Menu Utama

Jumat, 04 Januari 2013

Novelia Yulistin Sanggem ; Perempuan Bertekad Baja di Balik Derap Kaki Petani Jambi



Ada pepatah yang menyebut, di balik pria yang sukses selalu ada peran perempuan berjiwa besar. Kenyataan serupa kurang lebih berlaku dalam dunia aktivisme. Tak banyak orang tahu bahwa di balik perjuangan para petani Jambi yang tak kenal lelah itu, ada peran perempuan pemberani.

Novellia Yulistin, salah seorang perempuan yang mengobrak-abrik paham patriarki yang menempatkan kaumnya selalu dalam posisi dilemahkan, seolah harus dilindungi, harus di dapur, kasur, atau cukup sumur. Memang, dia bukan perempuan kantoran yang punya jam kerja reguler, dan lalu begitu saja merasa telah pantas dicap sebagai pelaku emansipasi.

Lebih dari itu, perempuan bersapaan Novel itu telah lama mengabdikan diri untuk perjuangan rakyat kecil merebut hak-hak mereka yang diabaikan negara. Akhir-akhir ini, Novel larut dalam pendampingan kelompok petani Jambi yang hendak menggedor Istana Negara Jakarta dengan berjalan kaki dari daerah mereka. Untuk hal itu, dia sudah merelakan kedekatan dengan suami dan sepasang buah hatinya, Ava Riviera Yadi  (7,8) dan Aksel Zenecha Yadi (2,8).

Novelia adalah alumni Universitas Bandar Lampung.  Sekarang, perempuan kelahiran 19 Juli 1981 itu menjabat Ketua Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Lampung. Dia sangat sadar, larut dalam dunia aktivis sosial akan mengorbankan banyak kepentingan privat. Dan itulah yang terjadi, kedua anaknya ngambek kepadanya.

"Sebagai ibu, saya tentu sedih," kata Novel saat berbincang dengan Rakyat Merdeka Online, beberapa waktu lalu.

Untuk mendampingi petani yang melakukan "Aksi Jalan Kaki 1000 KM Jambi-Istana Negara" dia harus meninggalkan kedua bocahnya selama berpekan-pekan. Hari ini adalah hari ke-24 para petani berjalan. Hampir sepanjang waktu itu, Ava dan Aksel di bawah asuhan nenek mereka dan adik Novel.

Sebagai seorang ibu, perasaan rindu kepada anak selalu hadir. Di tengah kesibukan mengadvokasi petani Jambi, Novel beberapa kali menyempatkan waktu untuk menelepon kedua buah hatinya. Anak yang paling besar, kata Novel, kerap menanyakan kapan dirinya pulang ke rumah. Hatinya makin sedih ketika suatu kali dia berbicara dengan Aksel yang tengah dilanda sakit demam.  "Pulang Ma. Aksel sakit. Obatnya pahit."

Ketika mendengar anaknya sakit, Novel tersentuh dan ingin rasanya segera pulang. Namun, ibu muda itu juga tak mengerti mengapa hasrat itu tak kunjung dipenuhinya. Perasaan sedih yang menggelayut selalu dia singkirkan.

Sampai satu saat, Novel menelepon kembali ke rumah untuk bicara dengan anaknya. Betapa terkejutnya dia ketika ada nada penolakan dari si sulung. "Ngapain mama nelpon?" Sesak Novel mendengar perkataan anak yang dilahirkannya. Dia sadar bahwa Ara semakin kritis.

Menurut dia, apa yang dilakukannya selama ini juga bagian dari memperjuangkan masa depan anak-anaknya, dan masa depan semua anak bangsa ini.

"Bagaimana  nasib anak-anak kita kalau negara terus menindas rakyatnya," ujarnya.




Novel pertama kali berorganisasi saat duduk di bangku kuliah.  Dia aktif sebagai pengurus organisasi kesenian bergaris kerakyatan (seni pembebasan).

Di tahun 2004, kiprahnya dalam organisasi kerakyatan melesat. Dia merambah ke berbagai organisasi ekstra kampus seperti Komite Perempuan Lampung dan Komite Pembebasan Seni Budaya Rakyat. Di tahun itu pula, Novel menjadi Ketua Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Lampung. 

Uji materi pengoranisiran dimulainya di tengah kalangan muda Lampung, organisasi Seni Budaya Pelajar di Bandar Lampung,  membentuk sanggar belajar gratis untuk kaum miskin Bandar Lampung dan sebagainya. Tak terhitung banyaknya dia terlibat dalam advokasi pendidikan anak dari keluarga miskin, advokasi jaminan kesehatan daerah (jamkesda) dan pembagian kartu jamkesda dan penanganan konflik agraria.

Seperti diakuinya sendiri, kerja advokasi selalu meninggalkan kesan tersendiri. Dengan demikian dia bertemu banyak orang dan belajar mengenal karakter orang. Novel semakin dalam mengetahui persoalan sehari-hari rakyat kelas bawah. Salah satu pengalaman yang tak terlupakan Novel adalah ketika dia mengorganisir kelompok preman dan bandar narkoba. Saking dekatnya Novel dengan mereka, istri para preman cemburu dan melabraknya.

"Saya dekat dengan preman tujuannya agar mereka bersatu," ucapnya enteng.

Selama tenggelam dalam aktivisme , Novel mengaku kenyang akan intimidasi, sampai akrab dengan nasi basi. 

Pergaulannya dengan kelompok tani dimulai saat melakukan advokasi melawan perusahaan yang menggunakan preman di register 45 Mesuji Lampung. Ia ikut memimpin warga untuk mencabut patok tanah. Petani resah karena lahan yang sudah mereka tanami diklaim oleh pihak lain. 




Kedua orangtua awalnya tidak tahu sepak terjang dia. Namun, setelah tahu apa yang dilakukan Novel positif, orangtuanya mendukung dan berpesan agar selalu menjaga kepercayaan yang diberikan orang lain.

Sempat dia memutuskan cuti dari segala aktivisme kerakyatan setelah hidup berumahtangga. Tapi tak bertahan lama. Pada 2010 lalu, Novel kembali ke jalanan karena alasan yang sangat "klise", tak tahan melihat penindasan negara yang kian menjadi-jadi.
 


Sumber ; http://m.rmol.co/news.php?id=92741 RMOL / Rakyat Merdeka Online, ditulis oleh Henry Ginting pada 4 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar