Jumat, 22 Maret 2013 | 13:32 WIB
“Aduh, tolong jangan hari ini ya,
Pak, saya mohon, ini baru saja saya datang. Belum mulai berdagang, tolong ya,
Pak,” ujar Kang Sa’i, pedagang siomay itu, kepada puluhan petugas Satpam yang
menghampirinya pagi itu.
Huuusssshhhh……….
***
Awal Januari 2010, sekitar pukul
setengah delapan pagi, suasana kampus pagi itu cukup sepi. Tak heran karena
masih dalam masa libur semester ganjil. Tetapi aku memang tak pernah terlalu
memikirkannya: libur atau tidak sama saja bagiku, setiap harinya aku akan terus
beraktifitas ditengah-tengah perguruan tinggi negeri terfavorit di Provinsi
ini.
Bahkan tak terfikirkan olehku sejak
kapan aku mulai beraktifitas di sini. Yang jelas aku sangat menikmatinya, sejak
kecil aku sudah mengakarkan tubuh di sini, dan sampai hari ini aku merasa
begitu terawat, bebas bertumbuh besar sekehendakku hingga puluhan tahun begini.
Huuuussshhh…….
“Huh, kenapa pagi ini hawanya panas
sekali ya, padahal baru jam setengah delapan pagi,” ujarku dalam hati, sambil memulai
aktifitas pagiku di tengah Kampus ini.
Seperti biasanya, Kang Sa’i datang
paling awal, menempatkan gerobak siomaynya di dekat bangku taman nomor
dua sebelah kanan, persis dibawah naunganku dan langsung menyapu sekitaran
lahan berdagangnya tanpa menyapaku. Akupun lebih memilih diam dan hanya
mengamatinya sambil tersenyum kecil, sambil bergumam: “manusia memang sering
kurang peka dengan lingkungannya sendiri.”
“Banyak pisan jatuhan daun
kering hari ini, huh,” keluh Kang Sa’i yang masih sibuk menyapu.
“Udah jam sembilan aa?” tanyanya
dengan dialek kental khas Sunda kepada pedagang kaki lima lain yang juga
mengais rezeki receh ditempat ini.
“Ia, udah, kenapa emangnya?
janjian ya? Hehe..” Jawab pedagang itu sekenanya.
Namanya Sodri. Ia biasa disapa Kiai
oleh para mahasiswa pelanggannya. Kiai Sodri bersama istrinya hanya bermodalkan
gerobak kecil dan berdagang rokok, minuman serta makanan ringan. Sudah sekitar
13 tahun ia berdagang di sini.
Lokasiku hidup dan beraktifitas ini
memang kerap disebut jantung kegiatan kampus ini. Bahkan, kampus ini pun sering
kali di identikkan dengan keberadaan ku disini, ya, entah sudah berapa lama,
yang jelas sejak didirikan di tahun 70an dulu, aku sudah hidup dan mendapatkan
keistimewaan layaknya sebuah maskot, dan aku menikmatinya.
Ada istilah unik yang sering aku
dengar dari ribuan mahasiswa yang silih berganti meluangkan waktu santainya di
tempat ini, dibawah naunganku. dilemmatical place. Hahaha..
Sepanjang hidupku, aku tak pernah
bisa mengenyam pendidikan. Terang saja, sebab aku bukan manusia berakal seperti
kalian, tapi tak berarti aku tak memiliki pengetahuan. Aku percaya, bahwa alam
raya inilah sekolah ku dan semua orang disekitarku adalah ibu guru, yang
senantiasa memberiku pengetahuan, meski mereka tak pernah menyadari itu.
Aku fahami istilah unik itu setelah
banyak orang yang mendiskusikannya di tempat ini. Aku tak cukup pandai untuk
merangkumnya menjadi sebuah definisi yang disebut logis itu. Tetapi aku
faham, setidaknya tempat ini senantiasa menjadi tempat spesial bagi setiap
orang yang mengetahuinya, layaknya pelangi, tempat ini memiliki paduan warna
yang mengesankan.
Ada semangat, ada canda tawa, ada
tangis, ada yang berdegup grogi, ada si pemurung, ada yang berlaku mesum, ada
yang mengais rezeki, ada maling, ada rengekkan pengemis kecil, ada si pemalu
yang hanya jalan menunduk, ada aktivis politik yang berkampanye, ada kesan
nyaman, ada kesan angker menyeramkan, dan tentunya ada cinta.
Oh ya, aku punya teman hidup di
tempat ini. Oleh kalian, kau tempeli kami dengan papan bertuliskan Ficus
benjamina, seakan merupakan identitas selama hidup. Tetapi kalian malah
lebih suka menyebut kami: “beringin kembar”. Huh, dasar manusia tidak kukuh
pendirian.
Husssssshhh….
***
“Yay, pulang yay, bawa aja
dagangannya semua sekarang!”
“Pokoknya maaflah ya, kita gak mau
main kasar, gotong semua dagangan kalian sekarang juga!” Suara– suaralantang
itu tiba-tiba memecah pagiku yang sepi.
Puluhan pria tegap berseragam biru
dongker dan memegang pentungan itulah sumber suaranya. Mereka adalah personil
Satuan Pengamanan yang baru saja direkrut untuk meningkatkan keamanan kampus
sebulan lalu. Maklum, banyak kasus pencurian kendaraan bermotor setahun
terakhir.
Akan tetapi, apakah Kang Sa’i dan
pedagang lainnya itu kriminal? Entahlah, aku tidak mengerti cara berfikir
manusia.
Huuuuuuuussshhhh…..
“Maaf ya Bapak-Bapak, kami dari
pihak Rektorat kan sudah kasih peringatan dari jauh hari, bahwa kampus ini
tempat kuliah, bukan pasar!” ujar Pria berdasi yang datang menyusul.
“Mau gimana lagi, Pak, kami cuma
numpang cari makan. Lagian kan disini kami pedagang resmi yang punya surat izin
dari koperasi kampus dari dulu, kami juga selalu bayar lunas sewa tahunan dan
salar buat satpam tiap hari kok,” kata Kiai Sodri menimpali.
“Maaf, pokoknya siang ini juga
tolong bawa jauh-jauh dagangan kalian dari wilayah kampus. Kalau tidak, saya
suruh Satpam-satpam ini angkut dan kami sita semua,” gertak Pria berdasi itu.
Huuuussssshhhh………..
“Benar-benar panas rupanya hari
ini,” ucapku dalam hati.
Sayang aku hanya bisa melihat, tak
mampu berbuat apapun.
Dari pucuk teratas ini semakin jelas
aku melihat, sekitar 20-an personil Satpam berpatroli menyebar ke titik-titik
pedagang berjualan. Memang, kampus ini cukup luas dan memiliki banyak tempat
untuk beraktifitas santai yang biasa digunakan para mahasiswa maupun dosen dan
karyawan beristirahat jeda dari kepenatan aktifitas. Dan, ditempat seperti itu
tentu ada orang-orang seperti Kang Sa’i yang mencari rezeki kecil.
Tampak juga sekitar sepuluhan
personil satpam sedang melahap nasi bungkus di Halte Bis, mungkin mereka
kelelahan berteriak. Selang beberapa waktu kemudian, rombongan kuli lengkap
dengan martilnya didatangkan dan mulai merobohkan kios-kios kecil seberang
Halte itu.
Huuuussshh…..
***
Seperti biasa, pagi ini aku sudah
siap beraktifitas, tanpa Kang Sa’i dan pedagang lain tentunya, sebab sejak sore
kemarin tidak satu pun dari mereka selamat dari pengusiran paksa. Beruntung,
mereka masih diberi waktu membenahi barang dagangan. Tetapi tidak untuk
kios-kios semi permanen, semuanya luluh lantah dibogem martil.
Namun, tempatku hidup ini tetap
menjadi pilihan melepas penat bagi mereka. Sekumpulan mahasiswa duduk dan larut
dalam celoteh seorang diantaranya. Akupun tertarik untuk ikut larut. Sayup
–sayup kudengar….
“Emang gila, kenapa coba? Mereka
fikir mahasiswa ngerasa nyaman nongkrong di sini tanpa ada jajanan,”
ujar seorang mahasiswi membuka perbincangan.
“Kemarin aku pas lagi di kampus,
kaget juga lihat ada penggusuran, tapi alasannya biar gak kotor gitu, kan keliatan
jorok juga kalo kampus kita rame pedagang liar, apa lagi pengemis anak-anak
yang suka maksa kalo minta. Ihhhh…” sambut rekan disampingnya.
“Udah lah, gak penting-penting amat,
kalo gak enak disini yuk kita pindah di kantin biar bisa makan,” kata mahasiswa
lainnya lagi.
“Gak gitu lah, aku ini makin heran
sama kebijakan kampus, kita udah cukup penat dengan urusan akademik yang padat,
kita butuh kenyamanan, kita butuh refreshing yang alami tapi terjangkau,
seperti tempat ini misalkan. Liat nih baru sehari gak ada PKL, kita jadi males
nongkrong disini, jadi kotor pula gak ada yang nyapuin daun, “ bantah
mahasiswi tadi.
“Hmm, semestinya gak perlu
diusirlah, apa gunanya kemarin personil Satpam ditambah kalo cuma jadi tukang
gusur, bukannya jagain parkir kendaraan ato gedung yang suka kecolongan, kalo
hematku sih Pihak Rektorat harusnya lebih akomodatif dan solutif soal ini,
lebih bijak lagi lah,” tambahnya.
“Maksudmu? Ribet deh bahasanya,”
teman yang lain kembali menimpali.
”Ya kan bisa aja itu pedagangnya diatur,
didata, dibuatin fasilitas tapi mereka juga partisipasi bayar gitu, ya gak usah
yang mewah-mewah banget juga kayak cafe, bikin aja kayak kantin-kantin kecil,
kios terbuka gitu. Cuma lapak biasa tapi rapih, kalo perlu diseragamkan warna
cat atau dekorasinya. Dibuatkan kartu anggota pedagangnya kek, ato gimanalah
terserah mereka yang bisa bikin aturan, tapi intinya kita butuh kenyamanan dan
jasa pedagang-pedagang kecil begitu di tiap spot nongkrong begini, biar gak
bete”. Ocehnya menjawab.
Hhhuussssssssss,,,,,,,,,,,
Hembusan angin menyulitkanku
terlibat lebih jauh dalam celoteh mereka.
***
Matahari sudah jauh bergeser dari
yang sebelumnya tepat berada di atasku.
Sudah Sebulan lebih dari kejadian
itu, tapi aku masih tetap saja beraktifitas di tempat ini. Entah sampai kapan.
Hujan rintik mengguyur ku sejak
pukul dua siang tadi. Aku sangat menyukai saat-saat seperti ini. Biasanya
suasana interaksi manusia di sekitarku saat hujan rintik seperti sekarang akan
menambah indah pelangi yang muncul saat reda nanti.
Beberapa pondokan bambu di dekatku
mulai diramaikan oleh mereka yang sengaja berteduh. Suara-suara celoteh manusia
sore ini mengingatkanku pada kejadian pagi itu, saat Kang Sa’i dan
lawan-kawannya diusir jauh-jauh.
Aku, bagi sebagian orang yang menyadari
peranan pokok keberadaan makhluk hidup di bumi ini, menusia adalah sama,
sebagaimana kalian, aku pun hidup dan bisa melihat, bisa merasakan, bisa
mendengar, dan bisa saja berbuat.
Aku sendiri lebih bersepakat dengan
perumpamaan yang pernah diutarakan seorang pengunjung. Layaknya sebuah tubuh,
aku adalah jantung, yang punya peran vital menjaga keseimbangan hidup tubuh
ini, saudara dekatku di umpamakan sebagai organ hati, yang memiliki peran sama
vitalnya dalam tubuh ini. Kami berdua merupakan ”simbol kehidupan” kampus ini.
Mengingat celoteh kritis sekenanya
dari seorang mahasiswi manis beberapa waktu lalu saat menanggapi kejadian
penggusuran itu. Aku dengan kemampuan alam yang sederhana pun mampu menangkap
maksud perkataanya. Dan, senada dengan celotehnya, Aku fikir Pihak Rektorat
yang katanya paling kuasa mengatur keseluruhan sistem di sini, harusnya lebih
mampu mengeluarkan kebijakan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan objektif
civitas akademika.
Tidak perlu mereka menambah rusak
citra Satpam yang selama ini dianggap cuma bisa memasang tampang garang di
hadapan mahasiswa dan membungkuk manut mengekori langkah kaki pejabat kampus
itu dengan diberi kuasa melakukan tindakan kasar penggusuran dan pengusiran
pedagang.
Tak bijak pula rasanya bila Rektorat
yang dihuni kaum intelektual papan atas selalu mengeluarkan kebijakan yang
kontradiktif dengan kebutuhan masyarakat. Sudah cukup mereka ini dipusingkan
dengan prosedur seleksi masuk yang rumit, kurikulum yang ganjil, kualitas dosen
yang seadanya, sarana belajar yang gak memadai, juga tanggungan biaya
pendidikan yang naik terus.
Melihat lingkungan sekitarku
beraktifitas yang dulu ramai, kini menjadi agak sepi dan tampak tak terawat.
Hal ini mengingatkanku pada jasa Kang Sa’i yang senantiasa menyapu dan membersihkan
sampah sebelum dan sesudah berdagang setiap harinya. Sementara para satpam yang
gagah tubuhnya itu masih saja duduk santai sambil tertawa-tawa di post nya
masing-masing, dan orang-orang berdasi itu pun hanya melirik sesaat dari balik
kaca jendela mobilnya yang gelap.
Sayang, aku hanya bisa melihat, dan
bergeram hati..
____________
Bandar lampung, 21 Maret 2013.
Saddam Cahyo, Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung (Unila) dan
aktif di organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung.
Catatan: Cerpen ini dipersembahkan
untuk mengenang dua tahun penggusuran PKL Kampus Universitas Lampung yang belum
juga mendapat kejelasan, merenungi suasana kebersihan, ketertiban dan keamanan
kampus yang juga belum dapat dirasai membaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar