasiswa secara nasional. Tidak berhenti disitu, dalam Pasal 91 ayat (2) huruf a mengatur bahwa masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industri. Bahasa sarkastiknya ialah, dalam hal ini pihak swasta menginginkan lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja untuk kepentingan pemodal. Dan masih banyak masalah lainnya.
         Nah, di dalam paragraf dua saya berujar bahwa fenomena uang pangkal terjadi fase-fase reformasi. Itu artinya, sebelum reformasi tidak ada pungutan uang pangkal. Yang ada hanyalah SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan). Kalaupun ada uang gedung, itu tidak dipungut secara paksa, melainkan sukarela. Lalu mengapa kemudian ada uang pangkal? Sekiranya argumen dalam paragraf diatas cukup mewakili sebagai basis argumen kenapa ada uang gedung.
          Yang pertama, pengurangan anggaran pendidikan tinggi kepada perguruan tinggi. Logika pendidikan sebagai komoditi mengharuskan pemerintah mengurangi intervensinya dalam hal pembiayaan pendidikan. Hal ini membuat perguruan tinggi mengalami kesulitan finansial untuk membiayai keperluan operasional dan sebagainya. Yang kedua, otonomi kampus. Namun yang dimaksud bukanlah otonomi akademik, melainkan otonomi pengelolaan. Kampus yang telah direduksi jatah anggarannya, mau tidak mau dituntut inovatif mencari uang dari tempat lain selain negara. Maka didirikanlah hotel kampus, bengkel, rumah sakit berbayar, bisnis lahan parkir, dan sebagainya. Namun itu bukan yang utama. Yang utama adalah uang pangkal. Dengan asumsi otonomi kampus, uang pangkal menjadi memungkinkan untuk dilaksanakan, karena memang kampus dituntut mandiri untuk membiayai urusannya sendiri. Yang ketiga, wewenang untuk menyimpan harta abadi. Disinilah pengubahan watak perguruan tinggi yang tadinya hanya sebagai ajang penyelenggaraan pendidikan, menjadi ajang bisnis. Anehnya, tidak pernah diatur untuk apa bisnis itu dibuat. Tidak ada regulasi yang mengatur, misalnya, bahwa laba bisnis tersebut digunakan untuk mengurangi beban biaya mahasiswa. Yang terjadi adalah bahwa laba bisnis tersebut justru dikorupsi[3]. Wewenang tersebut berfungsi untuk semakin memperkuat basis asumsi Yang pertama dan Yang kedua. Ketiga hal inilah yang menjadikan, mengapa posisi perguruan tinggi kokoh berdiri.

UKT Sebagai (Sekedar) Revisi Atas Rezim Uang Pangkal
          Pendidikan tinggi yang beroperasi dengan corak uang pangkal, ternyata menimbulkan protes. Mahasiswa, terutama orangtua mahasiswa banyak yang tidak sanggup. Di banyak kasus di jawa tengah, orangtua kerap menggadaikan hartanya seperti traktor, motor, dan lainnya untuk membiayai anaknya menempuh pendidikan tinggi. Sekiranya banyaknya aksi yang terjadi selama rezim uang pangkal tidak perlu saya jabarkan disini, karena saya yakin kawan-kawan mahasiswa di kampus masing-masing yang paling tau detil protesnya.
            Runtuhnya rezim uang pangkal bukan serta merta karena unsur eksternal dari sistem, semisal seperti maraknya gerakan massa yang melakukan protes. Namun, juga karena rezim uang pangkal ini pada dasarnya adalah pungli atau pungutan liar. Suatu pungutan dapat diketegorikan pungli bila ia tidak berdasar hukum, atau berdasar hukum yang bertentangan dengan dasar hukum yang lebih tinggi.
          Uang pangkal, biasanya memiliki dasar hukum berupa Surat Keputusan maupun Peraturan Rektor. Dasar hukum uang pangkal biasanya berpayung pada pasal 114 Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 114
(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah perolehan dana perguruan tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut :
   a.  Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);
   b.  Biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;
   c.  Hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi;
   d.  Hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi;
   e. Sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga non-Pemerintah; dan  
   f.   Penerimaan dari masyarakat lainnya.
Wewenang untuk memungut uang dari masyarakat dijadikan landasan untuk memungut uang pangkal. Padahal, di sisi lain ada pula berbagai aturan yang telah membatasi mengenai pungutan uang pangkal.
Dalam pasal 52 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, dinyatakan bahwa pungutan oleh satuan pendidikan dalam rangka memenuhi tanggung jawab peserta didik, orang tua atau walinya, tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik. Namun dalam prakteknya, uang pangkal adalah syarat supaya bisa mengakses pendidikan tinggi.
Lalu, berdasarkan Kepmenkeu Nomor 115 tahun 2001, dinyatakan bahwa baik SPP maupun uang pangkal pada dasarnya adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Karenanya, mengenai SPP maupun uang pangkal harus tunduk pada UU Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP. Nah, dalam pasal 3 ayat (2), diatur bahwa setiap PNBP harus diatur dengan undang-undang maupun peraturan pemerintah. Disinilah letak kecacatan uang pangkal. Pada umumnya, uang pangkal hanya diatur melalui Peraturan Rektor saja sebagai legitimasi untuk menarik dana kepada mahasiswa, lalu dijadikan pemasukan dalam bentuk PNBP. Padahal, supaya bisa disebut PNBP, haruslah diatur dengan undang-undang maupun peraturan pemerintah, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Terlebih, dalam pasal 88 ayat (5) diatur bahwa, supaya menjadi legal, satuan biaya haruslah berdasar hukum pada peraturan menteri.
Hal-hal inilah yang membuat posisi uang pangkal menjadi jelas, bahwa ia merupakan pungli. Uang pangkal memang berdasar hukum, akan tetapi dasar hukumnya itu bertentangan dengan dasar hukum yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi dasar pemerintah memberlakukan sistem pembayaran baru yakni Uang Kuliah Tunggal atau UKT. Yang perlu digarisbawahi, pada dasarnya UKT hanyalah wujud baru dari uang pangkal yang telah ada.
Pada tanggal 9 April 2012, Rektor se-Indonesia berkumpul bersama DIKTI dalam rangka pembahasan Uang Kuliah Tunggal yang selanjutnya disebut UKT. Adapun UKT berlandaskan pada Surat Edaran DIKTI No. 21/ E/T/2012, dan Surat Edaran Dikti No. 274/E/T/2012. Selain itu juga ada Surat Edaran No. 305/E/T/2012 tentang Larangan Kenaikan Biaya Kuliah. Pada perkumpulan tersebut, akhirnya ada 3 universitas yang mengiyakan sistem UKT, yakni Unsoed, UNS, dan UNJ. Ada pula jenis UKT lain yang kini sudah diberlakukan di seluruh PTN di Indonesia , yakni UKT melalui Permendikbud No.55 tahun 2013 tentang Uang Kuliah Tunggal. Jadi, secara faktual ada 2 jenis UKT. Yang pertama, UKT 2012 yakni UKT yang berlandaskan Surat Edaran dan Peraturan Rektor di UNS, UNJ, dan Unsoed. Yang kedua, UKT 2013, yakni UKT yang diberlakukan untuk angkatan 2013 berdasarkan Permendikbud No. 55 tahun 2013.
UKT yang menjadi fokus bahasan di bawah ini adalah UKT jenis kedua. Hal ini dikarenakan UKT yang pertamasudah jelas kedudukannya, bahwasanya ia adalah pungli. Disebut pungli, karena tidak berlandaskan hukum melalui UU maupun Peraturan Pemerintah. UKT 2012 hanya berlandaskan Peraturan Rektor. Meski begitu, sampai tulisan ini terbit, UKT 2012, terkhususnya di Unsoed, masih menjadi pokok sengketa di PTUN Semarang. Kebenaran akan sah tidaknya UKT 2012 menunggu ketuk palu sang hakim.
UKT adalah sistem pembayaran kuliah yang menggantikan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). UKT meniadakan pemungutan uang gedung, wisuda, almamater, dan segala pungutan lain karena semua dijadikan satu pembayaran bernama UKT. Adapun besaran UKT didasarkan pada sebuah Unitcost, yakni seluruh kebutuhan penyelenggaraan kampus.Unitcost , yang selanjutnya disebut UC tidaklah semuanya dijadikan dasar UKT, akan tetapi hanya sebagian saja. Akan tetapi, dalam UKT 2013 tidak lagi menggunakan bahasa Unitcost, melainkan Biaya Kuliah Tunggal. Namun maknanya sama saja.
           
Berikut adalah ilustrasi yang mungkin dapat mudah menggambarkan sistem UKT:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-B9pwEHmYp2A7ynqAzrBZeGVyFn_ReVBuF2iuz0T_f6TwDIpzIB5NID-txn8ohaGD-69YHiuhk1L1cEbwpo2x9onCg4ah19qzhUjMoMJAFgP8CJhHQEhKbPS_L_5sQ-S3UTUB4lxaV2c/s320/Unbenannt.png

Lain halnya dengan rezim SPP dan rezim uang pangkal, UKT memasukkan pemain baru dalam sistemnya yakni BOPTN. Adapun BOPTN dalam pasal 1 Permendikbud Nomor 58 Tahun 2012 tentang BOPTN, bahwa Bantuan operasional perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah yang selanjutnya disebut BOPTN merupakan bantuan biaya dari Pemerintah yang diberikan pada perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan biaya operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan sumbangan pendidikan (SPP) di perguruan tinggi negeri. Dari skema di atas dapat digambarkan bahwa BOPTN memiliki peran penting dalam menentukan UKT dan BOPTN. Semakin besar BOPTN, semakin kecil pula UKT yang harus ditanggung mahasiswa.
Lalu ada pula sistem pembayaran berbasis level ekonomi. Dalam Pasal 4 Permendikbud tentang UKT, mengatur tentang pembayaran berbasis level ekonomi. Jadi, semakin rendah tingkat ekonominya maka ia akan membayar UKT semakin murah. Ada 5 level dalam sistem UKT. Level 1 sampai 2 biasanya bernominal kisaran 0 sampai 1 juta rupiah per semesternya. Sedangkan level 3 sampai 5 berarti diatas 1 juta sampai puluhan juta. Sistem pembayaran berbasis level ini digunakan oleh pemerintah untuk menganggulangi orang-orang yang tidak mampu mengakses pendidikan tinggi.
           Dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada UKT, yang menggantikan rezim pungutan uang pangkal, apakah ini berarti tidak ada kritik atas UKT? Sistem UKT banyak digembar-gemborkan sebagai sistem yang baik. Namun pada dasarnya, UKT hanyalah merevisi kebijakan bobrok yang sebelumnya. Uang pangkal, sebagaimana telah kita pahami adalah pungli. Memang, UKT dalam hal ini selintas bukanlah pungli, karena ia berdasarkan hukum pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dapat dikategorikan juga sebagai produk Peraturan Pemerintah. UKT telah memenuhi syarat-syarat yang tidak dipenuhi rezim uang pangkal. Namun itu hanyalah persoalan formal belaka. Secara formal UKT memang legal, tetapi secara materiil tidak. UKT tidak lain dan tidak bukan hanyalah akumulasi pungli dari masa ke masa yang di buat seolah-olah legal.
Bila menggunakan kacamata matematis, maka jika kita menyatakan suatu biaya pendidikan adalah murah, bilamana biaya pendidikan itu turun harganya dari yang sebelumnya. Namun hal ini tidak terjadi pada UKT. Berikut adalah tabel mengenai sampel sederhana di kampus saya, yakni Fakultas Hukum Unsoed, bagaimana UKT tidak membuat biaya semakin murah[4] :

Angkatan
Nama Satuan Biaya
Besaran
Volume
Jumlah
Total
2008
POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa)
2 juta atau lebih
Sekali sebelum masuk kuliah
Rp.2.000.000
RP.11.975.000
SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan)
1,1 juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
Tiap semester
Rp.6.700.000
KKN (Kuliah Kerja Nyata)
Rp.1.850.000
Sekali sebelum masuk kuliah
Rp.1.850.000
Wisuda
Rp.625.000
Sekali
Rp.625.000
2009
BOPP (Bantuan Operasional Pembiayaan Pendidikan)
5 juta atau lebih
Sekali sebelum masuk kuliah
Rp.5000.000
Rp.14.975.000
SPP
1,1 juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
Tiap semester
Rp.6.700.000
Biaya Pendidikan
Rp.1.850.000
Sekali sebelum masuk kuliah
Rp.1.850.000
KKN
Rp.625.000
Sekali
Rp.625.000
Wisuda
1,1 juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
Tiap semester
Rp.6.700.000
2010
BOPP
5 juta atau lebih
Sekali sebelum masuk kuliah
Rp.5000.000
Rp.14.975.000
SPP
1,1 juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
Tiap semester
Rp.6.700.000
Biaya Pendidikan
Rp.1.850.000
Sekali sebelum masuk kuliah
Rp.1.850.000
KKN
Rp.625.000
Sekali
Rp.625.000
Wisuda
1,1 juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
Tiap semester
Rp.6.700.000
2011
BFP (Biaya Fasilitas Pendidikan)
5 juta atau lebih
Sekali sebelum masuk kuliah
Rp.5000.000
Rp.14.975.000
SPP
1,1 juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
Tiap semester
Rp.6.700.000
KKN
Rp.1.850.000
Sekali sebelum masuk kuliah
Rp.1.850.000
Wisuda
Rp.625.000
Sekali
Rp.625.000
2012
UKT (Uang Kuliah Tunggal)
2,5 juta atau lebih
Tiap semester
Rp.20.000.000
Rp.20.000.000
Sumbangan Murni
Mulai dari 0 rupiah atau lebih
Tiap semester


2013
UKT
Rp.2.500.000
Tiap semester
Rp.20.000.000
Rp.20.000.000

Jumlah biaya ini disusun dengan catatan bahwa ini adalah harga paling rendah, dalam artian bahwa di dalam praktek, bisa jadi mahasiswa membayar lebih dari ini. Bila kita cermati, dari tahun 2008 sampai 2013 saja, telah terjadi kenaikan biaya pendidikan sebesar 67%. Itu artinya UKT tidak menyelesaikan masalah, namun hanyalah membawa masalah baru dengan logika sistem yang direvisi.
Pertanyaan selanjutnya : “Bukankah BOPTN dapat membantu UKT menjadi lebih murah?”. Asumsi ini dibuat pemerintah untuk meyakini bahwa BOPTN semakin lama akan semakin besar dan UKT semakin kecil. Kita perlu mewaspadai penggunaan istilah “Bantuan”. Menurut Darmaningtyas dalam bukunya yang berjudul Manipulasi Kebijakan Pendidikan, istilah “bantuan” dalam BOPTN, BOPTS (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta), dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) merupakan bahasa dengan logika berpikir perusahaan. Dalam hal demikian, “Bantuan” tak lebih dari sebuah amal,charity, maupun CSR (Corporate Social Responsibility). Nah, konsekuensinya adalah, maka Bantuan ini sifatnya tergantung kedermawanan pemerintah. Sehingga pemerintah telah tereduksi perannya sebagai penjamin hak pendidikan, menjadi donatur pendidikan. Ini adalah logika yang dianut oleh sistem pendidikan nasional di negara kita.
Kemudan perihal pembayaran berbasis level ekonomi. Seringkali, hal inilah yang diunggulkan dalam UKT. Untuk orang “kaya”, ia bisa masuk level 3 sampai 5. Untuk orang “miskin”, ia bisa masuk level 1 sampai 2. Sistem ini dianggap sistem yang humanis, dimana “yang kaya bayar mahal, yang miskin boleh murah”. Namun asumsi “kaya” dan “miskin” ini sangat lemah dalam argumentasi. Bahkan bila kita menggunakan perspektif stratifikasi sosial pun, seharusnya ada 1 golongan lagi, yakni golongan “menengah”. Golongan “menengah” mempunyai persoalan dimana mereka terombang-ambing (secara harta kekayaan) dihadapkan oleh situasi. Kelak mereka bisa jadi lebih kaya, kelak pula bisa menjadi miskin. Sistem UKT tidak mengantisipasi bagaimana seandainya terjadi keluarga mahasiswa yang tadinya menengah menjadi miskin. Sistem UKT menganggap hanya ada kaya dan miskin, sehingga menengah digolongkan sebagai kaya. Namun ketika suatu saat si menengah menjadi miskin, ia tetap digolongkan sebagai kaya, karena sewaktu registrasi, ia berstatus orang kaya.
Tidak berhenti sampai situ, sistem pembayaran berbasis level ekonomi dalam Permendikbud tentang UKT pun bertentangan dengan dasar hukum yang lebih tinggi, yakni UU Pendidikan Tinggi. Dalam pasal 74 UU Pendidikan Tinggi, dikatakan bahwa PTN wajib menerima mahasiswa berprestasi tapi kurang mampu secara ekonomi sebanyak 20% yang tersebar di setiap Prodi. Sementara, Permendikbud tentang UKT mengatur bahwa yang dapat masuk UKT level 1 ialah 5% dan level 2 adalah 5% saja. Ini berarti ada selisih 10% yang dikorupsi oleh Sistem UKT. Dari sini dapat terlihat bahwa UKT sendiri berupaya mencuri-curi kesempatan dengan cara yang seolah legal[5].
Pondasi argumen dalam rezim uang pangkal dan UKT tidaklah jauh berbeda, sehingga pasti selalu ada problem dalam logika sistem yang dibangun. Keduanya tidak mengubah bangunan yang ada di perguruan tinggi. Berikut adalah ilustrasi perbandingan pondasi yang mendukung keberlangsungan perguruan tinggi :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizinufhUqCf50muedO2oZDi0kZfMAWxgWvgVfiK8ihAkW8f-gr4aP8Xlpx6w-z2K8T8zR4ebmG0vAyEk8WJf7MYINt3PjxTv8p8XWnq-o7GlU0INQN6UbtdZHpaU39C60Z519AhXCbmK8/s320/pondasi.png
Simpulan
UKT merupakan revisi dari rezim uang pangkal, yang mana UKT hanya melegalisasikan pungli-pungli terdahulu. Revisi UKT atas rezim uang pangkal pun mengandung cacat karena tidak mampu menyelesaikan masalah objektif. UKT tidak mengubah pondasi kebobrokan perguruan tinggi, yakni otonomi, harta abadi, dan perampasan hak pendidikan atas mahasiswa.
Solusi
1. Menggratiskan pendidikan tinggi, sebagai target maksimum.
2. Kembali ke sistem SPP dengan pembayaran yang murah berbasis kesukarelaan dan kemampuan ekonomi, sebagai target minimum.
***

[1] Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Unsoed 2010, Relawan Riset Hukum Savesoedirman, Pemimpin Umum LPM Pro Justitia FH Unsoed, dan Anggota Front Mahasiswa Nasional Ranting Unsoed.
[2] Risalah Sidang Perkara No 103/PUU-X/2012 dan No 111/PUU-X/2012 , hlm 21
[3] Seperti yang terjadi pada Edy Yuwono Ph.D, Rektor Unsoed yang menjadi tersangka korupsi unit bisnis BLU dengan PT.Antam pada tahun 2013
[4] Arsip LPM Pro Justitia FH Unsoed
[5] Namun bila kita teliti lagi mengenai jumlah partisipasi orang miskin yang dapat mengakses pendidikan tinggi, ini juga masih tidak adil meskipun kita mengacu pada UU Pendidikan Tinggi. Jumlah 20% tidak akan mungkin cukup untuk menampung orang miskin yang berprestasi. Menurut M.Nuh saja, dalam tahun 2011 hanya sekitar 18% siswa SMA yang sanggup mengakses perguruan tinggi. Itu artinya ada 82% yang tidak sanggup, sementara UU Pendidikan Tinggi hanya mematok angka 20%. Ini sangat jelas membatasi akses pendidikan, karena angka 20% tidak sesuai dengan kondisi objektif di lapangan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar