“Setiap
warga Negara berhak mendapatkan pendidikan,” begitulah kalimat yang termaktub
dalam pasal 31 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fakta bahwa
pendidikan termasuk dalam hal dasar yang harus dipenuhi oleh seluruh warga
Negara tercermin di tiap-tiap ayat dalam pasal 31 UUD 1945 tersebut. Output
yang diharapkan memang sudah sepatutnya terwujud, yaitu pendidikan dapat
dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, Namun fakta di
lapangan berbicara lain, masih banyak realita yang bertentangan dengan amanat
pasal 31 UUD 1945 ini.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) mengenai sensus penduduk
Indonesia tahun 2010 silam, tercatat bahwa penduduk usia 7-12 tahun (SD)
sebanyak 27.840.900 jiwa dan sebanyak 94,89% jiwa yang terserap ke bangku
sekolah dasar. Untuk penduduk usia 13-15 tahun (SMP) terdapat 13.408.650 jiwa
dan sebanyak 84,24% yang bisa mengenyam bangku SMP. Masih sama dengan kasus
sebelumnya yaitu pada penduduk usia 16-18 tahun (SMA) terdapat 12.455.244 jiwa
dan hanya 52,78% jiwa yang bisa terserap ke bangku SMA. Kasus terakhir yaitu
dialami oleh penduduk usia 19-24 tahun (kuliah) terdapat 23.902.077 jiwa dengan
daya resap ke Perguruan Tinggi hanya sebesar 15,09% jiwa. [1]
Data
di lapangan mempertontonkan dengan jelas bahwa tiap naik jenjang pendidikan
daya serapnya semakin berkurang, jika ditanya mengapa, jawabannya hanya ada
dua, pertama karena memang kurang tersedianya instansi pendidikan terkait dan
kurangnya tenaga pendidik sehingga daya tampung tak mencukupi, dan yang kedua
karena pendidikan yang sudah ada tak mampu diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat. Untuk menjawabnya tak bisa jika hanya dipahami dari segi realita
yang ada saat ini, namun liberalisasi khususnya liberalisasi pendidikan sudah
menjadi alur dan mendarah daging sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Harus
dimaknai asal muasal terjadinya liberalisasi pendidikan agar bisa memahami alur
sistem yang ada. Serta harus melihat alur jauh kebelakang untuk memahami
kompleksitas dari liberalisasi pendidikan.
Era Bretton Woods System.
Bermula
dari terbentunya Bretton Woods System pada tahun 1944 menjelang selesainya
Perang Dunia ke II inilah awal saling kait terkaitnya liberalisasi
pendidikan.Bretton Woods System ini hadir berkat gagasan J.M Keyness dari
Inggris dan Harry Dexter White dari AS, keduanya memiliki keinginan untuk
mengakhiri konflik domestik Negara dan menstabilkan perekonomian dunia akibat
The Great Depression yang terjadi di tahun 1930an dan Perang Dunia ke II di tahun
1939-1945. Sistem ini menjadikan US dollar sebagai satu-satunya mata uang yang
dapat dikonversi menjadi emas, standar inilah yang menjadi dasar sistem moneter
internasional yang disebut dengan fixed exchange rate. Dengan system ini
perekonomian dunia cenderung akan stabil karena berstandar emas, dan kala itu 1
ons emas jika dikonversikan menjadi 35 USD.
Bretton
Woods System yang ditandatangani 44 negara di desa Bretton Woods Negara bagian
New Hampshire itu selain menciptakan fondasi sistem moneter baru di dunia
(fixed exchange rate), juga menghasilkan organ-organ keuangan dunia yang
nantinya menggerogoti kedaulatan Negara-negara anggotanya, organ tersebut tak
lain adalah IMF (International Monetary Fund) dan IBRD (International Bank for
Reconstruction and Development). IMF fokus pada permasalahan moneter dunia
sedangkan IBRD concern terhadap rekonstruksi dan pembangunan Negara-negara yang
hancur akibat PD II. Di tahun 1945 berdiri WB (World Bank) yang concernterhadap
investasi luar negeri dan modal. IBRD pun dimasukkan menjadi bagian dari World
Bank. Merasa belum cukup dengan dua organ tersebut, pada tahun 1947 berdirilah
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang mengatur tarif-tarif dan
perdagangan bebas dunia.
Berjalannya
Bretton Woods System dengan dimotori oleh tiga organ dunia tersebut mampu
menjawab keterpurukan Negara-negara pasca PD II dengan hasil yang cukup
signifikan. Jeffrey Frieden pun mengatakan “fixed exchange rate” yang
diterapkan olehBretton Woods System merupakan system moneter internasional
terbaik”. Bretton Woods System mampu menjawab kebutuhan Jepang yang hancur
pasca PD II dengan menstimulus perekonomian Jepang hingga mampu pulih kembali
beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1952, di Eropa berhasil terbentuk ECSC (The
European Coal & Steel Community) sebagai dasar perkembangan perdagangan
di Eropa, itupun berkat stimulus Bretton Woods System. Tak tanggung-tanggung,
pada tahun 1971 pun berhasil terbentuk European Community.
Namun
kestabian perekonomian dunia tak berlangsung lama, 26 tahun kemudian tepatnya
pada tahun 1970 terjadi depresi besar yang mengakibatkan keseimbangan neraca
pembayaran USD terhadap emas. Hal itu disebabkan karena perang AS vs Vietnam
yang memakan banyak biaya, ketika nilai dollar anjlok terhadap emas, Negara-negara
Eropa lainnya yang memiliki banyak devisa menukarkan hampir semua dollar yang
mereka punya ke AS untuk ditukarkan dengan emas, karena memang dollar AS lah
yang mampu dikonversi menjadi emas, dan menjual kembali ke pasar dengan harga
yang lebih tinggi. Hal ini pun membuat persediaan emas di Fort Knox AS menurun
drastis. Akhirnya Presiden Nixon mengakhiri pengaitan dollar ke emas dengan
mengakhiri Bretton Woods System. Dengan berakhirnya sistem Bretton Woods sama
dengan mengakhiri fixed exchange rate, dan setelah fixed exchange rate berakhir
maka sistem moneter internasional berganti menjadi floating exchange rate.
Era Washington Consensus dan WTO
Berakhirnya
fixed exchange rate berarti pertanda hilangnya kestabilan perekonomian dunia,
karena standar emas sudah tidak lagi digunakan. Menghadapi situasi yang tak
stabil ini M. Friedman menyempunakan gagasan neoliberal dengan membawa
Departemen Keuangan AS, IMF dan World Bank pada suatu perundingan yang disebut
dengan Washington Consensus pada tahun 1989.
Dalam
buku “What Washington Means by Policy Reform” karangan John Williamson,
tercatat bahwa ada 10 rekomendasi dari hasil Konsensus Washington untuk
mengatasi masalah-masalah pertumbuhan dan perkembangan Negara berkembang, dan
ada beberapa yang berkaitan dengan masalah pendidikan, yakni; 1)Pengarahan
pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di
sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan
dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah. 2)Liberalisasi pasar dengan
menghapus restriksi kuantitatif. 3)Penerapan perlakuan yang sama antara
investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik investasi
asing langsung. 4)Privatisasi BUMN. [2]
Dengan
adanya Konsesus Washington yang menerapkan prinsip neoliberal ditambah dengan
sistem floating exchange rate berhasil membawa dunia menuju liberalisasi.
Merasa
kurang dengan keberadaan GATT, akhirnya pada tahun 1994, GATT bereformasi
menjadi WTO (World Trade Organization) yang agendanya menjadi pokok bahasan
pada putaran Uruguay GATT di Maroko. Satu cacatan penting yang harus digaris
bawahi, Indonesia pun tergabung di dalamnya setelah meratifikasi“Agreement
Establishing The World Trade Organization” dalam bentuk UU No.7 Tahun 1994.
Dengan meratifikasi perjanjian tersebut sama saja dengan menyetujui seluruh
hasil perundingan GATT di putaran-putaran sebelumnya meskipun Indonesia belum
bergabung kala itu, yang bahasannya mengenai pengurangan hambatan perdagangan
internasional dengan mereduksi hambatan tarif dan non-tarif. Karena tujuan
pembentukan WTO adalah untuk membuat prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan
dalam rangka meliberalisasi perdagangan internasional. [3]
Era GATS dan Dimulainya Liberalisasi
Pendidikan.
Tahun
2000 menjadi tempat Putaran Doha WTO yang membahas mengenai liberalisasi
perdagangan dunia. Dalam putaran ini membahas mengenai liberalisasi 12 sektor
jasa terhadap Negara-negara anggota, salah satunya adalah jasa pendidikan.
Namun Indonesia masih belum menyetujui liberalisasi jasa pendidikan karena
Indonesia menawarkan 5 jasa selain jasa pendidikan untuk diliberalisasi, yaitu
jasa konstruksi, jasa telekomunikasi, jasa bisnis, jasa angkutan laut, jasa
pariwisata, dan jasa keuangan.[4] Putaran ini menjadi awal ratifikasinya GATS
(General Agreement on Trade in Service) yang mencakup liberalisasi 12 sektor
jasa.
Tindak
lanjut dari Putaran Doha menghasilkan terbentuknya UU No.20 tahun 2003 mengenai
Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). UU ini mengatur akan harus adanya
otonomi dalam hal lembaga pendidikan. UU ini pun menuai banyak kontroversi,
salah satunya pada pasal 50 ayat 6 dalam UU Sisdiknas yang mengatakan
“Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola
pendidikan di lembaganya.” Serta dalam pasal 53 nya membahas mengenai BHP
(Badan Hukum Pendidikan). Meskipun dalam pasal 53 tentang BHP disebut nirlaba
namun kenyataan bahwa Perguruan Tinggi mengelola keuangannya secara mandiri
memberikan konsekuensi besar bahwa dana pendidikan yang menjadi tanggung jawab
orang tua seperti yang dijelaskan dalam pasal 46 ayat 1 tersebut menjadi
semakin besar dan lebih besar akibat adanya otonomi pendidikan yang merupakan
bentuk liberalisasi pendidikan.
Pada
Desember 2005, Indonesia menyetujui liberalisasi 12 sektor jasa dengan
meratifikasi GATS. Pada ratifikasi GATS pada Konferensi Tingkat Menteri di
Hongkong ini pun secara resmi membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya akan
12 sektor jasa, yakni; 1) jasa bisnis, 2)jasa komunikasi, 3) jasa konstruksi
dan teknik terkait, 4)jasa distribusi, 5)jasa pendidikan, 6)jasa lingkungan,
7)jasa keuangan, 8)jasa kesehatan dan sosial, 9)jasa wisata dan perjalanan,
10)jasa rekreasi, budaya dan olahraga, 11)jasa transportasi, dan 12)jasa-jasa
lain yang belum tercantum. [5]
Pertemuan
Konferensi Tingkat Menteri di Putaran Hongkong itupun menjadi awal Indonesia
meliberalisasi jasa pendidikan, yaitu dengan meliberalisasi; 1) jasa pendidikan
menengah tehnikal dan advokasi, 2) jasa pendidikan tinggi tehnikal dan
advokasi, 3) jasa pendidikan tinggi, 4) jasa pelatihan dan kursus bahasa, 5)
jasa pendidikan dan pelatihan sepakbola dan catur. [6]
Persis
setelah Indonesia membuka selebar-lebarnya pada dunia akan liberalisasi
pendidikannya, langsung ada 6 negara yang menawarkan Indonesia kerjasama dalam bidang
pendidikan, yaitu Australia, AS, Jepang, Cina, Korsel, dan Selandia Baru.
Mengingat saat itu populasi Indonesia sejumlah 210 juta jiwa dan yang terserap
di Perguruan Tinggi hanya 14% dari jumlah umur 19-24 tahun. [7]
Liberalisasi dalam Konteks Pendidikan
Tinggi
Pada
tahun 2007 muncul RUU BHP dan legalisasinya menjadi UU BHP terjadi pada tahun
2009 dalam UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU BHP muncul
akibat amanat pasal 53 UU Sisdiknas untuk membentuk Badan Hukum Pendidikan.
Namun karena banyak pasal-pasal yang bertentangan dan merugikan masyarakat
akhirnya UU BHP gagal saat diuji materi atau judicial review oleh MK(Mahkamah
Konstitusi) pada Maret 2010 silam. Namun ternyata Pemerintah memang tak
kehabisan akal dengan menyiapkan RUU PT (Pendidikan Tinggi) yang kemudian
legalisasinya menjadi UU PT terjadi pada 13 Juli 2012 silam. Di UU PT ini pun
banyak pasal yang bertentangan dan meresahkan banyak kalangan masyarakat,
contoh kongkritnya adalah saat konsep otonomi pendidikan tinggi yang sudah di
judicial review ke MK saat UU BHP dibawa lagi kedalam UU PT dan disetujui DPR.
Entah apa yang dipikirkan oleh pemerintah?
Berbicara
mengenai liberalisasi pendidikan memang tak bisa jika hanya dilihat dari
realita saat ini, namun apa daya jika semua itu sudah menjadi pesanan asing dan
diatur dalam ratifikasi GATS pada tahun 2005 lalu. Sejak itupun bermunculan
sistem-sistem yang sangat-sangat jelas mengkomersialisasikan pendidikan.
Mungkin terasa percuma jika UU BHP digagalkan oleh MK dan kini masyarakat masih
menunggu hasiljudicial review UU PT oleh MK, misalkan UU PT kembali digagakan
oleh MK, maka pemerintah pasti akan mencari cara lain untuk menciptakan RUU RUU
lain dengan substansi yang sama yaitu meliberalisasi pendidikan, mengapa?
Karena memang hal ini sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjalankan
perjanjian GATS untuk meliberalisasi jasa pendidikan sejak 2005 lalu.
Hal
ini sudah menjadi alur dan sudah menjadi sistem global. Apakah pemerintah mampu
memproteksi pendidikan dalam negeri untuk melindungi peserta didik?? Jawabannya
adalah tidak, kekuatan nasioal tidak berarti apa-apa jika dibandingkan kekuatan
global (red: WTO dan GATS). Jika pendidikan mau murah dan terlepas dari
intervensi asing, maka Indonesia harus memutuskan dulu hubungan antara
Indonesia dengan WTO serta perjanjian GATS. Namun apakah itu mungkin??
jawabannya adalah tidak, Indonesia sangat bergantung pada The Unholy Trinity
(IMF, WB, WTO) dan jika Indonesia melepaskan hubungan dengan 3 organ dunia
tersebut, entah akan jadi seperti apa Indonesia, selain mendapatkan sanksi
internasional yang cukup berat, Indonesia juga akan menjadi Negara terpuruk
karena seluruh bantuan internasional akan berhenti dan meninggalkan Indonesia.
Lalu kita harus apa?? Apakah memang sudah menjadi takdir kalau pendidikan akan
mahal karena liberalisasi pendidikan?? Bukankah liberalisasi pendidikan sangat
bertentangan dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945?? Pertanyaan-pertanyaa itu hanya
membisu saat pemerintah terus dan terus saja menjual kedaulatan negaranya pada
asing!!
Wahai
mahasiswa, wahai rakyat Indonesia, apakah kalian rela jika pendidikan dijadikan
sebagai komoditas yang bisa diperjual belikan???
***
Muhammad
Ali Husein
Mahasiswa
Hubungan Internasional 2011
Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik
Universitas
Jenderal Soedirman
Staf
Kementerian Advokasi BEM FISIP Unsoed Kabinet Spektakuler
***
[1]
Sensus Angka Partisipasi Sekolah BPS (Badan Pusat Statistik) Tahun 2010.
[2]
Williamson, John, “What Washington Means by Policy Reform”.
[3]
Malanczuk Akehurst’s, Peter. 1997, “Modern Introduction of International Law”.
[4]
Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 10.
[5]
Indonesia for Global Justice; GATS Informasi Dasar.
[6]
Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 10-11.
[7]
Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi” hlm. 2.
Referensi
:
Effendi,
Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Seputar Indonesia, 12-13
Maret 2007
Frieden,
Jeffrey A. 2006. “The Bretton-Wood System in Action”, dalam Global Capitalism:
Its Fall and Rise in the Twentieth Century. New York: W.W. Norton & Co