Senin, 25 November 2013
Oleh :
Panji Mulkillah
Ahmad[1]
Kawan SD, SMP, maupun SMA kita, kini
banyak yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Padahal mereka ingin sekali ke
pendidikan tinggi. Mau tidak mau, mereka menjadi buruh, tani, atau bahkan
sialnya jadi pengangguran. Bagi mereka, yang terpenting adalah bertahan hidup
dari jerembab kuasa rezim yang najis ini. Bagaimana mereka hendak kuliah? Kalau
uang gedung atau uang pangkalnya saja paling kecil 5 juta rupiah. Itu paling
kecil. Sedangkan untuk mendapat kampus bermutu, setidaknya harus merogoh kocek
belasan, puluhan, hingga ratusan juta.
Bermula Dari Pungutan Uang Pangkal
Uang pangkal adalah pungutan paksa
yang harus dibayarkan mahasiswa baru untuk dapat mengakses kuliah. Disebut
pungutan paksa, karena bila tidak dilaksanakan maka tidak bisa kuliah. Uang
pangkal ini namanya bermacam-macam. Ada SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi),
POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa), BOPP (Biaya Operasional Pendidikan Tinggi),
BFP (Biaya Fasilitas Pendidikan). Tapi apapun namanya, besarannya tidak jauh
beda. Fungsi dari uang pangkal ini tidak jelas, karena biasanya tidak pernah
ada transparansi mengenai untuk apa sajakah uang pangkal ini digunakan.
Fenomena uang pangkal ini terjadi
pada fase-fase reformasi. Melalui penyepakatan GATS (General Agreement of Trade
and Services), pendidikan tinggi dijadikan salah satu sektor jasa yang dapat
diperdagangkan secara bebas. GATS ini adalah cikal bakal WTO (World Trade
Organization), dan Indonesia bergabung di dalamnya. Dari sini ada peralihan
persepsi dimana tadinya pendidikan bukanlah komoditi, kemudian diubah menjadi
komoditi. Proses yang demikian disebut komodifikasi pendidikan. Posisi negara
tidak lagi menjamin hak manusia, tapi menjadi pelayan penguasa modal. Negara
dibuat sebisa mungkin mengurangi intervensinya atas pasar, termasuk dalam
membiayai pendidikan. Tujuannya jelas, yakni laba bagi penguasa modal. Dari
sini, dapat terlihat bahwa peran Internasional mempengaruhi sistem pendidikan
nasional.
Dampaknya dalam regulasi nasional
adalah salah satunya pasca Undang-Undang BHP dihapuskan oleh Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 31 Maret tahun 2010, dua minggu kemudian tepatnya 17
April 2010, World Bank mengeluarkan dokumen Indonesia lewat proyek Managing
Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank Dunia
untuk bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun renstra pendidikan nasional
yang berbunyi begini, “A new BHP must be passed to establish the independent
legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), there
by making BHMN has a legal subset of BHP”[2]. Inilah cikal bakal pemerintah
menyusun Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT).
UU PT adalah reinkarnasi dari UU
BHP, semangat neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam
pasal 62, diatur bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan
sendiri kampusnya. Masih sama dengan konsep UU BHP, salah satu wewenang dari
otonomi perguruan tinggi ini adalah dengan membentuk unit bisnis dan
mengembangkan harta abadi. Dalam pasal 73 ayat (1) mengatur mengenai pola
penerimaan mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah
sebelumnya, yakni melegalisir penerimaan mahasiswa baru selain penerimaan
mahasiswa secara nasional. Tidak berhenti disitu, dalam Pasal 91 ayat (2) huruf
a mengatur bahwa masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui
organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industri. Bahasa sarkastiknya ialah,
dalam hal ini pihak swasta menginginkan lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja
untuk kepentingan pemodal. Dan masih banyak masalah lainnya.
Nah,
di dalam paragraf dua saya berujar bahwa fenomena uang pangkal terjadi
fase-fase reformasi. Itu artinya, sebelum reformasi tidak ada pungutan uang
pangkal. Yang ada hanyalah SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan). Kalaupun ada
uang gedung, itu tidak dipungut secara paksa, melainkan sukarela. Lalu mengapa
kemudian ada uang pangkal? Sekiranya argumen dalam paragraf diatas cukup
mewakili sebagai basis argumen kenapa ada uang gedung.
Yang pertama, pengurangan anggaran pendidikan tinggi kepada perguruan tinggi.
Logika pendidikan sebagai komoditi mengharuskan pemerintah mengurangi
intervensinya dalam hal pembiayaan pendidikan. Hal ini membuat perguruan tinggi
mengalami kesulitan finansial untuk membiayai keperluan operasional dan
sebagainya. Yang kedua, otonomi kampus. Namun yang dimaksud bukanlah otonomi
akademik, melainkan otonomi pengelolaan. Kampus yang telah direduksi jatah
anggarannya, mau tidak mau dituntut inovatif mencari uang dari tempat lain
selain negara. Maka didirikanlah hotel kampus, bengkel, rumah sakit berbayar,
bisnis lahan parkir, dan sebagainya. Namun itu bukan yang utama. Yang utama
adalah uang pangkal. Dengan asumsi otonomi kampus, uang pangkal menjadi memungkinkan
untuk dilaksanakan, karena memang kampus dituntut mandiri untuk membiayai
urusannya sendiri. Yang ketiga, wewenang untuk menyimpan harta abadi. Disinilah
pengubahan watak perguruan tinggi yang tadinya hanya sebagai ajang
penyelenggaraan pendidikan, menjadi ajang bisnis. Anehnya, tidak pernah diatur
untuk apa bisnis itu dibuat. Tidak ada regulasi yang mengatur, misalnya, bahwa
laba bisnis tersebut digunakan untuk mengurangi beban biaya mahasiswa. Yang
terjadi adalah bahwa laba bisnis tersebut justru dikorupsi[3]. Wewenang
tersebut berfungsi untuk semakin memperkuat basis asumsi Yang pertama dan Yang
kedua. Ketiga hal inilah yang menjadikan, mengapa posisi perguruan tinggi kokoh
berdiri.
UKT Sebagai (Sekedar) Revisi Atas Rezim Uang Pangkal
Pendidikan tinggi yang beroperasi dengan corak uang pangkal, ternyata
menimbulkan protes. Mahasiswa, terutama orangtua mahasiswa banyak yang tidak
sanggup. Di banyak kasus di jawa tengah, orangtua kerap menggadaikan hartanya
seperti traktor, motor, dan lainnya untuk membiayai anaknya menempuh pendidikan
tinggi. Sekiranya banyaknya aksi yang terjadi selama rezim uang pangkal tidak
perlu saya jabarkan disini, karena saya yakin kawan-kawan mahasiswa di kampus
masing-masing yang paling tau detil protesnya.
Runtuhnya rezim uang pangkal bukan serta merta karena unsur eksternal dari
sistem, semisal seperti maraknya gerakan massa yang melakukan protes. Namun,
juga karena rezim uang pangkal ini pada dasarnya adalah pungli atau pungutan
liar. Suatu pungutan dapat diketegorikan pungli bila ia tidak berdasar hukum,
atau berdasar hukum yang bertentangan dengan dasar hukum yang lebih tinggi.
Uang pangkal, biasanya memiliki dasar hukum berupa Surat Keputusan maupun
Peraturan Rektor. Dasar hukum uang pangkal biasanya berpayung pada pasal 114
Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan sebagai berikut
:
Pasal 114
(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah
perolehan dana perguruan tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut
:
a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);
b. Biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;
c. Hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran
dan fungsi perguruan tinggi;
d. Hasil penjualan produk yang diperoleh dari
penyelenggaraan pendidikan tinggi;
e. Sumbangan dan hibah dari
perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga non-Pemerintah; dan
f. Penerimaan dari masyarakat lainnya.
Wewenang untuk memungut uang dari
masyarakat dijadikan landasan untuk memungut uang pangkal. Padahal, di sisi
lain ada pula berbagai aturan yang telah membatasi mengenai pungutan uang
pangkal.
Dalam pasal 52 huruf h Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, dinyatakan bahwa
pungutan oleh satuan pendidikan dalam rangka memenuhi tanggung jawab peserta
didik, orang tua atau walinya, tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan
akademik untuk penerimaan peserta didik. Namun dalam prakteknya, uang pangkal
adalah syarat supaya bisa mengakses pendidikan tinggi.
Lalu, berdasarkan Kepmenkeu Nomor
115 tahun 2001, dinyatakan bahwa baik SPP maupun uang pangkal pada dasarnya
adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Karenanya, mengenai SPP maupun
uang pangkal harus tunduk pada UU Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP. Nah, dalam
pasal 3 ayat (2), diatur bahwa setiap PNBP harus diatur dengan undang-undang
maupun peraturan pemerintah. Disinilah letak kecacatan uang pangkal. Pada
umumnya, uang pangkal hanya diatur melalui Peraturan Rektor saja sebagai legitimasi
untuk menarik dana kepada mahasiswa, lalu dijadikan pemasukan dalam bentuk
PNBP. Padahal, supaya bisa disebut PNBP, haruslah diatur dengan undang-undang
maupun peraturan pemerintah, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Terlebih,
dalam pasal 88 ayat (5) diatur bahwa, supaya menjadi legal, satuan biaya
haruslah berdasar hukum pada peraturan menteri.
Hal-hal inilah yang membuat posisi
uang pangkal menjadi jelas, bahwa ia merupakan pungli. Uang pangkal memang
berdasar hukum, akan tetapi dasar hukumnya itu bertentangan dengan dasar hukum
yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi dasar pemerintah memberlakukan sistem
pembayaran baru yakni Uang Kuliah Tunggal atau UKT. Yang perlu digarisbawahi,
pada dasarnya UKT hanyalah wujud baru dari uang pangkal yang telah ada.
Pada tanggal 9 April 2012, Rektor
se-Indonesia berkumpul bersama DIKTI dalam rangka pembahasan Uang Kuliah
Tunggal yang selanjutnya disebut UKT. Adapun UKT berlandaskan pada Surat Edaran
DIKTI No. 21/ E/T/2012, dan Surat Edaran Dikti No. 274/E/T/2012. Selain itu
juga ada Surat Edaran No. 305/E/T/2012 tentang Larangan Kenaikan Biaya Kuliah.
Pada perkumpulan tersebut, akhirnya ada 3 universitas yang mengiyakan sistem
UKT, yakni Unsoed, UNS, dan UNJ. Ada pula jenis UKT lain yang kini sudah
diberlakukan di seluruh PTN di Indonesia , yakni UKT melalui Permendikbud No.55
tahun 2013 tentang Uang Kuliah Tunggal. Jadi, secara faktual ada 2 jenis UKT.
Yang pertama, UKT 2012 yakni UKT yang berlandaskan Surat Edaran dan Peraturan
Rektor di UNS, UNJ, dan Unsoed. Yang kedua, UKT 2013, yakni UKT yang
diberlakukan untuk angkatan 2013 berdasarkan Permendikbud No. 55 tahun 2013.
UKT yang menjadi fokus bahasan di
bawah ini adalah UKT jenis kedua. Hal ini dikarenakan UKT yang pertamasudah
jelas kedudukannya, bahwasanya ia adalah pungli. Disebut pungli, karena tidak
berlandaskan hukum melalui UU maupun Peraturan Pemerintah. UKT 2012 hanya
berlandaskan Peraturan Rektor. Meski begitu, sampai tulisan ini terbit, UKT
2012, terkhususnya di Unsoed, masih menjadi pokok sengketa di PTUN Semarang.
Kebenaran akan sah tidaknya UKT 2012 menunggu ketuk palu sang hakim.
UKT adalah sistem pembayaran kuliah
yang menggantikan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). UKT meniadakan
pemungutan uang gedung, wisuda, almamater, dan segala pungutan lain karena
semua dijadikan satu pembayaran bernama UKT. Adapun besaran UKT didasarkan pada
sebuah Unitcost, yakni seluruh kebutuhan penyelenggaraan kampus.Unitcost , yang
selanjutnya disebut UC tidaklah semuanya dijadikan dasar UKT, akan tetapi hanya
sebagian saja. Akan tetapi, dalam UKT 2013 tidak lagi menggunakan bahasa
Unitcost, melainkan Biaya Kuliah Tunggal. Namun maknanya sama saja.
Berikut adalah ilustrasi yang mungkin dapat mudah
menggambarkan sistem UKT:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-B9pwEHmYp2A7ynqAzrBZeGVyFn_ReVBuF2iuz0T_f6TwDIpzIB5NID-txn8ohaGD-69YHiuhk1L1cEbwpo2x9onCg4ah19qzhUjMoMJAFgP8CJhHQEhKbPS_L_5sQ-S3UTUB4lxaV2c/s320/Unbenannt.png
Lain halnya dengan rezim SPP dan
rezim uang pangkal, UKT memasukkan pemain baru dalam sistemnya yakni BOPTN.
Adapun BOPTN dalam pasal 1 Permendikbud Nomor 58 Tahun 2012 tentang BOPTN,
bahwa Bantuan operasional perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah
yang selanjutnya disebut BOPTN merupakan bantuan biaya dari Pemerintah yang
diberikan pada perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan biaya
operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan sumbangan pendidikan (SPP) di
perguruan tinggi negeri. Dari skema di atas dapat digambarkan bahwa BOPTN
memiliki peran penting dalam menentukan UKT dan BOPTN. Semakin besar BOPTN,
semakin kecil pula UKT yang harus ditanggung mahasiswa.
Lalu ada pula sistem pembayaran
berbasis level ekonomi. Dalam Pasal 4 Permendikbud tentang UKT, mengatur
tentang pembayaran berbasis level ekonomi. Jadi, semakin rendah tingkat
ekonominya maka ia akan membayar UKT semakin murah. Ada 5 level dalam sistem
UKT. Level 1 sampai 2 biasanya bernominal kisaran 0 sampai 1 juta rupiah per
semesternya. Sedangkan level 3 sampai 5 berarti diatas 1 juta sampai puluhan
juta. Sistem pembayaran berbasis level ini digunakan oleh pemerintah untuk
menganggulangi orang-orang yang tidak mampu mengakses pendidikan tinggi.
Dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada UKT, yang menggantikan rezim
pungutan uang pangkal, apakah ini berarti tidak ada kritik atas UKT? Sistem UKT
banyak digembar-gemborkan sebagai sistem yang baik. Namun pada dasarnya, UKT
hanyalah merevisi kebijakan bobrok yang sebelumnya. Uang pangkal, sebagaimana
telah kita pahami adalah pungli. Memang, UKT dalam hal ini selintas bukanlah
pungli, karena ia berdasarkan hukum pada Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang dapat dikategorikan juga sebagai produk Peraturan Pemerintah.
UKT telah memenuhi syarat-syarat yang tidak dipenuhi rezim uang pangkal. Namun
itu hanyalah persoalan formal belaka. Secara formal UKT memang legal, tetapi
secara materiil tidak. UKT tidak lain dan tidak bukan hanyalah akumulasi pungli
dari masa ke masa yang di buat seolah-olah legal.
Bila menggunakan kacamata matematis,
maka jika kita menyatakan suatu biaya pendidikan adalah murah, bilamana biaya
pendidikan itu turun harganya dari yang sebelumnya. Namun hal ini tidak terjadi
pada UKT. Berikut adalah tabel mengenai sampel sederhana di kampus saya, yakni
Fakultas Hukum Unsoed, bagaimana UKT tidak membuat biaya semakin murah[4] :
Angkatan
|
Nama
Satuan Biaya
|
Besaran
|
Volume
|
Jumlah
|
Total
|
2008
|
POM
(Persatuan Orangtua Mahasiswa)
|
2 juta
atau lebih
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.2.000.000
|
RP.11.975.000
|
SPP
(Sumbangan Pembinaan Pendidikan)
|
1,1 juta
pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
KKN
(Kuliah Kerja Nyata)
|
Rp.1.850.000
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.1.850.000
|
||
Wisuda
|
Rp.625.000
|
Sekali
|
Rp.625.000
|
||
2009
|
BOPP (Bantuan
Operasional Pembiayaan Pendidikan)
|
5 juta
atau lebih
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.5000.000
|
Rp.14.975.000
|
SPP
|
1,1 juta
pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
Biaya
Pendidikan
|
Rp.1.850.000
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.1.850.000
|
||
KKN
|
Rp.625.000
|
Sekali
|
Rp.625.000
|
||
Wisuda
|
1,1 juta
pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
2010
|
BOPP
|
5 juta
atau lebih
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.5000.000
|
Rp.14.975.000
|
SPP
|
1,1 juta
pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
Biaya
Pendidikan
|
Rp.1.850.000
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.1.850.000
|
||
KKN
|
Rp.625.000
|
Sekali
|
Rp.625.000
|
||
Wisuda
|
1,1 juta
pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
2011
|
BFP (Biaya
Fasilitas Pendidikan)
|
5 juta
atau lebih
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.5000.000
|
Rp.14.975.000
|
SPP
|
1,1 juta
pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
KKN
|
Rp.1.850.000
|
Sekali sebelum
masuk kuliah
|
Rp.1.850.000
|
||
Wisuda
|
Rp.625.000
|
Sekali
|
Rp.625.000
|
||
2012
|
UKT (Uang
Kuliah Tunggal)
|
2,5 juta
atau lebih
|
Tiap
semester
|
Rp.20.000.000
|
Rp.20.000.000
|
Sumbangan
Murni
|
Mulai dari
0 rupiah atau lebih
|
Tiap semester
|
|||
2013
|
UKT
|
Rp.2.500.000
|
Tiap
semester
|
Rp.20.000.000
|
Rp.20.000.000
|
Jumlah biaya ini disusun dengan
catatan bahwa ini adalah harga paling rendah, dalam artian bahwa di dalam
praktek, bisa jadi mahasiswa membayar lebih dari ini. Bila kita cermati, dari
tahun 2008 sampai 2013 saja, telah terjadi kenaikan biaya pendidikan sebesar
67%. Itu artinya UKT tidak menyelesaikan masalah, namun hanyalah membawa
masalah baru dengan logika sistem yang direvisi.
Pertanyaan selanjutnya : “Bukankah
BOPTN dapat membantu UKT menjadi lebih murah?”. Asumsi ini dibuat pemerintah
untuk meyakini bahwa BOPTN semakin lama akan semakin besar dan UKT semakin
kecil. Kita perlu mewaspadai penggunaan istilah “Bantuan”. Menurut
Darmaningtyas dalam bukunya yang berjudul Manipulasi Kebijakan Pendidikan,
istilah “bantuan” dalam BOPTN, BOPTS (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
Swasta), dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) merupakan bahasa dengan logika
berpikir perusahaan. Dalam hal demikian, “Bantuan” tak lebih dari sebuah
amal,charity, maupun CSR (Corporate Social Responsibility). Nah, konsekuensinya
adalah, maka Bantuan ini sifatnya tergantung kedermawanan pemerintah. Sehingga pemerintah
telah tereduksi perannya sebagai penjamin hak pendidikan, menjadi donatur
pendidikan. Ini adalah logika yang dianut oleh sistem pendidikan nasional di
negara kita.
Kemudan perihal pembayaran berbasis
level ekonomi. Seringkali, hal inilah yang diunggulkan dalam UKT. Untuk orang
“kaya”, ia bisa masuk level 3 sampai 5. Untuk orang “miskin”, ia bisa masuk
level 1 sampai 2. Sistem ini dianggap sistem yang humanis, dimana “yang kaya
bayar mahal, yang miskin boleh murah”. Namun asumsi “kaya” dan “miskin” ini
sangat lemah dalam argumentasi. Bahkan bila kita menggunakan perspektif
stratifikasi sosial pun, seharusnya ada 1 golongan lagi, yakni golongan
“menengah”. Golongan “menengah” mempunyai persoalan dimana mereka
terombang-ambing (secara harta kekayaan) dihadapkan oleh situasi. Kelak mereka
bisa jadi lebih kaya, kelak pula bisa menjadi miskin. Sistem UKT tidak
mengantisipasi bagaimana seandainya terjadi keluarga mahasiswa yang tadinya
menengah menjadi miskin. Sistem UKT menganggap hanya ada kaya dan miskin,
sehingga menengah digolongkan sebagai kaya. Namun ketika suatu saat si menengah
menjadi miskin, ia tetap digolongkan sebagai kaya, karena sewaktu registrasi,
ia berstatus orang kaya.
Tidak berhenti sampai situ, sistem
pembayaran berbasis level ekonomi dalam Permendikbud tentang UKT pun
bertentangan dengan dasar hukum yang lebih tinggi, yakni UU Pendidikan Tinggi.
Dalam pasal 74 UU Pendidikan Tinggi, dikatakan bahwa PTN wajib menerima
mahasiswa berprestasi tapi kurang mampu secara ekonomi sebanyak 20% yang
tersebar di setiap Prodi. Sementara, Permendikbud tentang UKT mengatur bahwa
yang dapat masuk UKT level 1 ialah 5% dan level 2 adalah 5% saja. Ini berarti
ada selisih 10% yang dikorupsi oleh Sistem UKT. Dari sini dapat terlihat bahwa
UKT sendiri berupaya mencuri-curi kesempatan dengan cara yang seolah legal[5].
Pondasi argumen dalam rezim uang
pangkal dan UKT tidaklah jauh berbeda, sehingga pasti selalu ada problem dalam
logika sistem yang dibangun. Keduanya tidak mengubah bangunan yang ada di
perguruan tinggi. Berikut adalah ilustrasi perbandingan pondasi yang mendukung
keberlangsungan perguruan tinggi :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizinufhUqCf50muedO2oZDi0kZfMAWxgWvgVfiK8ihAkW8f-gr4aP8Xlpx6w-z2K8T8zR4ebmG0vAyEk8WJf7MYINt3PjxTv8p8XWnq-o7GlU0INQN6UbtdZHpaU39C60Z519AhXCbmK8/s320/pondasi.png
Simpulan
UKT merupakan revisi dari rezim uang
pangkal, yang mana UKT hanya melegalisasikan pungli-pungli terdahulu. Revisi
UKT atas rezim uang pangkal pun mengandung cacat karena tidak mampu
menyelesaikan masalah objektif. UKT tidak mengubah pondasi kebobrokan perguruan
tinggi, yakni otonomi, harta abadi, dan perampasan hak pendidikan atas
mahasiswa.
Solusi
1. Menggratiskan pendidikan tinggi, sebagai target
maksimum.
2. Kembali ke sistem SPP dengan pembayaran yang murah
berbasis kesukarelaan dan kemampuan ekonomi, sebagai target minimum.
***
[1] Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Unsoed 2010, Relawan
Riset Hukum Savesoedirman, Pemimpin Umum LPM Pro Justitia FH Unsoed, dan
Anggota Front Mahasiswa Nasional Ranting Unsoed.
[2] Risalah Sidang Perkara No 103/PUU-X/2012 dan No
111/PUU-X/2012 , hlm 21
[3] Seperti yang terjadi pada Edy Yuwono Ph.D, Rektor
Unsoed yang menjadi tersangka korupsi unit bisnis BLU dengan PT.Antam pada
tahun 2013
[4] Arsip LPM Pro Justitia FH Unsoed
[5] Namun bila kita teliti lagi mengenai jumlah
partisipasi orang miskin yang dapat mengakses pendidikan tinggi, ini juga masih
tidak adil meskipun kita mengacu pada UU Pendidikan Tinggi. Jumlah 20% tidak
akan mungkin cukup untuk menampung orang miskin yang berprestasi. Menurut M.Nuh
saja, dalam tahun 2011 hanya sekitar 18% siswa SMA yang sanggup mengakses
perguruan tinggi. Itu artinya ada 82% yang tidak sanggup, sementara UU
Pendidikan Tinggi hanya mematok angka 20%. Ini sangat jelas membatasi akses
pendidikan, karena angka 20% tidak sesuai dengan kondisi objektif di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar