Selasa, 29 Januari 2013 | 10:02 WIB
Sabtu, 29 Desember 2012 lalu, aksi
jalan kaki (long-march) petani Jambi melintas di wilayah Mesuji, Lampung.
Ketika tiba di perbatasan Sumsel-Lampung, petani Mesuji langsung menyongsong
mereka. Jauh-jauh hari petani Mesuji sudah mempersiapkan penyambutan. Puluhan
spanduk disebar di sepanjang jalan yang bakal dilalui petani. Tak hanya itu, sejumlah
kegiatan sudah dipersiapkan.
Bertempat di desa persiapan Tugu
Roda, yang terletak areal perluasan register 45 Mesuji, petani Jambi dijamu
oleh petani Mesuji. Di sebuah rumah yang dijadikan posko “Ganaspati”—singkatan
dari Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945, petani Mesuji dan Jambi
menggelar diskusi bersama.
Petani Jambi dan Mesuji
dipersamakan oleh nasib: sama-sama terancam kehilangan tanah karena keserakahan
korporasi. Petani Jambi pun beristirahat di Tugu Roda hingga pergantian tahun
berlalu.
Ibu Mimin, 42 tahun, seorang petani
dari Tugu Roda Mesuji, juga terlibat diskusi dengan petani Jambi. Dari situ
tekadnya muncul: bergabung dalam aksi jalan kaki (long-march) ke Jakarta
bersama petani Jambi. “Saya berharap tanah kami di perluasan register 45
diserahkan kepada kami,” ujarnya.
Ibu Mimin pun rela meninggalkan
suami dan empat anaknya demi perjuangan. Ia bergabung dalam aksi long-march
menuju Jakarta. “Saya berkeinginan bertemu Menteri Kehutanan dan Presiden.
Kepada mereka, saya akan sampaikan persoalan petani di perluasan register 45
Mesuji,” katanya.
Ibu Mimim merupakan satu-satunya
perempuan yang tergabung dalam aksi long-march petani ini. “Sebagai perempuan,
ya, ada suka-dukanya. Kalau mau tidur, saya agak susah cari tempat. Karena saya
satu-satunya perempuan,” tuturunya.
Tak jarang, ketika beristirahat, Ia
teringat suami dan anak-anaknya. “Terkadang kalau rindu itu datang, yang saya
lakukan memperkuat tekad, bahwa yang saya perjuangkan adalah mereka, masa depan
mereka, dan kepentingan banyak orang,” katanya.
Di perjalanan, petani bertemu
banyak intimidasi. Bahkan, pada 5 Januari 2012, ketika menginap di lapangan
tenis indoor Menggala, Tulang Bawang, mobil pengangkut logistik petani
dilempari molotov.
Tapi Ibu Mimin tidak gentar.
Baginya, aksi teror bom molotov itu merupakan bentuk cobaan dalam perjuangan.
Ia yakin, kalau sebuah perjuangan dilandasi kebenaran, maka Tuhan pun akan
melindungi.
Selain Ibu Mimin, ada pula sosok
Bapak Sidik, 86 tahun, petani asal Tugu Roda, areal perluasan register 45
Mesuji. Meski usianya terbilang sudah cukup tua, Pak Sidik tak merasa kecil
semangat dan tenaga.
“Dia (Pak Sidik) itu berjalannya
paling cepat. Beliau tak kalah dengan petani-petani yang masih muda,” tutur
Wondo, salah seorang petani dari Jambi yang turut dalam aksi jalan kaki.W ondo
menceritakan, di sepanjang perjalanan, Pak Sidik ini tak mau lepas dengan
bendera Partai Rakyat Demokratik (PRD). “Pokoknya, beliu itu tak mau lepas
bendera PRD. Dia tak mau ngusung bendera yang lain,” kata Wondo menceritakan
perjalanan petani.
Pak Sidik merupakan peserta tertua
dalam aksi. Dia berharap, pemerintah mau mengembalikan tanah petani yang
dirampas. Selain itu, ia berkeinginan agar pemerintah menegakkan pasal 33 UUD
1945 dan UUPA 1960.“Kalau pemerintah konsisten pada konstitusi, yaitu pasal 33
UUD 1945, maka petani tidak akan sengsara begini. Pasal 33 UUD 1945 itu sangat
berpihak pada kaum tani,” jelasnya.
Perjuangkan Tanah Adat
Tanah yang ditempati Ibu Mimin dan
Pak Sidik adalah tanah adat Megou Pak Tulang Bawang. Karena itu, perjuangan
petani areal perluasan register 45 Mesuji ini dinaungi langsung oleh Lembaga
Adat Megou Pak Tulang Bawang (LAMP-TB).
Pada jaman kolonial, tepatnya 1940,
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda meminta Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang
untuk menyerahkan lahan seluas 33.500 hektar untuk dijadikan hutan larangan
atau hutan lindung.
Tetapi, pihak Residen Belanda
melalui Besluit Districtent nomor 249/1940 hanya menetapkan lahan
seluas 32.600 hektar. Sedangkan 900 hektar dilepaskan karena masuk di dalam
penguasaan hukum Adat Megou Pak Tulang Bawang. Tanah seluas 32.600 hektar
itulah yang disebut Register 45 Mesuji.
Kemudian, pada tahun 1991,
Kementerian Kehutanan menerbitkan SK Nomor 688/Kpts-II/1991 tentang Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HP-HTI) seluas 32.600 hektar kepada PT.
Silva Inhutani. Dengan demikian, status hutang lindung berubah menjadi hutan
produksi.
Selanjutnya, pada tahun 1993,
Menteri Kehutanan era itu, Jamaluddin Suryo Hadikusumo, tiba-tiba menerbitkan
SK nomor 785/1993 tentang perluasan areal HP-HTI PT. Silva Inhutani menjadi
43.100 hektar. Alhasil, terjadilah penyerobotan lahan berupa tanah adat milik
masyarakat Megou Pak Tulang Bawang seluas 10.500 hektar.
Dalam 10.500 hektar itu, sebanyak
3500 hektar adalah pemukiman penduduk, sedangkan 7000 hektar-nya merupakan
perladangan milik penduduk. Semuanya di bawah kekuasaan adat Megou Pak Tulang
Bawang.
Lalu, pada tahun 1997, Kemenhut
memperbarui keputusan itu dengan mengeluarkan SK Nomor 93/1997. Tetapi luasan
dan pemegang ijin HP-HTI-nya tetap sama. Sejak itulah masyarakat adat
Megou Pak kehilangan haknya atas tanah adat.
“Dulu, pemerintah Belanda masih
menghargai lembaga adat dan mengakui tanah adat kami. Tetapi, kenapa pemerintah
Republik Indonesia justru tiba-tiba mengeluarkan SK mengambil tanah adat kami
tanpa membicarakannya dengan kami,” kata Ketua Lembaga Adat Megou Pak, Wanmauli
Sanggem, ketika mengadukan kasus ini ke Komisi IV DPR (14/1/2013).
Menurut Wanmauli, sejak konflik
agriaria itu berlangsung, sudah banyak korban jiwa dan harta benda. Pada
Februari 2006, pasukan gabungan TNI, Polri, dan Panswakarsa menggusur paksa
petani di areal perluasan register 45 Mesuji. Pada bulan Mei 2008, pasukan
gabungan kembali menggusur petani dari areal perluasan register 45.
Puncaknya, pada September 2011,
pihak perusahaan PT. Silva Inhutani menggunakan tentara dan preman untuk
mengusir petani. Konflik berdarah pun terjadi. Inilah yang disebut peristiwa
“Mesuji Berdarah”. Seorang petani, Made Akse, tewas dalam peristiwa itu.
Belakangan dibentuk Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF). Dari proses investigasi TGPF disimpulkan, konflik agraria
dipicu oleh adanya perluasan areal konsensi PT Silva Inhutani, dari 33.500 ha
menjadi 43.100 hektar. Dan perluasan itu telah mencaplok tanah adat Megou Pak
seluas 10.500 hektar.
Tak hanya itu, TGPF juga menemukan
indikasi pelanggaran HAM terkait penggusuran dan pengusiran petani dari lahan
perluasan konsesi PT. Silva Inhutani tersebut. Tak hanya itu, TGPF juga
menemukan fakta penggunaan preman bertopeng Pamswakarsa oleh PT. Silva Inhutani
untuk mengusir paksa petani.
Sayang, pemerintah kurang merespon
temuan TGPF. Karena itu, Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang bersama petani
Mesuji menggelar aksi pendudukan petani di depan Kemenhut RI di Jakarta. Mereka
didampingi oleh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Lampung.
“Dalam hukum adat Indonesia, tanah
itu harus digunakan untuk kepentingan bersama. Tidak bisa dikuasai atau
dimonopoli oleh sebuah perusahaan. Jadi, kami berjuang agar tanah adat itu
dikembalikan dan digunakan untuk kesejahteraan bersama,” kata Sekretaris PRD
Lampung, Rahmad, di sela-sela aksi pendudukan di depan Kemenhut Jakarta (28/1).
Ulfa Ilyas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar