Oleh: Rusdianto Adit Amoersetya
Deputy Kajian dan Bacaan Eksnas LMND 2011-2013
A.
Ketimpampangan Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Berdasarkan laporan triwulan Bank Dunia
pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia mengalami penurunan dari rata-rata 6,5%
dari tahun 2011, menjadi 6,3% tahun ini. Akan tetapi, kinerja pertumbuhan
ekonomi Indonesia dianggap masih tetap kuat. Pertumbuhan PDB tersebut,
mengantarkan ekonomi Indonesia pada urutan ke 18 dari 20 negara dengan
penghasilan PDB terbesar didunia.
Pemerintahan SBY-Budiono sangat membagakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia, bahkan pemerintah telah memproyeksikan
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai USD 1 Triliun pada
tahun 2013. Bagi pemerintah pertumbuhan ekonomi di level 6,3% sangat besar dan
menunjukan ukuran ekonomi dan potensi yang baik.
Pertumbuhan ekonomi tersebut, seakan benar-benar
mengobati krisis kesejahtraan rakyat Indonesia. Akan tetapi, ketika di teliti
lebih dalam pertumbuhan ekonomi menyimpan ketimbangan sosial terhadap kemampuan
rakyat untuk mengakses kehidupan layak. Sehingga, pertumbuhan PDB Indonesia
menjadi jauh dari kesejahtraan rakyat apabila dihubungkan dengan kehidupan
obyektif masyarakat Indonesia.
Mari kita lihat dimana letak kelemahan
pertumbuhan ekonomi nasional yang dibanggakan oleh pemerintah itu:
Pertama:
Pemerintah
masih menyusun rencana pembangunan ekonomi dengan mengunakan ‘doktrin
Neoliberalisme’ dengan pendekatan sistim “Laissez Faire” (perdagangan bebas)
yang menyerahkan sistim perekonomian pada mekanisme pasar bebas. Sistim
“Laissez Faire” selain bertentangan dengan konstitusi bangsa, lihat saja
misalkan: Ayat (1) Pasal 33 UUD 1945 menyatakan: “perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” artinya perekonomian nasional
tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri oleh mekanisme pasar. Selain itu,
kepatuhan pada pasar bebas mengakibatkan Indonesia harus merelakan kemandirian
ekonomi-nya dari tangan negara kepada
mekanisme pasar.
Kedua:
Pertumbuhan PDB nasional tidak diiringi oleh meningkatnya
daya beli masyarakat disektor informal yang mencapai 68,2 juta orang atau
62,17% dari jumlah angakatan kerja sebanyak 117,4 juta pekerja. Kondisi ini
menandakan ada kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi, pendapatan negara terus
bergerak naik sementara pendapatan reel masyarakat bergerak turun (semakin
sulit). Perlu diketahui bahwa pekerja informal di Indonesia termasuk yang
tertinggi di Asia Tenggara.
Ketiga:
Ekonomi
nasional yang mencapai angka pertumbuhan 6,3% tidak dilandasi perbaikan
pendapatan rakyat. Peningkatan PDB yang
menjadi tolak ukur pertumbuhan ekonomi nasional masih dari konsumsi rakyat dan
mengalami pertumbuhan 5,0 persen yang tidak diringi pembukaan lapangan pekerjaan,
bahkan menurut data resmi pemerintah (BPS tahun 2010) ada sekitar 13,13 % (31,02 juta) penduduk berpenghasilan dibawah
1 Dollar AS/hari (dibawah Rp. 9000).
Keempat: Struktur perekonomian
Indonesia secara spasial masih didominasi oleh kelompok provinsi di pulau Jawa
yang memberikan konstribusi PDB sebesar 57,5%
dari total PDB nasional tahun 2012. Sementara pertumbuhan ekonomi
dipulau Sumatera sebesar 23,6%, pulau Kalimantan dan sulawesi sebesar 14,3 %
dari PDB dan 4,6% dari pulau-pulau lainnya. pertumbuhan demikian menunjukan masih
ada ketimpangan dalam pemerataan pertumbuhan ekonomi dalam skala nasional.
Kelima: kurangnya perhatian pemerintah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari sektor usaha kecil menengah, pasar
rakyat, maupun pemberian modal kepada usaha-usaha rakyat disektor informal.
Selain pertumbuhan ekonomi yang tidak dilandasi
tujuan perbaikan daya beli dan kesejahtraan rakyat, pengelolan kandungan
kekayaan alam tidak secara mandiri dikuasai oleh negara. Hilangnya kemandirian
negara dalam mengatur dan menguasai perekonomian nasional menandakan negara
telah menjadi alat kapital. Misalkan: sejak migas menjadi komoditas devisa
dengan mengundang perusahaan-perusahaan asing (TNC’s) melakukan penghisapan di daerah
kaya migas, setidaknya 75% cadangan minyak kita telah habis, 90% kebutuhan
energi rakyat Indonesia dibuat tergantung kepada BBM, perdagangan BBM
diserahkan kepada korporasi asing seperti Petronas, Shell, Caltex dll sehingga
korporasilah yang menjadi penentu harga pasaran BBM dan 45% rumah tangga belum
mengakses listrik. Sementara proyeksi pasokan gas sebesar 335 Juta Metric
Kubik/ hari yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya
berkisar 25%--30% dan sisanya akan diekspor. Begitupun 70% penghasilan batu
bara kita diekspor keluar negeri. Sekali lagi perlu ditegaskan, hasil dari
pengelolaan SDA tidak ditangan negara sehingga keuntungan pengelolaan tersebut
dikuasai perusahaan asing.
Indonesia memiliki luas daratan mencapai 1.919.440
km², 35% luas lahan dialokasikan khusus buat pertambangan yang 85% modalnya
berada dalam kekuasaan korporasi asing. Disektor Migas dampak dari kebijakan
ekonomi liberalisasi pemerintah, 85% hasil eksplorasi migas dikuasai oleh modal
asing dan pemerintah melalui PT. Pertamina hanya menguasai 15 persen.
sementara, Indonesia sebagai negara dengan panjang pesisir pantai nomor dua
dunia dengan jumlah 8.090 desa dan 16.42 juta penduduk, 5, 254.400
masyarakatnya adalah miskin.
“Perampokan”besar-besaran kekayaan alam
Indonesia untuk kepentingan usaha perusahaan asing hingga tahun 2012 terdapat
10.892.203 Ha tanah sengketa dan telah mengakibatkan tidak kurang 1.189.482
keluarga petani gurem kehilangan tanahnya. Ironisnya semua “perampokan” diatas
terjadi secara “formal” atau dilindungi oleh undang-undang.
Belum
lagi jika kita berbicara mengenai sektor minerba, di tahun 2010, Produksi Tembaga
di Indonesia tahun 2010, kesemuanya adalah Perusahaan berasal dari modal Paman
Sam.
Perusahaan
|
Produksi (Ton)
|
PT Freeport Indonesia
|
632.325,01
|
PT Newmont Nusa Tenggara
|
246.051,00
|
TOTAL
|
838.376,01
|
Sumber: Institut
Global Justice (2011)
Lalu
bagaimana dengan produksi emas?
Pada tahun 2010,
telah tercatat 6 besar eksploitasi emas di Indonesia mencapai 109.839,14
Kg/hari. Berikut adalah tabel produksi emas di Indonesia, yang Alhamdulillah,
hanya ada satu perusahaan yang merupakan milik Indonesia.
Perusahaan
|
Produksi
(Kg)
|
PT Aneka Tambang Tbk (Indonesia)
|
10.495,00
|
PT Avocet Bolaang Mongondouw (Inggris)
|
1.343,01
|
PT Freeport Indonesia (AS)
|
61.832,74
|
PT Indo Muro Kencana
(Australia)
|
946,00
|
PT Newmont Nusa Tenggara (AS)
|
22.930,00
|
PT Nusa Halmahera Minerals (Singapore)
|
12.292,39
|
TOTAL
|
109.839,14
|
Sumber: Institut
Global Justice (2011)
Jika
ingin mengetahui bagaimana migas kita, kita akan menyaksikan fakta yang luar
biasa menyesakkan dada, membuat kita akan berpikir ulang tentang makna
kemerdekaan bangsa ini. berikut sedikit data mengenai fakta migas kita
Produksi 5 Perusahaan Minyak
Terbesar di Indonesia
Perusahaan
|
Produksi (barrel/hari)
|
PT Chevron Pacific Indonesia (Amerika Serikat)
|
357,680
|
PT Pertamina EP (Indonesia)
|
122,350
|
PT Total Indonesie E&P (Perancis)
|
84,460
|
ConocoPhilips (Amerika Serikat)
|
52,490
|
CNOOC, SES (China)
|
38,320
|
Jumlah
|
655.300
|
Sumber:
Institut Global Justice (2011)
Data
diatas masihlah sebatas data di sektor hulu, belum lagi jika kita melihat
sektor hilir, dimana pasar modern milik asing telah tumbuh hingga 31% per
tahun, sedangkan pasar tradisional tiap tahunnya mengalami penurunan hingga 8%
(data Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, 2011).
Aroma
asing begitu nyata dalam kehidupan kita bukan? Aroma asing ini sudah sedemikian
menggurita hingga tulang sumsum kita. Bangun tidur, kita sudah memakai produk
asing, minum Aqua (74% sahamnya dikuasai Danone,Prancis), atau minum teh
Sariwangi (100% milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (82% dikuasai Numico,
Belanda), mandi dengan Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (Unilever), merokok
Sampoerna (97% milik Philips Morris,AS) atau Bentoel (British American
Tobacco). Mau belanja ke supermarket Carrefour (Prancis), Alfa pun sudah jadi
milik Carrefour dengan penguasaan 7%,) Atau mau ke Giant (milik Dairy Farm
Internasional, Malaysia, yang juga pemilik saham di supermarket Hero). Menabung
atau mengambil uang di BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, dan bank swasta nasional
lainnya hampir semua sudah milik perusahaan asing.
Pembangunan
industri nasional juga semakin “jauh api dari panggang” pemerintahan
SBY-Budiono hanya pandai mengobral mimpi, namun selalu tidak ada tindakan
kongkret untuk mewujudkan mimpi pembangunan industri. Rencana pembangunan
industri akan diintensifkan pada beberapa sektor seperti Industri manufaktur,
petrokimia, pupuk,perkapalan, baja, industri kecil dan menengah dan industri
gula. Melihat kondisi perekonomian nasional, rencana pembangunan industry oleh
pemerintah hanya akan menjadi “mimpi disiang bolong” disebabkan beberapa hal: pertama: pembangunan
industry membutuhkan ketersediaan bahan baku, membutuhkan pasokan energi yang
maksimal sementara hampir semua kekayaan alam dan ladang minyak serta gas
dikuasai oleh asing. kedua: tumpuan ekonomi kita masih
pada ekspor bahan mentah, akibat
masifnya tindakan ekspor mentah menyebabkan cadangan bauksit akan habis sekitar
tahun 2018. Cadangan besi, nikel, tembaga akan
habis dalam 10, 15, dan 45 tahun. Cadangan minyak bumi dan gas alam akan
habis dalam 11 dan 33 tahun. Cadangan batubara habis dalam 64 tahun. Berbagai
data juga menunjukkan, sedikitnya 1 juta hektar hutan di Indonesia rusak dan
hilang per tahun. Ketiga: belum tersedianya
industi dasar yang kuat seperti pabrik baja, semen,pabrik aluminium, pabrik
besi, pabrik logam dan lain-lain
Pada
sektor pertanian dan pangan dari ekonomi Indonesia masih menunjukan sifat-sifat
kolonial sebagai penerusan hubungan lama yang menempatkan Indonesia sebagai
tempat penanaman modal asing dan pasar bagi hasil prosuksi pertanian
negara-negara imperialis.
Saat
ini, 70% popoulasi rakyat Indonesia adalah kaum tani yang bekerja dipedesaan-pedesaan
dan tenaga kerja pertanian mencapai 107,4 juta orang. Data BPS menunjukan pada
tahun 2010 tiggal 12,8 juta Ha lahan pertanian dan terus mengalami penyusutan
hingga sekarang. Bahkan, luas pertanian secara keseluruhan (termaksud non-padi)
mengalami penyusutan hingga 13% dari 19,853 juta Ha tahun 2009 menjadi 19,814
juta Ha tahun 2010. Hal ini juga menunjukan semakin miskinnya petani akibat
sempitnya lahan pertanian.
Dalam
situasi tiadanya keberpihakan pemerintah pada petani, konflik agraria antara
petani dengan perusahaan perkebunan, pertambangan, AMDK (air minum dalam
kemasan) berlangsung secara masif. Petani terus dihadapkan dengan penangkapan,
penembakan dan berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Dengan pesatnya konversi lahan-lahan pertanian, untuk
perkebunan, pertambangan atau industri semakin banyak petani tidak memiliki
tanah. Belum lagi konflik agrarian terus terjadi.
Upaya
pemenuhan kebutuhan dan produksi pangan juga semakin diserahkan ditangan korporasi
dan produk-produk impor, walaupun dalam rencana Strategis 2010-2014 kementrian
pertanian direncanakan adanya swasembada untuk jagung, kedelai, daging sapi dan
swasembada berkelanjutan untuk padi. Akan tetapi, kenyataannya impor
bahan-bahan pangan tersebut justru meningkat. Tahun ini pemerintah meng-impor
65% kebutuhan pangan (KADIN), gabungan pengusaha makanan dan minuman Indonesia
(GAPMMI) memperkirakan 80% kebutuhan bahan pangan Indonesia diperoleh dari
impor.
Penerimaan
APBN juga masih terbesar dari pajak rakyat yakni mencapai 75 persen dengan potensi kehilangan
pajak mencapai 40 persen dan hanya 10 persen dari anggaran itu yang sampai ke rakyat. Politik
anggaran pemerintah yang pro-kapitalis menyebabkan pemanfaatan uang rakyat
penuh masalah. Bayangkan saja, dalam semester I, APBN kita telah terkuras
anggaran sebesar 79% dari total APBN hanya untuk belanja rutin pemerintah.
Gambaran
diatas, menunjukan ekonomi nasional kita tidak berjalan mandiri, ekonomi
nasional kita didikte oleh kepentingan Imperialisme. Berpijak dari titik
itulah, kami bisa menarik beberapa kesimpulan, antara lain;
1.
Derajat
pelaksanaan ekonomi neoliberalisme menunjukan hilangnya kemandirian ekonomi
nasional, modal asing telah mengambil porsi lebih besar dibanding modal dalam
negeri, misalnya jenis tambang dan migas 85 % dikuasai asing, + 65%
modal perbankkan juga dikuasai modal asing. perusahaan asing juga menguasai
sektor perkebunan, ritel, telekomunikasi, air minum dan sektor strategis
lainnya.
2.
Pertumbuhan
ekonomi yang tercermin dari PBD yang mencapai angka 6,3 % tidak dihasilkan dari
sektor reel ekonomi rakyat, sebagian besar adalah hasil produksi orang dan
perusahaan asing di Indonesia, jadi peningkatan PDB sebagian besar adalah
konstribusi asing.
3.
Ekonomi
rakyat yang bertumpu pada pertanian dan usaha kecil menengah (UKM, industry
rumah tangga, dan usaha informal), semakin hancur akibat invasi dari
ritel-ritel bermodal besar.
4.
Sementara
80 persen pangsa pasar nasional dikuasai barang impor dan korporasi besar,
sedangkan pasar rakyat hanya menikmati 20 persen pangsa pasar nasional.
Dengan
begitu dalamnya penetrasi asing dalam kehidupan nasional kita, muncul sebuah
pertanyaan yang banyak dilontarkan oleh kaum skeptic. Apakah mungkin kita
melaksanakan sebuah ekonomi yang memihak pada kepentingan nasional? Masalah ini
harus dijawab dengan optimis. Tetapi pemerintah harus mengetahui
batasan-batasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perencanaan
pembangunan nasional maupun pelaksaannya. Prinsip-prinsip pembangunan ekonomi
nasional yang mandiri sudah tercermin dalam pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut:
1. Mengakhiri kekuasaan modal monopoli asing
dalam negeri. Sebab kekuasaan modal monopoli asing atas kehidupan ekonomi tidak
hanya merupakan dasar kekuatan imperialisme. Dasar kekuatan perampokan atas
kekayaan alam dan hasil kerja rakyat merupakan sumber pokok dari kemiskinan,
tetapi juga merupakan sumber ketidak mandirian kehidupan ekonomi nasional.
2. Bersandar pada kekuatan dan untuk kepentingan
rakyat kita sendiri, ini juga berarti mengikut sertakan secara aktif semua
kekuatan progresif dalam negeri.
3. Memperkuat ekonomi sektor negara sehingga
menempati “commanding position” dalam kehidupan ekonomi nasional sesuai dengan
jiwa pasal 33 UUD 1945, maka semua cabang produksi yang vital dan menyangkut
hajat hidup rakyat harus dikuasai dan dimiliki oleh negara.
b. Segala kegiatan impor ditujukan pada
barang-barang yang dapat menambah produksi dalam negeri sehingga kesempatan
bekerja bertambah.
B.
Situasi Politik
Memasuki tahun ke-8 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa,
politik bangsa indonesia mengarah pada kemerosotan kedaulatan. Politik
pemerintah tidak dibangun diatas landasan filosofis kedaulatan dan kemandirian.
Sistim politik semakin kompromis terhadap kepentingan Imperialisme. Politik
kompromis pemerintah tidak hanya mengorbankan kekayaan alam kita tetapi juga
menginggari tujuan proklamasi.
Politik kedaulatan telah diganti dengan politik liberal, suara
rakyat dicatut, dikorup, dan dijadikan sekedar pemanis demokrasi oleh sebagian
golongan dengan mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia.
Meskipun kekuasaan SBY-Budiono relatif tidak stabil dan mengalami
kejatuhan popularitas dimata rakyat tetapi lingkaran kekuasaannya masih cukup
kuat. Bahkan, hampir seluruh kekuatan politik besar PDIP dan golkar, setuju
untuk membiarkan SBY-Budiono sampai akhir jabatan pada 2014 mendatang.
Berbagai konflik seperti kasus pertambangan dan memakan korban,
ketidakadilan sistim peradilan nasional yang lebih memihak yang bermodal, dll. Dan
terjadi dari tingkatan daerah sampai nasional,
menciptakan suatu kondisi ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah, bahkan
terjadi perlawanan di beberapa daerah.
Perkembangan terakhir ini, secara wacana ada dua gagasan yang
sedang berkembang dalam arena politik nasional. Pertama: pandangan politik liberal yang diwakili oleh kekuasaan SBY-Budiono
(pro-neoliberalisme) dengan politik kompromis yang patuh pada kepentingan
politik klienisme-nya dan politik imperialisme.
Kedua: gagasan yang mengusung isu kemandirian ekonomi dan
kedaulatan ekonomi yang di wakili oleh
kelompok progresif dalam negeri.
Dalam praktek politiknya, kedua gagasan di atas mengangkat dua isu
yang berbeda. Kelompok pertama senantisa mengangkat isu korupsi dan revolusi etik
sebagai solusi bangsa. Persoalan penjajahan imperialisme tidak menjadi konsen
isu mereka. Beberapa alasan dapat kita uraikan terhadap penggunaan isu korupsi
yang menjadi konsen kampanye politik pemerintah: pertama: pada prinsipnya
kita tidak sepakat dengan korupsi (pencurian) karena menggerogoti uang rakyat
(APBN), begitupun neoliberalisme selalu menginginkan sebuah pemerintan yang
baik (Good and Clean Governance) dalam
kerangka mengamankan investasi modal mereka dari keserakahan kelompok-kelompok
politik tertentu. Pemerintahan SBY-Budiono
sangat mengakomodasi kepentingan neoliberalisme dan pencitraan politiknya
dengan mengangkat isu korupsi. Sehingga, semangat kampanye anti korupsi tidak
ditujukan untuk mengamankan kapital nasional, melainkan sebagai semangat
pencitraan kepada dunia internasional bahwa negara ini sudah mulai membaik guna
menarik investasi asing. Kedua: melalui isu korupsi
pemerintah (Pro-neolib), melalui peranan aktif media mengarahkan kesadaran
rakyat, bahwa korupsilah sumber utama persoalan yang menciptakan kemiskinan,
pengangguran, pendidikan mahal, kesehatan mahal, naiknya harga sembako dll. Kenyataannya,
anti korupsi dalam pandangan masyarakat menjadi sebuah kebenaran atau telah
menjadi focus perhatian. Hal ini, berkonsekuwensi memanipulasi kesadaran
politik rakyat. Padahal, sumber dari segala ketimpangan sosial di masyarakat
disebabkan oleh keberpihakan ekonomi politik pemerintah pada imperialisme. Ketiga: isu korupsi oleh pemerintahan neolib
(SBY-Budiono) dijadikan penghadang isu kedaulatan dan kemandirian nasional yang
sedang berkembang di nasional.
Pertarungan antara KPK dan POLRI yang sedang hangat, merupakan
pertarungan dua alat imperialisme. Korupsi selain telah mengakar sebagai
tradisi elit politik juga merupakan alat imperialisme. Dikatakan alat
imperialisme karena semangatnya adalah melindungi capital asing dalam APBN
maupun dalam bentuk utang negara. Pemberantasan korupsi tidak akan terwujud tanpa
adanya perubahan sistim dan mental politik elit. Semangat pemberantasan korupsi
haruslah diarahkan pada tujuan kedaulatan kekayaan bangsa bukan pada semangat
mengamankan modal asing, bahkan secara sadar KPK adalah alat Imperialisme.
Begitu pula POLRI yang sudah begitu banyak memberikan bukti yang menunjukan
bahwa mereka adalah alat Imperialisme. Ada dugaan bahwa drama ke-II antara KPK versus POLRI sengaja dimunculkan kembali
guna memuluskan beberapa hal. Pertama,
ada upaya dari beberapa faksi jenderal di kepolisian untuk menjatuhkan
kredibilitas Kapolri Timur Pradopo yang banyak disebut-sebut sebagai Kapolri
konsesi. Kedua, ada upaya dari
beberapa politisi untuk memuluskan beberapa RUU yang merupakan perangkat
fundamen dari modal asing, seperti RUU KAMNAS, RUU Ormas dll. Ketiga, drama tersebut digunakan sebagai
pendongkrak citra pemerintahan SBY dan kroninya yang sempat mengalami penurunan
ekspektasi publik.
Sementara, kelompok kedua yang mengusung gagasan kedaulatan bangsa,
mengkampanyekan isu kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi. Sebagai
manifestasi dilapangan politik, kelompok ini begitu tegas melakukan kritik
terhadap sistem pemerintahan. Gerakan ini dilandasi perjuangan nasionalisme,
demokrasi dan kemanusian. Dalam pandangan kelompok ini, apa yang dialami oleh
bangsa ini adalah dampak dari penjajahan bangsa asing. Yang kemudian
menjadikannya sebagai musuh pokok dalam perjuangannya. Mereka menggugat
berbagai undang-undang yang tidak memihak kepentingan rakyat. Situasi inilah
yang membawa pertentangan imperialisme semakin terlihat dalam oleh rakyat. Makin
hari, makin banyak bermunculan berbagai bentuk perlawanan rakyat di media-media
nasional maupun local, terutama sekali dalam hal penolakan terhadap operasi
perusahaan pertambangan maupun perkebunan asing.
C. Situasi Pendidikan Nasional
Secara fundamen belum ada perubahan pada sistim pendidikan
nasional. Dasar pendidikan kita adalah kapitalisme, seperti Karl Marx pernah
menyimpulkan bahwa pendidikan adalah alat bagi kapitalisme untuk mencangkokan
nilai, paham dan instrument baku masyarakat kapitalisme. Dimasa-masa pemerintahan
soekarno pendidikan ditujukan untuk kemanusian. sebab itu, muatan pendidikannya
adalah tentang nasionalisme, kemanusian, demokrasi dan kemerdekaan. Beda pula
pendidikan pada zaman orba, pendidikan berubah jadi komoditi dan manusia yang
dihasilkan adalah robot-robot industri. . Ada beberapa paket UU yang bisa jadi catatan, bagaimana arah pendidikan
nasional mengarah ke komersialisasi pendidikan. Diantaranya; UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Dalam PP No.60 dan 61
Tahun 1999 tentang BHMN, RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah,
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang kemudian dibatalkan oleh MA
dan yang terakhir adalah paket Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU No. 12 Tahun
2012).
Pendidikan kita (UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) merupakan
pendidikan komersialisasi. UU PT hanyalah penyempurnaan dari pelaksanaan konsep
PP no.60 dan 61 tahun 1999 soal BHMN. Dalam konsep ini di perkenalkan soal
otonomi pendidikan yang diharapkan lembaga pendidikan lebih otonom dalam
menggali dana dan lepas dari beban anggaran pemerintah. Karena tanggung jawab
negara di hilangkan, maka kampus/lembaga pendidikan harus menggali dana sendiri
dari masyarakat.
UU PT (pendidikan Tinggi) sangat jelas, bahwa semangat utama dari UU ini
adalah swastanisasi pendidikan karena negara di hapuskan tanggung jawabnya dan
selajutnya di serahkan dalam mekanisme pasar. Hingga saat ini, perguruan tinggi swasta
diindonesia sekitar 3.017 PTS, 50 PTN khusus, dan 83 PTN umum. Jika pengelolaan
pembiayaan kampus tampa control pemerintah, peluang penyimpangan sangat besar.
Mutu pendidikan kita juga sangat pro pasar dan buruk karena orientasi
pendidikan (kurikulum) adalah pasar tenaga kerja (labour market), sehingga jurusan,
study, dan spesialsiasi keilmuan sekedar disesuaikan dengan kebutuhan pasar.
Selain itu, melalui RUU PT, pemerintah mengizinkan perguruan tinggi
asing membuka cabang di Indonesia. Padahal, sejak tahun 2000 ekspor jasa
pendidikan Amerika mencapai Rp 126 triliun. Karena itu, kepentingan untuk
memasukkan jasa pendidikan asing di Indonesia justru semakin menghancurkan
orientasi pendidikan nasional.
D.
Posisi dan Sikap politik LMND
Posisi
Terhadap Persoalan Ekonomi:
1. Tetap
mengkampanyekan Kembali ke Pancasila dan UUD 1945 sebelum amandemen secara
jujur dan konsisten
2. Mendorong
kontrol negara dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama hasil tambang,
pertanian, kehutanan, kelautan, dsb.
3. Proteksi
terhadap pasar di dalam negeri, khususnya untuk menampung produk industri
menengah dan kecil di dalam negeri.
Posisi
Terhadap Persoalan Politik;
1. Mendesak
pencabutan seluruh UU pro-neoliberal;
2. Terus
mengerjakan penggalangan front nasional yang luas
Posisi
terhadap persoalan Pendidikan:
Eksekutif Nasional Akan melakukan
Judicial review terhadap UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidkan Tinggi. Dalam proses
ini, diharapkan pada kawan-kawan Liga di Eksekutif Wilayah, Eksekutif Kota dan
Eksekutif Komusariat melakukan serangkaian kegiatan rutin dalam bentuk diskusi
internal, diskusi public, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya, dalam kerangka
meluaskan isu penolakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi.