Menu Utama

Jumat, 04 Juli 2014

Anak Indonesia Dalam Kepungan Erotisme


Kamis, 31 Oktober 2013 | 21:26 WIB   ·   

Masyarakat dengan segala kemajemukan dan kompleksitas kehidupannya barangkali memang tempat ideal bagi lahirnya berbagai anomali. Namun, jika penyimpangan selalu tidak diacuhkan dan diluruskan maka akan semakin mewabah, bahkan lama kelamaan bisa kita amini sebagai kewajaran meski sudah begitu jelas keburukannya.
Setiap harinya selalu mudah ditemukan berita penyimpangan perilaku seksual yang sangat memprihatinkan kita karena melibatkan anak-anak sebagai korban atau bahkan pelakunya. Kasus terbaru adalah beberapa orang siswa SD di Kemiling Bandar Lampung bermain menirukan Goyang Caesar yang sedang popular itu sambil membuka resleting celananya di hadapan teman perempuan sekelasnya (Kompas, 27/10).
Buah Kuasa Pasar
Sekarang ini, logika sistem hidup kapitalisme memang kian menggerogoti peradaban kita, semua benteng nilai ajaran agama dan etika sudah runtuh dijebol nafsu picik duniawi. Theodore W. Adorno, teorikus kritis mazhab Frankfurt, menyebut fenomena ini sebagai commodity society, dimana kita sedang hidup dalam dunia yang tak lagi berproduksi memenuhi kebutuhan dan kepuasan dasar manusia, tetapi menciptakan kebutuhan dan konsumsi yang tak berbatas demi pelipatgandaan profit material bagi segelintir pihak. Dalam hal ini, seluruh aspek kehidupan dipandang sebagai komoditas atau barang jualan, meski ia menyangkut hal-hal sensitif dan privasi termasuk aktivitas seksual dan tanpa mempedulikan dampak sosialnya.
Seperti dalam fenomena siswa SD tadi, Goyang Caesar memang sedang begitu populer menjadi salah satu produk hiburan yang paling digemari masyarakat segala usia. Penampilan komedian Caesar yang konyol dan energik memang terasa sangat menghibur di tengah kepenantan rutinitas kerja dan tekanan kebutuhan hidup yang kian menghimpit. Tapi, sayang, kita nyaris melupakan substansinya bahwa dibalik semua sensasi yang nampak di permukaan, hiburan ini sesungguhnya diiringi oleh lagu Buka Dikit Jos yang berlirik erotis. Menjadi paradoks rasanya, ketika kita beramai-ramai berjoget riang di muka publik ternyata sambil melantunkan nyanyian yang tak senonoh, terlebih lagi semua ini bisa dengan mudah dikonsumsi anak-anak dan remaja yang sangat labil dalam mencerna informasi.
Mirisnya lagi, ini hanyalah contoh kecil, sebut saja lagu-lagu berjudul Hamil Tiga Bulan, Kucing Garong, Satu Jam Saja, Mari Bercinta, Belah Duren, Paling Suka 69, dan banyak sekali lagu berlirik erotis lain. Belum lagi tontonan, bacaan, dan akses internet bernuansa cabul yang dengan leluasa bisa diakses siapapun. Semua perangkat informasi seperti ini secara simultan sangatlah efektif merusak nalar sebagian masyarakat, tak hanya bocah bahkan akal sehat manusia dewasa pun bisa semakin tidak tahu batasan etik dari naluri seksual yang dimiliki. Perselingkuhan, seks bebas, pemerkosaan, bahkan terhadap balita dan hewan terus menggenapi fenomena anomalis yang fatal di negeri ini. Sementara pemerintah melalui kuasa kebijakannya pun seakan lupa dan setengah hati menganggapnya sebagai tanggung jawab. Kecaman sensor dari Komisi Penyiaran di beberapa daerah saja tidaklah cukup. Sanksi tegas dan penegakkan hukum di bidang inilah yang kita butuhkan.
Kembalikan Hak Anak
Barangkali kita semua memang tahu persis betapa anak semestinya dipandang sebagai aset berharga yang harus dididik sebaik mungkin demi terwujudnya masa depan yang lebih baik bagi bangsa maupun peradaban manusia itu sendiri. Namun, sayangnya pengetahuan kita ini sebatas kesadaran etik yang tak mampu diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Sistem hidup yang kita lakoni sekarang sama sekali tak ramah dan adil kepada anak, segala fasilitas yang baik bagi pertumbuhan fisik dan psikisnya terus dipelintir menjadi komoditas eksklusif yang tak terjangkau. Anak seakan tidak punya pilihan selain turut menelan hiburan orang dewasa sebagai bahan imajinasi saat bermain dan belajar. Tengok saja hilangnya lagu dan program TV anak yang kontennya sesuai dengan perkembangan usia mereka, belum lagi fasilitas publik untuk bermain pun terus tergusur. Kalaupun ada acara hiburan yang dikemas untuk anak, isi kontennya tetap saja memakai perkataan atau lagu populer orang dewasa.
Cukup sudah menganggap perilaku anak yang berpotensi menyimpang sebagai hal sepele, wajar, atau malah kelucuan belaka, sebagai orang dewasa kita semua turut bertanggung jawab atas perkembangan kepribadian mereka. Sudah saatnya kita bertindak untuk mengembalikan hak anak-anak dengan melindungi dan mengayomi kehidupannya sewajar mungkin. Kita juga harus menyudahi tuduhan miring sebagai bangsa permisif, yang mudah memaafkan menerima keadaan sekalipun pahit, seperti melumrahkan perilaku menyimpang para public figure (selebritis dan tokoh politik) yang mau tak mau dijadikan panutan. Negeri ini memang bukan didirikan di atas fondasi agamis dan konservatifisme, namun sejak merdeka, membangun bangsa yang berkarakter dan berkepribadian merupakan salah satu cita-cita utama yang wajib diperjuangkan.
______________
Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung dan mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar