Menu Utama

Sabtu, 03 November 2012

Kajian Situasi Nasional ; Ekonomi dan Politik


Oleh: Rusdianto Adit Amoersetya 
          Deputy Kajian dan Bacaan Eksnas LMND 2011-2013

A.   Ketimpampangan Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Berdasarkan laporan triwulan Bank Dunia pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia mengalami penurunan dari rata-rata 6,5% dari tahun 2011, menjadi 6,3% tahun ini. Akan tetapi, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap masih tetap kuat. Pertumbuhan PDB tersebut, mengantarkan ekonomi Indonesia pada urutan ke 18 dari 20 negara dengan penghasilan PDB terbesar didunia.
Pemerintahan SBY-Budiono sangat membagakan pertumbuhan ekonomi Indonesia, bahkan pemerintah telah memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai USD 1 Triliun pada tahun 2013. Bagi pemerintah pertumbuhan ekonomi di level 6,3% sangat besar dan menunjukan ukuran ekonomi dan potensi yang baik.
Pertumbuhan ekonomi tersebut, seakan benar-benar mengobati krisis kesejahtraan rakyat Indonesia. Akan tetapi, ketika di teliti lebih dalam pertumbuhan ekonomi menyimpan ketimbangan sosial terhadap kemampuan rakyat untuk mengakses kehidupan layak. Sehingga, pertumbuhan PDB Indonesia menjadi jauh dari kesejahtraan rakyat apabila dihubungkan dengan kehidupan obyektif masyarakat Indonesia.
Mari kita lihat dimana letak kelemahan pertumbuhan ekonomi nasional yang dibanggakan oleh pemerintah itu:
Pertama:  Pemerintah masih menyusun rencana pembangunan ekonomi dengan mengunakan ‘doktrin Neoliberalisme’ dengan pendekatan sistim “Laissez Faire” (perdagangan bebas) yang menyerahkan sistim perekonomian pada mekanisme pasar bebas. Sistim “Laissez Faire” selain bertentangan dengan konstitusi bangsa, lihat saja misalkan: Ayat (1) Pasal 33 UUD 1945 menyatakan: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” artinya perekonomian nasional tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri oleh mekanisme pasar. Selain itu, kepatuhan pada pasar bebas mengakibatkan Indonesia harus merelakan kemandirian ekonomi-nya dari tangan negara  kepada mekanisme pasar.
Kedua: Pertumbuhan PDB nasional tidak diiringi oleh meningkatnya daya beli masyarakat disektor informal yang mencapai 68,2 juta orang atau 62,17% dari jumlah angakatan kerja sebanyak 117,4 juta pekerja. Kondisi ini menandakan ada kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi, pendapatan negara terus bergerak naik sementara pendapatan reel masyarakat bergerak turun (semakin sulit). Perlu diketahui bahwa pekerja informal di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara.
Ketiga:  Ekonomi nasional yang mencapai angka pertumbuhan 6,3% tidak dilandasi perbaikan pendapatan  rakyat. Peningkatan PDB yang menjadi tolak ukur pertumbuhan ekonomi nasional masih dari konsumsi rakyat dan mengalami pertumbuhan 5,0 persen yang tidak diringi pembukaan lapangan pekerjaan, bahkan menurut data resmi pemerintah (BPS tahun 2010) ada sekitar 13,13 %  (31,02 juta) penduduk berpenghasilan dibawah 1 Dollar AS/hari  (dibawah Rp. 9000).
Keempat:  Struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi oleh kelompok provinsi di pulau Jawa yang memberikan konstribusi PDB sebesar 57,5%  dari total PDB nasional tahun 2012. Sementara pertumbuhan ekonomi dipulau Sumatera sebesar 23,6%, pulau Kalimantan dan sulawesi sebesar 14,3 % dari PDB dan 4,6% dari pulau-pulau lainnya. pertumbuhan demikian menunjukan masih ada ketimpangan dalam pemerataan pertumbuhan ekonomi dalam skala nasional.
Kelima: kurangnya perhatian pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari sektor usaha kecil menengah, pasar rakyat, maupun pemberian modal kepada usaha-usaha rakyat disektor informal.
Selain pertumbuhan ekonomi yang tidak dilandasi tujuan perbaikan daya beli dan kesejahtraan rakyat, pengelolan kandungan kekayaan alam tidak secara mandiri dikuasai oleh negara. Hilangnya kemandirian negara dalam mengatur dan menguasai perekonomian nasional menandakan negara telah menjadi alat kapital. Misalkan: sejak migas menjadi komoditas devisa dengan mengundang perusahaan-perusahaan asing (TNC’s) melakukan penghisapan di daerah kaya migas, setidaknya 75% cadangan minyak kita telah habis, 90% kebutuhan energi rakyat Indonesia dibuat tergantung kepada BBM, perdagangan BBM diserahkan kepada korporasi asing seperti Petronas, Shell, Caltex dll sehingga korporasilah yang menjadi penentu harga pasaran BBM dan 45% rumah tangga belum mengakses listrik. Sementara proyeksi pasokan gas sebesar 335 Juta Metric Kubik/ hari yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya berkisar 25%--30% dan sisanya akan diekspor. Begitupun 70% penghasilan batu bara kita diekspor keluar negeri. Sekali lagi perlu ditegaskan, hasil dari pengelolaan SDA tidak ditangan negara sehingga keuntungan pengelolaan tersebut dikuasai perusahaan asing.
Indonesia memiliki luas daratan mencapai 1.919.440 km², 35% luas lahan dialokasikan khusus buat pertambangan yang 85% modalnya berada dalam kekuasaan korporasi asing. Disektor Migas dampak dari kebijakan ekonomi liberalisasi pemerintah, 85% hasil eksplorasi migas dikuasai oleh modal asing dan pemerintah melalui PT. Pertamina hanya menguasai 15 persen. sementara, Indonesia sebagai negara dengan panjang pesisir pantai nomor dua dunia dengan jumlah 8.090 desa dan 16.42 juta penduduk, 5, 254.400 masyarakatnya adalah miskin.
“Perampokan”besar-besaran kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan usaha perusahaan asing hingga tahun 2012 terdapat 10.892.203 Ha tanah sengketa dan telah mengakibatkan tidak kurang 1.189.482 keluarga petani gurem kehilangan tanahnya. Ironisnya semua “perampokan” diatas terjadi secara “formal” atau dilindungi oleh undang-undang.
Belum lagi jika kita berbicara mengenai sektor minerba, di tahun 2010, Produksi Tembaga di Indonesia tahun 2010, kesemuanya adalah Perusahaan berasal dari modal Paman Sam.
Perusahaan
Produksi (Ton)
PT Freeport Indonesia
632.325,01
PT Newmont Nusa Tenggara
246.051,00
TOTAL
838.376,01
Sumber: Institut Global Justice (2011)

Lalu bagaimana dengan produksi emas?
Pada tahun 2010, telah tercatat 6 besar eksploitasi emas di Indonesia mencapai 109.839,14 Kg/hari. Berikut adalah tabel produksi emas di Indonesia, yang Alhamdulillah, hanya ada satu perusahaan yang merupakan milik Indonesia.
Perusahaan
Produksi (Kg)
PT Aneka Tambang Tbk (Indonesia)
10.495,00
PT Avocet Bolaang Mongondouw (Inggris)
1.343,01
PT Freeport Indonesia (AS)
61.832,74
PT Indo Muro Kencana  (Australia)
946,00
PT Newmont Nusa Tenggara (AS)
22.930,00
PT Nusa Halmahera Minerals (Singapore)
12.292,39
TOTAL
109.839,14
Sumber: Institut Global Justice (2011)

Jika ingin mengetahui bagaimana migas kita, kita akan menyaksikan fakta yang luar biasa menyesakkan dada, membuat kita akan berpikir ulang tentang makna kemerdekaan bangsa ini. berikut sedikit data mengenai fakta migas kita
Produksi 5 Perusahaan Minyak Terbesar di Indonesia
Perusahaan
Produksi (barrel/hari)
PT Chevron Pacific Indonesia  (Amerika Serikat)
357,680
PT Pertamina EP  (Indonesia)
122,350
PT Total Indonesie E&P (Perancis)
84,460
ConocoPhilips  (Amerika Serikat)
52,490
CNOOC, SES   (China)
38,320
Jumlah
655.300
Sumber: Institut Global Justice (2011)

Data diatas masihlah sebatas data di sektor hulu, belum lagi jika kita melihat sektor hilir, dimana pasar modern milik asing telah tumbuh hingga 31% per tahun, sedangkan pasar tradisional tiap tahunnya mengalami penurunan hingga 8% (data Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, 2011).
Aroma asing begitu nyata dalam kehidupan kita bukan? Aroma asing ini sudah sedemikian menggurita hingga tulang sumsum kita. Bangun tidur, kita sudah memakai produk asing, minum Aqua (74% sahamnya dikuasai Danone,Prancis), atau minum teh Sariwangi (100% milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (82% dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (Unilever), merokok Sampoerna (97% milik Philips Morris,AS) atau Bentoel (British American Tobacco). Mau belanja ke supermarket Carrefour (Prancis), Alfa pun sudah jadi milik Carrefour dengan penguasaan 7%,) Atau mau ke Giant (milik Dairy Farm Internasional, Malaysia, yang juga pemilik saham di supermarket Hero). Menabung atau mengambil uang di BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, dan bank swasta nasional lainnya hampir semua sudah milik perusahaan asing.
Pembangunan industri nasional juga semakin “jauh api dari panggang” pemerintahan SBY-Budiono hanya pandai mengobral mimpi, namun selalu tidak ada tindakan kongkret untuk mewujudkan mimpi pembangunan industri. Rencana pembangunan industri akan diintensifkan pada beberapa sektor seperti Industri manufaktur, petrokimia, pupuk,perkapalan, baja, industri kecil dan menengah dan industri gula. Melihat kondisi perekonomian nasional, rencana pembangunan industry oleh pemerintah hanya akan menjadi “mimpi disiang bolong”  disebabkan beberapa hal: pertama: pembangunan industry membutuhkan ketersediaan bahan baku, membutuhkan pasokan energi yang maksimal sementara hampir semua kekayaan alam dan ladang minyak serta gas dikuasai oleh asing. kedua: tumpuan ekonomi kita masih pada ekspor bahan mentah,  akibat masifnya tindakan ekspor mentah menyebabkan cadangan bauksit akan habis sekitar tahun 2018. Cadangan besi, nikel, tembaga akan  habis dalam 10, 15, dan 45 tahun. Cadangan minyak bumi dan gas alam akan habis dalam 11 dan 33 tahun. Cadangan batubara habis dalam 64 tahun. Berbagai data juga menunjukkan, sedikitnya 1 juta hektar hutan di Indonesia rusak dan hilang per tahun.  Ketiga: belum tersedianya industi dasar yang kuat seperti pabrik baja, semen,pabrik aluminium, pabrik besi, pabrik logam dan lain-lain
Pada sektor pertanian dan pangan dari ekonomi Indonesia masih menunjukan sifat-sifat kolonial sebagai penerusan hubungan lama yang menempatkan Indonesia sebagai tempat penanaman modal asing dan pasar bagi hasil prosuksi pertanian negara-negara imperialis.
Saat ini, 70% popoulasi rakyat Indonesia adalah kaum tani yang bekerja dipedesaan-pedesaan dan tenaga kerja pertanian mencapai 107,4 juta orang. Data BPS menunjukan pada tahun 2010 tiggal 12,8 juta Ha lahan pertanian dan terus mengalami penyusutan hingga sekarang. Bahkan, luas pertanian secara keseluruhan (termaksud non-padi) mengalami penyusutan hingga 13% dari 19,853 juta Ha tahun 2009 menjadi 19,814 juta Ha tahun 2010. Hal ini juga menunjukan semakin miskinnya petani akibat sempitnya lahan pertanian.
Dalam situasi tiadanya keberpihakan pemerintah pada petani, konflik agraria antara petani dengan perusahaan perkebunan, pertambangan, AMDK (air minum dalam kemasan) berlangsung secara masif. Petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penembakan dan berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Dengan pesatnya konversi lahan-lahan pertanian, untuk perkebunan, pertambangan atau industri semakin banyak petani tidak memiliki tanah. Belum lagi konflik agrarian terus terjadi.
Upaya pemenuhan kebutuhan dan produksi pangan juga semakin diserahkan ditangan korporasi dan produk-produk impor, walaupun dalam rencana Strategis 2010-2014 kementrian pertanian direncanakan adanya swasembada untuk jagung, kedelai, daging sapi dan swasembada berkelanjutan untuk padi. Akan tetapi, kenyataannya impor bahan-bahan pangan tersebut justru meningkat. Tahun ini pemerintah meng-impor 65% kebutuhan pangan (KADIN), gabungan pengusaha makanan dan minuman Indonesia (GAPMMI) memperkirakan 80% kebutuhan bahan pangan Indonesia diperoleh dari impor.
Penerimaan APBN juga masih terbesar dari pajak rakyat yakni  mencapai 75 persen dengan potensi kehilangan pajak mencapai 40 persen dan hanya 10 persen dari anggaran itu yang sampai ke rakyat. Politik anggaran pemerintah yang pro-kapitalis menyebabkan pemanfaatan uang rakyat penuh masalah. Bayangkan saja, dalam semester I, APBN kita telah terkuras anggaran sebesar 79% dari total APBN hanya untuk belanja rutin pemerintah.
Gambaran diatas, menunjukan ekonomi nasional kita tidak berjalan mandiri, ekonomi nasional kita didikte oleh kepentingan Imperialisme. Berpijak dari titik itulah, kami bisa menarik beberapa kesimpulan, antara lain;
1.    Derajat pelaksanaan ekonomi neoliberalisme menunjukan hilangnya kemandirian ekonomi nasional, modal asing telah mengambil porsi lebih besar dibanding modal dalam negeri, misalnya jenis tambang dan migas 85 % dikuasai asing, ­­+ 65% modal perbankkan juga dikuasai modal asing. perusahaan asing juga menguasai sektor perkebunan, ritel, telekomunikasi, air minum dan sektor strategis lainnya.
2.    Pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari PBD yang mencapai angka 6,3 % tidak dihasilkan dari sektor reel ekonomi rakyat, sebagian besar adalah hasil produksi orang dan perusahaan asing di Indonesia, jadi peningkatan PDB sebagian besar adalah konstribusi asing.
3.    Ekonomi rakyat yang bertumpu pada pertanian dan usaha kecil menengah (UKM, industry rumah tangga, dan usaha informal), semakin hancur akibat invasi dari ritel-ritel bermodal besar.
4.    Sementara 80 persen pangsa pasar nasional dikuasai barang impor dan korporasi besar, sedangkan pasar rakyat hanya menikmati 20 persen pangsa pasar nasional.
Dengan begitu dalamnya penetrasi asing dalam kehidupan nasional kita, muncul sebuah pertanyaan yang banyak dilontarkan oleh kaum skeptic. Apakah mungkin kita melaksanakan sebuah ekonomi yang memihak pada kepentingan nasional? Masalah ini harus dijawab dengan optimis. Tetapi pemerintah harus mengetahui batasan-batasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perencanaan pembangunan nasional maupun pelaksaannya. Prinsip-prinsip pembangunan ekonomi nasional yang mandiri sudah tercermin dalam pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut:
1.    Mengakhiri kekuasaan modal monopoli asing dalam negeri. Sebab kekuasaan modal monopoli asing atas kehidupan ekonomi tidak hanya merupakan dasar kekuatan imperialisme. Dasar kekuatan perampokan atas kekayaan alam dan hasil kerja rakyat merupakan sumber pokok dari kemiskinan, tetapi juga merupakan sumber ketidak mandirian kehidupan ekonomi nasional.
2.    Bersandar pada kekuatan dan untuk kepentingan rakyat kita sendiri, ini juga berarti mengikut sertakan secara aktif semua kekuatan progresif dalam negeri.
3.    Memperkuat ekonomi sektor negara sehingga menempati commanding position”  dalam kehidupan ekonomi nasional sesuai dengan jiwa pasal 33 UUD 1945, maka semua cabang produksi yang vital dan menyangkut hajat hidup rakyat harus dikuasai dan dimiliki oleh negara.
b.    Segala kegiatan impor ditujukan pada barang-barang yang dapat menambah produksi dalam negeri sehingga kesempatan bekerja bertambah.
B.   Situasi Politik
Memasuki tahun ke-8 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, politik bangsa indonesia mengarah pada kemerosotan kedaulatan. Politik pemerintah tidak dibangun diatas landasan filosofis kedaulatan dan kemandirian. Sistim politik semakin kompromis terhadap kepentingan Imperialisme. Politik kompromis pemerintah tidak hanya mengorbankan kekayaan alam kita tetapi juga menginggari tujuan proklamasi.
Politik kedaulatan telah diganti dengan politik liberal, suara rakyat dicatut, dikorup, dan dijadikan sekedar pemanis demokrasi oleh sebagian golongan dengan mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia.
Meskipun kekuasaan SBY-Budiono relatif tidak stabil dan mengalami kejatuhan popularitas dimata rakyat tetapi lingkaran kekuasaannya masih cukup kuat. Bahkan, hampir seluruh kekuatan politik besar PDIP dan golkar, setuju untuk membiarkan SBY-Budiono sampai akhir jabatan pada 2014 mendatang.
Berbagai konflik seperti kasus pertambangan dan memakan korban, ketidakadilan sistim peradilan nasional yang lebih memihak yang bermodal, dll. Dan terjadi dari tingkatan daerah sampai nasional,  menciptakan suatu kondisi ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah, bahkan terjadi perlawanan di beberapa daerah.
Perkembangan terakhir ini, secara wacana ada dua gagasan yang sedang berkembang dalam arena politik nasional. Pertama: pandangan politik liberal yang diwakili oleh kekuasaan SBY-Budiono (pro-neoliberalisme) dengan politik kompromis yang patuh pada kepentingan politik klienisme-nya dan politik imperialisme.
Kedua: gagasan yang mengusung isu kemandirian ekonomi dan kedaulatan  ekonomi yang di wakili oleh kelompok progresif dalam negeri.
Dalam praktek politiknya, kedua gagasan di atas mengangkat dua isu yang berbeda. Kelompok pertama senantisa mengangkat isu korupsi dan revolusi etik sebagai solusi bangsa. Persoalan penjajahan imperialisme tidak menjadi konsen isu mereka. Beberapa alasan dapat kita uraikan terhadap penggunaan isu korupsi yang menjadi konsen kampanye politik pemerintah: pertama: pada prinsipnya kita tidak sepakat dengan korupsi (pencurian) karena menggerogoti uang rakyat (APBN), begitupun neoliberalisme selalu menginginkan sebuah pemerintan yang baik (Good and Clean Governance) dalam kerangka mengamankan investasi modal mereka dari keserakahan kelompok-kelompok politik tertentu.  Pemerintahan SBY-Budiono sangat mengakomodasi kepentingan neoliberalisme dan pencitraan politiknya dengan mengangkat isu korupsi. Sehingga, semangat kampanye anti korupsi tidak ditujukan untuk mengamankan kapital nasional, melainkan sebagai semangat pencitraan kepada dunia internasional bahwa negara ini sudah mulai membaik guna menarik investasi asing. Kedua:  melalui isu korupsi pemerintah (Pro-neolib), melalui peranan aktif media mengarahkan kesadaran rakyat, bahwa korupsilah sumber utama persoalan yang menciptakan kemiskinan, pengangguran, pendidikan mahal, kesehatan mahal, naiknya harga sembako dll. Kenyataannya, anti korupsi dalam pandangan masyarakat menjadi sebuah kebenaran atau telah menjadi focus perhatian. Hal ini, berkonsekuwensi memanipulasi kesadaran politik rakyat. Padahal, sumber dari segala ketimpangan sosial di masyarakat disebabkan oleh keberpihakan ekonomi politik pemerintah pada imperialisme. Ketiga: isu korupsi oleh pemerintahan neolib (SBY-Budiono) dijadikan penghadang isu kedaulatan dan kemandirian nasional yang sedang berkembang di nasional.
Pertarungan antara KPK dan POLRI yang sedang hangat, merupakan pertarungan dua alat imperialisme. Korupsi selain telah mengakar sebagai tradisi elit politik juga merupakan alat imperialisme. Dikatakan alat imperialisme karena semangatnya adalah melindungi capital asing dalam APBN maupun dalam bentuk utang negara. Pemberantasan korupsi tidak akan terwujud tanpa adanya perubahan sistim dan mental politik elit. Semangat pemberantasan korupsi haruslah diarahkan pada tujuan kedaulatan kekayaan bangsa bukan pada semangat mengamankan modal asing, bahkan secara sadar KPK adalah alat Imperialisme. Begitu pula POLRI yang sudah begitu banyak memberikan bukti yang menunjukan bahwa mereka adalah alat Imperialisme. Ada dugaan bahwa drama ke-II antara KPK versus POLRI sengaja dimunculkan kembali guna memuluskan beberapa hal. Pertama, ada upaya dari beberapa faksi jenderal di kepolisian untuk menjatuhkan kredibilitas Kapolri Timur Pradopo yang banyak disebut-sebut sebagai Kapolri konsesi. Kedua, ada upaya dari beberapa politisi untuk memuluskan beberapa RUU yang merupakan perangkat fundamen dari modal asing, seperti RUU KAMNAS, RUU Ormas dll. Ketiga, drama tersebut digunakan sebagai pendongkrak citra pemerintahan SBY dan kroninya yang sempat mengalami penurunan ekspektasi publik.
Sementara, kelompok kedua yang mengusung gagasan kedaulatan bangsa, mengkampanyekan isu kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi. Sebagai manifestasi dilapangan politik, kelompok ini begitu tegas melakukan kritik terhadap sistem pemerintahan. Gerakan ini dilandasi perjuangan nasionalisme, demokrasi dan kemanusian. Dalam pandangan kelompok ini, apa yang dialami oleh bangsa ini adalah dampak dari penjajahan bangsa asing. Yang kemudian menjadikannya sebagai musuh pokok dalam perjuangannya. Mereka menggugat berbagai undang-undang yang tidak memihak kepentingan rakyat. Situasi inilah yang membawa pertentangan imperialisme semakin terlihat dalam oleh rakyat. Makin hari, makin banyak bermunculan berbagai bentuk perlawanan rakyat di media-media nasional maupun local, terutama sekali dalam hal penolakan terhadap operasi perusahaan pertambangan maupun perkebunan asing.

C.   Situasi Pendidikan Nasional
Secara fundamen belum ada perubahan pada sistim pendidikan nasional. Dasar pendidikan kita adalah kapitalisme, seperti Karl Marx pernah menyimpulkan bahwa pendidikan adalah alat bagi kapitalisme untuk mencangkokan nilai, paham dan instrument baku masyarakat kapitalisme. Dimasa-masa pemerintahan soekarno pendidikan ditujukan untuk kemanusian. sebab itu, muatan pendidikannya adalah tentang nasionalisme, kemanusian, demokrasi dan kemerdekaan. Beda pula pendidikan pada zaman orba, pendidikan berubah jadi komoditi dan manusia yang dihasilkan adalah robot-robot industri. . Ada beberapa paket UU yang bisa jadi catatan, bagaimana arah pendidikan nasional mengarah ke komersialisasi pendidikan. Diantaranya; UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Dalam PP No.60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN, RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang kemudian dibatalkan oleh MA dan yang terakhir adalah paket Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU No. 12 Tahun 2012).
Pendidikan kita (UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) merupakan pendidikan komersialisasi. UU PT  hanyalah penyempurnaan dari pelaksanaan konsep PP no.60 dan 61 tahun 1999 soal BHMN. Dalam konsep ini di perkenalkan soal otonomi pendidikan yang diharapkan lembaga pendidikan lebih otonom dalam menggali dana dan lepas dari beban anggaran pemerintah. Karena tanggung jawab negara di hilangkan, maka kampus/lembaga pendidikan harus menggali dana sendiri dari masyarakat.
UU PT (pendidikan Tinggi) sangat jelas, bahwa semangat utama dari UU ini adalah swastanisasi pendidikan karena negara di hapuskan tanggung jawabnya dan selajutnya di serahkan dalam mekanisme pasar.  Hingga saat ini, perguruan tinggi swasta diindonesia sekitar 3.017 PTS, 50 PTN khusus, dan 83 PTN umum. Jika pengelolaan pembiayaan kampus tampa control pemerintah, peluang penyimpangan sangat besar.
Mutu pendidikan kita juga sangat pro pasar dan buruk karena orientasi pendidikan (kurikulum) adalah pasar tenaga kerja (labour market), sehingga jurusan, study, dan spesialsiasi keilmuan sekedar disesuaikan dengan kebutuhan pasar.  
Selain itu, melalui RUU PT, pemerintah mengizinkan perguruan tinggi asing membuka cabang di Indonesia. Padahal, sejak tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai Rp 126 triliun. Karena itu, kepentingan untuk memasukkan jasa pendidikan asing di Indonesia justru semakin menghancurkan orientasi pendidikan nasional.

D.   Posisi dan Sikap politik LMND
Posisi Terhadap Persoalan Ekonomi:
1.    Tetap mengkampanyekan Kembali ke Pancasila dan UUD 1945 sebelum amandemen secara jujur dan konsisten
2.    Mendorong kontrol negara dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama hasil tambang, pertanian, kehutanan, kelautan, dsb.
3.    Proteksi terhadap pasar di dalam negeri, khususnya untuk menampung produk industri menengah dan kecil di dalam negeri.
Posisi Terhadap Persoalan Politik;
1.    Mendesak pencabutan seluruh UU pro-neoliberal;
2.    Terus mengerjakan penggalangan front nasional yang luas
Posisi terhadap persoalan Pendidikan:
Eksekutif Nasional Akan melakukan Judicial review terhadap UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidkan Tinggi. Dalam proses ini, diharapkan pada kawan-kawan Liga di Eksekutif Wilayah, Eksekutif Kota dan Eksekutif Komusariat melakukan serangkaian kegiatan rutin dalam bentuk diskusi internal, diskusi public, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya, dalam kerangka meluaskan isu penolakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar