Senin, 7 Januari 2013 | 1:11 WIB
Sejak tanggal 12 Desember lalu,
40-an orang petani dari tiga tempat di Jambi, yakni Suku Anak Dalam (SAD) 113,
Kunangan Jaya II (Batanghari), dan Mekar Jaya (Sarolangun), menggelar aksi
jalan kaki dari Jambi menuju ke Jakarta.
Sementara itu, di depan kantor
Kementerian Kehutanan RI di Jakarta, puluhan petani Jambi juga masih bertahan.
Mereka sudah menggelar aksi pendudukan di tempat itu selama 50 hari lebih.
Mereka menuntut “Tanah untuk Rakyat” dan penegakan pasal 33 UUD 1945.
Dan, pada 11 Januari mendatang,
ratusan petani dari Blitar, Jawa Timur, juga akan menggelar aksi jalan kaki
menuju Jakarta. Mereka akan menagih janji SBY terkait distribusi 8 juta hektar
lahan ke petani. Tak hanya itu, mereka juga akan menyerukan penegakan pasal 33
UUD 1945.
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama
sejak rezim SBY, konflik agraria di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2012
lalu, ada 198 kasus konflik agraria di Indonesia. Artinya, dalam setiap dua
hari terjadi satu konflik agraria. Dan, seperti dicatat Konsorsium Pembaruan
Agraria, tiap konflik menyeret rata-rata 2000 KK.
Pada tahun 2012 lalu, beberapa
kasus konflik agraria cukup menyedot perhatian kita, seperti kasus Bima (NTB),
Mesuji (Lampung), dan Ogan Komering Ilir (Sumsel). Konflik sepanjang tahun 2012
ini menyebabkan 156 petani ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan dianiaya,
25 petani tertembak, dan tiga diantaranya tewas.
Perlawanan petani muncul di
mana-mana. Namun, sebagian besar perlawanan itu masih bersifat bersifat
lokalis, parokial, dan sektoralis. Sebagian besar perlawanan itu, yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke, tidak berhasil dikonsolidasikan dalam sebuah
gerakan nasional.
Karena itu, gerakan petani
dituntut harus bisa mengatasi kontradiksi antara perjuangan lokal dan nasional,
tuntutan kasuistik dan politis, dan kesadaran klas versus etnis/lokalisme.
Gerakan tani juga harus bisa menghubungkan diri dengan sektor-sektor sosial
yang lain, seperti buruh, mahasiswa, kaum miskin kota, dan lain-lain.
Perjuangan
petani Jambi berusaha menerobos rintangan itu. Dengan menggelar aksi longmarch
dari Jambi ke Jakarta, yang melalui sedikitnya 20-an kota/kabupaten, petani
Jambi berharap adanya konsolidasi gerakan yang bersifat luas.
Dan
target itu cukup tercapai. Di Sumsel, aksi longmarch petani Jambi mendapat
dukungan banyak organisasi. Di Mesuji, Lampung, petani Jambi juga mendapat
sambutan luar biasa. Bahkan, sejumlah petani Mesuji menyatakan bergabung dengan
aksi petani Jambi. Di Jakarta, sejumlah organisasi pergerakan sedang
mempersiapkan penyambutan besar-besaran terhadap peserta long-march petani
Jambi ini.
Kemudian,
dengan aksi longmarch petani Blitar ke Jakarta, yang juga akan melalui sejumlah
kota/kabupaten di Pulau Jawa, diharapkan ada konsolidasi-konsolidasi perlawanan
di sepanjang daerah yang dilaluinya.
Dengan
demikian, awal tahun 2013 telah dibuka dengan gerakan tani. Dan kita berharap,
dengan konsolidasi-konsolidasi perlawanan melalui petani Jambi dan Blitar ini,
respon terhadap berbagai konflik agraria di tahun 2013 bisa dilakukan secara
bersama-sama.
Penyatuan
gerakan tani memang mutlak dibutuhkan. Tanpa adanya penyatuan gerakan secara
nasional, daya tekan gerakan petani untuk mengatasi konflik agraria tentu lebih
kecil.
Selain
itu, gerakan petani harus punya proyek politik bersama yang dibasiskan pada
tujuan objektif. Untuk jangka pendek, misalnya, bisa difokuskan pada penciptaan
sebuah mekanisme penyelesaian konflik agraria secara konprehensif.
Sedangkan
untuk jangka panjang, gerakan petani harus muncul sebagai kekuatan politik yang
diperhitungkan dan, dengan demikian, sanggup mendesakkan agenda-agenda
mendasar, seperti reforma agraria dan pembangunan ekonomi pedesaan.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/editorial/20130107/dinamika-baru-gerakan-tani.html#ixzz2HIh6XxOI
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar