Menu Utama

Minggu, 20 Maret 2011

membincangkan Demonstrasi dengan Dua Bocah

oleh : Saddam Cahyo

Cukup rumit sebenarnya mengartikan gemuruh yang bersesakan di dada dengan sekelumit fikiran yang terbesit di kepala siang itu, saat aku dan kawan-kawan baru saja melakukan beberapa kesalahan analisa taktik dan keterlambatan mengambil keputusan sehingga melewatkan begitu saja momentum dan kesempatan besar untuk mengabarkan kepada Wakil Presiden Boediono bahwa rakyat lampung tidak tidur dan merasakan kegagalan pemerintahan Rezim Mandor Modal Asing yang sedang ia jalankan bersama seorang Gubernur jendral Imperium untuk Indonesia berjuluk SBY.

Namun cukup terhibur saat laju suzuki roda dua itu kami hentikan di depan sekretariat. seorang bocah lelaki berkepala gundul langsung berlari ke arah kami sambil melambaikan tinggi-tinggi tangannya dan berkata ;

"Halo ! dari mana om ? dari aksi demo ya? di teluk ya om? rame ya? kok udah pulang ?" tuturnya beruntut hingga aku tersenyum dengan perasaan yang bercampur aduk.

"Iya ren, kok gak sekolah ?" jawaban pertamaku mencoba menghargainya sebagai kawan yang berhak direspon saat mengajak berkomunikasi meski ia baru duduk di kelas 1 sekolah dasar.

"Enggaklah om kan udah pulang jam segini mah, wah ini apa om? Untuk demo ya?" tanyanya lagi sambil menunjuk pada kumpulan poster dan bendera yang ku sandarkan pada dinding halaman secretariat.

“Iya Ren, yaudah mainnya disana aja ya.” Bujukku berharap ia segera bermain dengan kawan-kawan sebayanya yang menunggu di luar.

Tentu saja bukan bermaksud mengusirnya dari kami berdua, saat itu aku berdua dengan seorang kawan, melainkan kami berdua masih hendak membereskan atribut aksi yang kami bawa dan sejenak beristirahat sambil merebahkan tubuh di kursi tamu. Sesaat ketika aku dan seorang kawan tadi terlibat obrolan kecil membahas aksi demonstrasi yang baru saja dilakukan, Rendi, si bocah kecil tadi menghampiri kami sambil memegang jajanan coklat digenggaman tangannya.

“Ayah mana om ? tadi demo ngapain om? Kok demo terus sih ?” katanya kepada kami berdua.

“Ayahmu ada disana tadi, mungkin mau mampir dulu ke rumah sakit, demo itu ibadah Ren.” Jawabku tanpa bermaksud asal menjawab.

“Ibadah kan solat om, kok demo juga ibadah sih ?” sanggahnya.

“Iya, karena demo itu berpahala, demo juga bisa mengantar kita ke pintu surga Ren.” Jawabku memperkuat argument pertamaku.

Sambil bergeliat-geliat di kursi layaknya seorang bocah berusia 7 tahun Rendi berkata “kok demo berpahala sih om? Emang demo itu apa ?” Tanya nya lagi.

Kawanku tadi hanya tersenyum memperhatikan obrolan kami, aku pun menjawab. “Demo itu bias berpahala Ren, karena demo itu bias membantu orang banyak yang lagi kena musibah” jawabku meyakinkan.

“Ooh, jadi demo itu bisa bantu orang juga ya om?” tanyanya meragu.

“Iya Ren, kita bisa berbuat baik dan membantu banyak orang dengan cara berdemo makanya demo juga bisa disebut ibadah dan berpahala.” Jelasku.

“Jadi demo itu bisa berpahala ya om?” tanggapnya memastikan.

“Iya bisa berpahala, asalkan kamu sadar betul kenapa kamu harus berdemo dan tau apa manfaatnya untuk banyak orang, nanti kalau sudah besar ikut demo ya.” ajakku.

“Ah nanti Rendi mau jadi Presidennya aja om, tapi kata orang demo itu salah.” Jawabnya.

“Hehe, ya bagus kalo bisa jadi Presiden nanti, iya demo bisa jadi perbuatan yang salah kalau tujuannya gak jelas dan gak ada manfaatnya untuk orang banyak, kan tadi om bilang kita harus faham dan sadar betul kenapa harus demo.” Jawab ku lagi.

“Oh iyaya om.” Jawabnya langsung berlari kebelakang.

Tiba-tiba berlari ke arah kami seorang bocah lainnya bernama Rido yang merupakan adik kandung dari Rendi, mereka berdua adalah anak seorang kawanku yang lain yang mengabdikan dirinya dalam perjuangan rakyat miskin kota untuk terbebas dari ketertindasan sistem yang dipertahankan bahkan dikembangkan oleh penguasa kami untuk menjerat, menjepit, melumpuhkan, menghisap dan membiarkan mati lemas rakyatnya yang tak berdaya.

“Ooom, kalo demo bisa dapet piala ya?” Tanya nya padaku.

“Bukan piala Do, tapi pahala, tau pahala kan ? ” jawabku pada bocah itu yang kini sama dengan kakaknya berstatus siswa kelas 1 SD, Rendi sebagai kakaknya pernah mengalami sakit yang cukup menghambatnya untuk berkativitas layaknya bocah sehat lainnya hingga harus beristirahat satu tahun meninggalkan sekolahnya.

“Iya om tau, kan dulu aku ngaji.” Jawabnya sambil kembali berlari kebelakang.

“Om pinjam dulu ya !” teriak Rendi dari luar ruangan, aku lihat ia mengambil bendera dan satu buah poster aksi yang diberikan kepada adik dan beberapa kawannya, mereka berbaris sambil berteriak-teriak “Ayo kita demo! Demo itu ibadah ! Ayo !”.

Aku dan kawanku tadi cukup tergelitik menonton ulah mereka tanpa melarang, karena anak-anak memiliki hak untuk bebas mengasah imajinasinya dengan berbagai permainan sederhana yang melibatkan interaksi dengan banyak kawan sebayanya, seperti yang dilakukan oleh bocah-bocah itu dan alasanku membicarakan demonstrasi dengan mereka adalah karena demonstrasi adalah salah satu sarana bagi setiap manusia untuk meluapkan gagasannya kepada khalayak ramai dengan berbagai menfaat dan pertimbangan yang sebelumnya harus kita fahami dengan baik dan anak-anak tidak boleh dibatasi pengetahuannya atau dikekang hak berimajinasinya dengan menabukan obrolan tentang demonstrasi apalagi langsung mematahkan obrolan dengan “Demo itu salah 1 kamu jangan ikut-ikutan demo !” atau ungkapan judgement lainnya.

Biarkan anak-anak menerima semua informasi dan pengetahuan dengan lengkap, biarkan anak-anak mengasah kemampuannya menalar dan menyerap segala informasi dan pengetahuan yang diterimanya, tugas kita sebagai manusia yang lebih dahulu tumbuh dan belajar di bumi manusia lengkap dengan segala persoalannya ini adalah membimbing dan menjelaskan pada mereka.

Salam Pembebasan !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar