Menu Utama

Jumat, 04 Oktober 2013

Kabar Rakyat : SRMI Dan LMND Lampung Gelar Diskusi Tentang Layanan Publik


Kamis, 3 Oktober 2013 | 4:10 WIB   ·   0 Komentar
Lampung.jpg Sedikitnya 500 warga kecamatan Kedamaian, Bandar Lampung, menghadiri diskusi tentang layanan publik di kota Bandar Lampung, di lapangan sepak bola AMD, Bandar Lampung, Rabu (2/10/2013).
Diskusi bertajuk Pelayanan Publik Yang Baik dan Berkeadilan Adalah Hak Semua Warga ini digelar oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Acara yang dimulai sejak pukul 14.00 WIB ini turut dihadiri oleh Walikota Bandar Lampung, Herman HN, beserta para pejabat dari dinas terkait layanan publik seperti Dinas Pendidikan Bandar Lampung, Dinas Kesehatan Bandar Lampung, serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dari pihak kecamatan sendiri hadir seluruh lurah dari Kecamatan Kedamaian. Hadir pula dalam acara itu Ketua Jaringan Kerakyatan, Rakhmat Husein DC, yang menjadi narasumber diskusi.

Dalam pembukaannya, Ketua JK Rakhmat Husein DC menyampaikan bahwa kita harus mewujudkan cita cita proklamasi seperti yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini. Menurutnya, pemerintahan nasional di bawah SBY-Boediono maupun pemerintahan di Lampung di bawah Sjachroedin – Joko telah gagal sebagai pemimpin dalam mewujudkan cita cita proklamasi.
“Banyak program kebijakan yang dicanangkannya sangat tidak pernah pro rakyat sehingga rakyat semakin miskin serta jauh dari kata sejahtera” ujarnya.

Selanjutnya Rakhmat Husein menambahkan, rakyat Indonesia jangan lagi salah dalam memilih pemimpin. Tidak memilih pemimpin karena uang, melainkan karena pengalaman dan rekam jejak yang terbukti memihak rakyat banyak.
“Begitu juga dengan caleg, kita harus memilih caleg yang memiliki dedikasi dan arah tujuan yang jelas yakni membangun masyarakat,” tandasnya.

Sementara itu, Walikota Bandar Lampung Herman HN mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada SRMI dan LMND karena telah mendorong pelaksanaan program pemerintah kota agar semakin efektif dirasakan masyarakat. Salah satunya melalui diskusi tentang layanan publik ini.
“Selain dapat mendorong pelaksanaan program pemerintah kota yang telah ada, acara ini semakin mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya,” ujarnya.
Devin Prastyia

Kamis, 03 Oktober 2013

Opini : Polemik Seputar Pelaksanaan Pilgub Lampung



Provinsi Lampung ternyata juga masuk kategori wilayah yang teristimewa terkait polemik penetapan jadwal Pemilihan Gubernurnya yang maju-mundur dan melelahkan. Hal tersebut berbeda dengan 42 Kepala Daerah se-Indonesia lainnya yang habis masa jabatan pada tahun 2014, seperti pelaksanaan Pilgub Jawa Timur dan Pilbup Lampung Utara yang sudah terlaksana dengan baik. Bagi sebagian masyarakat Lampung, barangkali ini hanyalah polemiknya kaum elit politik, atau ibarat drama sinetron picisan yang menjenuhkan dan menjengkelkan tapi terus disiarkan. Pasalnya, polemik panjang ini sudah dimulai sejak pertengahan tahun 2012 laluhingga bulan September 2013 ini, belum juga ada kepastian jadwal pelaksanaan yang tetap. Padahal, masa jabatan Gubernur akan habis pada Juni 2014.

Benang Kusut Persepsi

Secara prinsip hal ini tentu sangat merugikan seluruh masyarakat Lampung, meski sebenarnya persoalan ini tidaklah terasa secara langsung dampaknya bagi kehidupan mereka. Berlarutnya polemik Pilgub bukanlah hal baik yang harus kita banggakan sama sekali. Justru hal ini adalah sebuah preseden buruk yang memalukan daerah, karena sudah berulang kali Lampung mencatatkan sejarah buruk di momentum pesta demokrasi lima tahunan ini. Bermula dari terbitnya SK KPUD Lampung No.75/Kpts/KPU-Prov-008/2012 tertanggal 11 September 2012 tentang penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2013, yang menegaskan putaran pertama akan dilakukan pada 2 Oktober dan putaran kedua disiapkan pada 4 Desember. Gubernur pun bereaksi menolak dengan tidak memasukkan anggaran Pilkada dalam APBD-P 2013. Dengan begitu, Pilgub diundur hingga tahun 2015 dengan pertimbangan belum adanya dasar hukum yang kuat, karena RUU Pemilukada belum disahkan oleh DPR RI.

Perdebatan pun berlanjut dan mulai melibatkan elemen masyarakat baik yang pro maupun kontra. Kementerian Dalam Negeri dan DPRD Provinsi yang punya kewajiban menengahi pun tidak cukup tegas mengambil sikap. Malahan, dengan sikapnya yang plin plan, justru memperkeruh keadaan. Upaya mediasi pertama di Hotel Sheraton, pada akhir 2012, ternyata hanya menghasilkan kata islah, sementara polemik tarik ulur kepentingan justru makin menjadi. Berbagai tawaran solusi pun muncul kemudian, seperti pernyaaan Gubernur mengatakan dana akan disediakan pada APBD 2014 dan boleh dilaksanakan di bulan januari, Mendagri menawarkan jadwalnya dibarengi dengan Pileg pada april 2014.

Opsi lain yang pernah ditawarkan adalah terbitnya Perppu oleh Presiden RI, bahkan sempat muncul wacana solusi agar para calon yang sedang menjabat kepala daerah, untuk sementara urunan sebesar 50 Milyar dari dana sisa bagi hasil APBD masing-masing. Terakhir, KPUD melalui pleno bersama KPU Pusat menetapkan jadwal mundur ke tanggal 2 Desember untuk putaran pertama dan 2 Februari untuk putaran kedua, ini tertuang dalam SK No.47/KPU-Prov-008/2013 tanggal 9 September dan sudah disosialisasikan kepada Mendagri, KPU Pusat, Parpol, DPRD, dan para calon gub-wagub.

Maju mundurnya jadwal tetap pelaksanaan Pilgub ini memang terutama disebabkan oleh tidak pastinya ketersediaan anggaran oleh Pemprov Lampung. Hingga sekarang, belum juga tampak akan adanya pembahasan porsi anggaran APBD-Perubahan yang diharapkan dapat menyediakan dana untuk Pilgub yang berkisar angka 300 milyar rupiah tersebut. Bahkan saat tim Kemendagri datang pada 19/8 kemarin pun anggaran dinyatakan Rp.0,-. Akhirnya, tahapan yang sudah dimulai seperti pemeriksaan tes kesehatan rohani dan jasmani, serta pengadaan barang dan jasa untuk logistik Pilgub pun harus tertunda. Kemudian ada pula wacana KPU akan menggugat Pemprov ke MK terkait sengketa wewenang, karena APBD memang satu-satunya jalur pendanaan yang diamanatkan UU, namun tindakan ini tentu akan semakin memperpanjang nafas polemik.

Semangat Demokratisasi

Secara substansial, demokrasi bukanlah sistem politik atau kekuasaan yang menjelma seperti festival individualisme dan prosedurialisme belaka, melainkan sangat mengutamakan partisipasi aktif seluruh masyarakatnya, karena cita-cita demokrasi adalah membangun kesejahteraan umum (Donny Gahral, 2010). Untuk itu, tidaklah baik kalau sampai polemik ini dibiarkan berkepanjangan, dan berakibat pada meningkatnya kekecewaan publik pada sistem demokrasi yang sedang berlangsung. Tingginya angka golput haruslah dicegah, apalagi dengan tahapan yang normal pada Pilgub Lampung 2008 saja angka golput sudah mencapai kisaran angka 30 %, bertepatan dengan standar minimal nasional.

Dengan diperpanjangnya masa jabatan 5 orang komisioner KPU Lampung hingga pelantikan Gubernur terpilih periode 2014-2019 melalui SK KPU-RI No.0/Kpts/KPU/Tahun 2013 Tertanggal 12 September, dan dengan landasan hukum UU No.32 Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005 dan Peraturan KPU No. 9 Tahun 2010, maka tahapan yang tertunda patutlah segera dimulai kembali. Semua pihak harus lebih tegas, pro aktif, dan berniat tulus menuntaskan persoalan, tak hanya Gubernur Lampung yang memegang kunci utama anggaran, tapi juga Mendagri yang berkewajiban konsisten dengan keputusan Surat Edarannya, serta DPRD Provinsi yang berhak terlibat mekanisme anggaran pun harus konsisten, sebab semua cagub-cawagub adalah representasi dari partai politik. Yang pasti adalah masyarakat Lampung menginginkan perubahan dan membutuhkan kepastian, jangan sampai polemik elit yang tidak substansial ini melukai harapan publik, sebab rakyat adalah pemilik sejati demokrasi.

Nyoman Adi Irawan, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung



LMND Lampung: Usut Tuntas Peristiwa ‘UBL Berdarah’



Empat belas tahun yang lalu, tepatnya 28 September 1999, terjadi sebuah peristiwa memilukan di negeri ini. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai 28 September 1999/UBL berdarah.

Saat itu mahasiswa di seluruh Indonesia menggelar aksi protes menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Di Jakarta, aksi tersebut diwarnai dengan represi. Yap Yun Hap, salah seorang mahasiswa Universitas Indonesia, gugur di tangan aparat keamanan.

Kejadian itu memicu meluasnya aksi solidaritas dan penolakan terhadap RUU PKB. Termasuk di wilayah Lampung. Tanggal 28 September 1999, mahasiswa juga menggelar aksi solidaritas untuk Yun Hap dan menolak RUU PKB. Saat itu mahasiswa hendak melakukan long-march menuju ke kantor DPRD. Namun, mereka dihadang oleh aparat keamanan di Jl. Z.A. Pagaralam, tepatnya depan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL), yang juga tidak jauh dari Koramil Kedaton.

Saat itu mahasiswa berusaha menurunkan bendera merah-putih menjadi setengah tiang di markas Koramil. Tak lama kemudian, terjadi tembakan beruntun ke arah mahasiswa. Tak hanya itu, tentara dan polisi juga terus menyerbu mahasiswa hingga ke dalam kampus UBL.

Kejadian itu menyebabkan tewasnya dua orang mahasiswa, yakni Jusuf Rizal (mahasiswa FISIP Unila) dan Saidatul Fitria (aktivis Teknora Unila), dan 44 mahasiswa lainnya terluka.
……
Mengenang peristiwa 14 tahun yang lalu itu, pengurus Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Lampung mengeluarkan pernyataan sikap. Dalam pernyataan sikapnya, LMND mendesak adanya pertanggungjawaban dari semua pihak, baik sipil maupun militer, yang bersalah dalam kejadian tersebut.

LMND juga mendesak adanya proses hukum terhadap mereka yang terlibat dalam penggunaan kekerasan yang menyebabkan dua mahasiswa tewas dan 44 lainnya terluka. “Meski dalam prosesnya peradilan kasus ini sempat akan diajukan ke Kejaksaan Agung, namun ketika masuk dan dilakuan pembahasan ternyata masih saja dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian,” kata Ketua LMND Lampung, Nyoman Adi Irawan.
Nyoman mengajak rakyat Indonesia, terutama gerakan mahasiswa, untuk mengenang semangat perjuangan yang dibawa dalam aksi tersebut, yaitu untuk mencegah upaya-upaya kelompok otoriter atau kekuatan anti-demokrasi yang ingin mempertahankan kekuasaanya.

Dalam pernyataan sikapnya, LMND mendesak agar kejahatan HAM di balik peristiwa 28 September 1999/UBL berdarah diusut tuntas. “Adili tersangka pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap aktivis dan jurnalis,” tulis LMND dalam pernyataan sikapnya.

LMND juga mendesak pembangunan tugu Peringatan Tragedi Pelanggaran HAM Berat 28 September 1999 /UBL Berdarah. LMND juga mengusulkan agar nama dua aktivis yang gugur dalam peristiwa tersebut, yakni Saidatul Fitria dan M.Yusuf Rizal, sebagai nama gedung di Kampus Universitas Lampung.

Mahesa Danu

Opini : 28 September 1999, Malapetaka ‘UBL Berdarah’ Yang Dilupakan



Sabtu, 28 September 2013 | 14:53 WIB 
Tahun ini genap empat belas tahun sudah berlalunya salah satu peristiwa pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi di Lampung, tepatnya pada 28 September 1999, dan berlokasi persis di depan gedung kampus Universitas Bandar Lampung (UBL). 

Peristiwa itu dicatat oleh NGO Kontras sebagai aksi kekerasan aparat TNI / POLRI terbesar yang menimpa gerakan mahasiswa di Lampung, dengan jatuhnya korban sekitar 44 orang mahasiswa luka-luka dan dua orang mahasiswa Universitas Lampung tewas, yakni Saidatul Fitria “Atul” dan M. Yusuf Rizal “Ijal”. Barangkali hanya sedikit masyarakat Lampung yang mengingatnya, atau bahkan lebih banyak lagi yang tak mau ambil tahu, tapi janganlah sampai kita—meminjam istilah mendiang Gus Dur—‘menjadi Bangsa pelupa yang hebat.

Sebuah Malapetaka

Sebenarnya peristiwa ini sudah lebih dulu populer dengan sebutan Tragedi 28 September / UBL Berdarah. Namun, saya lebih suka merujuk pada istilah malapetaka dalam konsepsi Max R Lane, seorang Indonesianis yang telah banyak memberi curahan perhatian pada upaya pelurusan sejarah politik Indonesia. Menurutnya, kata tragedi berasal dari istilah berbahasa Inggris yang  bermakna sebagai peristiwa menyedihkan dan patut disesali, ibarat suatu kecelakaan yang tak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Sementara istilah malapetaka dirasa lebih layak disematkan pada berbagai peristiwa kekerasan dan pembunuhan sistematik yang direncanakan oleh pemegang status quo terhadap orang-orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, namun dianggap mengganggu seperti peristiwa ini (Lane, 2012).

Benar saja, Malapetaka 28 September/ UBL Berdarah ini memang tak bisa kita pandang secara atomik, terpisah dari kejadian lainnya yang serupa. Peristiwa ini adalah bagian utuh dari rangkaian kekerasan dan pembunuhan sistemik yang dilakukan oleh aparat bersenjata selama kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru, bahkan masih terus berlanjut hingga masa setelahnya. Khususnya ini terjadi sepanjang bulan September 1999, dimana mahasiswa di hampir seluruh wilayah Indonesia yang masih dalam nuansa euphoria reformasi, melakukan aksi demonstrasi menolak rencana penerapan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan RUU Rakyat Terlatih (Ratih)  yang dianggap bertentangan dengan semangat demokratisasi dan memberi peluang kembali menguatnya Dwi Fungsi ABRI.

Puncaknya terjadi setelah peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999, dimana aparat menembak mati Yap Yun Hap mahasiswa UI dan 16 orang lainnya di Jakarta. Sontak gerakan mahasiswa di berbagai daerah meresponnya lewat aksi solidaritas dengan tuntutan yang sama. Namun, reaksi pemerintah dan aparatnya justru semakin mengeras hingga meletus aksi represif serupa di Lampung, dimana Ijal aktivis Cakrawala FISIP Unila tewas terkena tembakan peluru tajam di dada dan lehernya, sementara Atul aktivis Teknokra Unila yang sedang meliput tewas setelah kepalanya dipopor senapan, selanjutnya menyusul pada 5 Oktober di Palembang, Meyer Ardiansyah mahasiswa ABI tewas setelah dipukuli dan ditusuk sangkur oleh aparat.

Demonstrasi mahasiswa di Lampung ini dilakukan setelah ratusan gabungan aliansi mahasiswa melakukan aksi long march dari kampus Unila menuju Makoramil Kedaton, persis di seberang kampus UBL, mereka meminta bendera merah putih dikibarkan setengah tiang dan komandan Koramil menandatangani surat dukungan penolakan RUU PKB dan ditolak. Setelah berunding, disepakati mahasiswa akan menumpang 20 bus menuju  kantor Gubernur dan melanjutkan aksinya, namun mendadak situasi berubah menjadi chaos, dan meski mahasiswa telah berlindung masuk areal kampus UBL, aparat tetap menyerbu masuk dan melakukan penembakan, penangkapan, pemukulan, serta perusakan kendaraan dan gedung hingga setelahnya perkuliahan harus diliburkan.

Hutang Sejarah

Untungnya malapetaka ini di Lampung tidak benar-benar dilupakan. Setiap tahunnya masih ada saja kelompok mahasiswa yang mengenang perjuangan generasi pendahulunya tersebut. Bahkan meski belum terlaksana, sejak 2008 lalu Rektorat Unila sempat menjanjikan nama Atul menjadi nama bagi gedung PKM Unila, sedangkan nama Ijal menjadi nama salah satu gedung di FISIP Unila. Selain itu juga, nama Saidatul Fitria telah diabadikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjadi acara penghargaan tahunan bagi karya jurnalistik yang bertanggung jawab dan  memiliki dampak perubahan di masyarakat.

Dalam tulisan ini, sekali lagi saya mengajak kita semua untuk tidak hanya mengingat dan mengenang mereka yang tewas dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia ini, sekedar sebagai korban pelanggaran HAM an sich. Mereka berhak mendapatkan apresiasi lebih tinggi lagi dari kita yang menikmati buah perjuangannya sekarang ini. Mereka adalah juga pahlawan Bangsa, pelopor perubahan yang dengan sadar berjuang dan berkorban demi terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis. Terlebih cita-cita mereka tentang kehidupan ber-Bangsa yang adil dan makmur belumlah sepenuhnya terwujud. Bahkan sekarang ini telah kembali muncul berbagai regulasi yang berpotensi membungkam demokrasi dan memberi jalan bagi terulangnya kembali kekuasaan lalim yang otoriter melalui UU Kamnas, UU Intelejen, UU Komcad, UU Ormas dan sebagainya.

Meski dalam persitiwa ini ada pihak yang secara tak langsung mengaku bertanggung jawab, yakni pernyataan Dandenpom II/3 Sriwijaya Lampung Letkol CPM Bagus Heru Sucahyo menyatakan bahwa dirinya sudah mengamankan proyektil peluru pada tubuh korban dan saat itu Dema Unila pun telah menerima surat permintaan maaf dari Danrem 043 Gatam, Kol. Inf. Mudjiono, namun kelanjutan kasusnya tak pernah dituntaskan. Lembaga-lembaga stakeholder seperti Komnas HAM RI, Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk TNI, haruslah lebih pro aktif berupaya menuntaskannya selayak mungkin. Bagaimanapun, malapetaka haruslah diakui dengan kesatria dan dipertanggungjawabkan dengan bijaksana. Jika tidak selamanya ini akan terus  menghantui kita, menjadi hutang sejarah kepada generasi penerus Bangsa ini.

Saddam Cahyo, sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung dan Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung (Unila)


Petani Pesisir Barat Lampung Gelar Rapat Akbar



Seribuan petani yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) menghadiri Rapat Akbar di Pasar Jumat Pekon Sumber Agung, Kecamatan Ngambur, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, Rabu (25/9/2013).

Acara rapat akbar yang berlangsung sejak pagi hari ini, sekitar pukul 09.00 waktu WIB, dihadiri oleh sekretaris Komite Pimpinan Wilayah PRD Lampung, Rahmad. Selain itu, hadir pula Bupati Pesisir Barat Kherlani, Danramil, Kapolres, dan pejabat Muspika.

Acara rapat akbar ini diisi dengan pidato-pidato politik. Sementara spanduk berisi tuntutan petani tertempel di hampir semua dinding ruangan. Selain itu, karena jumlah kursi ruangan yang terbatas, sebagian petani duduk melantai.

Dalam pidato politiknya, Gusti Kadek Artawan menyatakan bahwa rapat akbar ini merupakan upaya konsolidasi ulang para petani korban konflik agraria akibat tanahnya dirampas PT. Karya Canggih Mandiri Utama (KCMU).

Menurutnya, sejak tahun 2010 lalu, petani bersama dengan PRD telah aktif berjuang untuk merebut kembali haknya. “Beruntunglah perjuangan itu sudah mulai membuahkan hasil. Lahan dan tanaman sawit sudah bisa dinikmati oleh keluarga kita,” ujar Kadek.

Namun, Kadek mengingatkan, kendati kemenangan kecil sudah berhasil diraih, namun persoalan konflik agraria belum tuntas. “Sampai sekarang sertifikat tanah kita masih di tangan perusahaan,” ujarnya.

Menurut aktivis PRD ini, berlarut-larutnya proses pengembalian sertifikat tanah milik petani oleh perusahaan membuat tidak sedikit petani mengalami kejenuhan dalam berjuang. Ia mengajak para petani kembali menyatukan kekuatan untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dengan PT. KCMU.

Sementara itu, dalam pidatonya Bupati Pesisir Barat Kherlani menyatakan siap membantu penyelesaian konflik agraria antara petani dengan PT. KCMU. Ia berharap PT. KCMU segera mengembalikan sertifikat milik petani.

Namun jika PT. KCMU tidak juga mengembalikan sertifikat, Kherlani menyatakan dukungan bagi petani untuk menyusun sebuah pergerakan untuk merebut haknya tersebut. Ia menyatakan Pemerintah Kabupaten akan mendukung perjuangan petani.

Rapat akbar ini ditutup dengan pembacaan doa dan ramah-tamah. Para petani baru meninggalkan lokasi rapat akbar sekitar pukul 16.00 WIB.

Saddam Cahyo


SRMI Dan LMND Lampung Gelar Diskusi Tentang Layanan Publik



Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menggelar diskusi tentang layanan publik di Tanjung Karang, Bandar Lampung, Rabu (25/9/2013).

Diskusi bertajuk “Pelayanan Publik Yang Baik dan Berkeadilan adalah Hak Semua Warga” itu digelar di aula kantor kecamatan Tanjung Karang. Diskusi yang berlangsung setiap hari Rabu ini merupakan yang ketiga kalinya. Sebelumnya diskusi berlangsung tanggal 11 September dan 18 September 2013 lalu.

Dalam diskusi kemarin, sejumlah pejabat yang berhubungan dengan layanan publik dihadirkan sebagai narasumber, seperti Sekretaris Daerah Bandar Lampung Badri Taman, Kepala Dinas Pendidikan Bandar Lampung Krisna Laksamana, Kepala Dinas Kesehatan Bandar Lampung Abu Bakar, dan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil M Husen. Hadir pula ketua Jaringan Kerakyatan Rakhmad Husein DC sebagai pembanding.

Dalama pemaparannya, Sekda Bandar Lampung Badri Taman mengapresiasi berbagai kegiatan SRMI dan LMND dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak mendasar rakyat. Selain itu, ia memaparkan berbagai program unggulan Pemkot Bandar Lampung, seperti pelayanan gratis untuk hak administratif, Jamkesda yang berlaku di semua rumah sakit, dan pendidikan gratis dengan kuota 50% di seluruh sekolah negeri.

Sementara itu, Rakhmad Husein DC berbicara tentang hak setiap warga negara untuk mengakses layanan dasarnya sebagaimana diatur konstitusi. “Masyarakat harus sadar betul apa saja hak-hak dasarnya yang harus dipenuhi oleh negara, begitupun dengan pemerintah yang harus sadar betul kewajiban apa saja yang harus ditunaikan,” ungkapnya.

Ia menyambut baik inisiatif Pemkot yang telah memiliki beberapa program kerakyatan. Namun, menurutnya, hal tersebut belumlah cukup.  Ia mendesak agar Pemkot pro aktif mengoptimalkan pelaksanaannya agar dapat menghindari berbagai potensi penyalahgunaan oleh pihak tak bertanggung jawab.

Diskusi ini diwarnai dengan antusiasme warga untuk mempertanyakan berbagai mekanisme dan prosedur untuk mengakses layanan publik, seperti pembuatan KTP, KK, Akta Kelahiran, serta jaminan pendidikan dan kesehatan gratis. Menurut rencana, kegiatan serupa akan kembali digelar Rabu pekan depan.

Devin Prastyia