Ada pepatah yang
menyebut, di balik pria yang sukses selalu ada peran perempuan berjiwa besar.
Kenyataan serupa kurang lebih berlaku dalam dunia aktivisme. Tak banyak orang
tahu bahwa di balik perjuangan para petani Jambi yang tak kenal lelah itu, ada
peran perempuan pemberani.
Novellia Yulistin, salah seorang perempuan yang
mengobrak-abrik paham patriarki yang menempatkan kaumnya selalu dalam posisi
dilemahkan, seolah harus dilindungi, harus di dapur, kasur, atau cukup sumur.
Memang, dia bukan perempuan kantoran yang punya jam kerja reguler, dan lalu
begitu saja merasa telah pantas dicap sebagai pelaku emansipasi.
Lebih dari itu, perempuan bersapaan Novel itu
telah lama mengabdikan diri untuk perjuangan rakyat kecil merebut hak-hak
mereka yang diabaikan negara. Akhir-akhir ini, Novel larut dalam pendampingan
kelompok petani Jambi yang hendak menggedor Istana Negara Jakarta dengan
berjalan kaki dari daerah mereka. Untuk hal itu, dia sudah merelakan kedekatan
dengan suami dan sepasang buah hatinya, Ava Riviera Yadi (7,8) dan Aksel
Zenecha Yadi (2,8).
Novelia adalah alumni Universitas Bandar
Lampung. Sekarang, perempuan kelahiran 19 Juli 1981 itu menjabat Ketua
Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Lampung. Dia sangat sadar, larut dalam
dunia aktivis sosial akan mengorbankan banyak kepentingan privat. Dan itulah
yang terjadi, kedua anaknya ngambek kepadanya.
"Sebagai ibu, saya tentu sedih," kata
Novel saat berbincang dengan Rakyat Merdeka Online, beberapa waktu lalu.
Untuk mendampingi petani yang melakukan "Aksi
Jalan Kaki 1000 KM Jambi-Istana Negara" dia harus meninggalkan kedua
bocahnya selama berpekan-pekan. Hari ini adalah hari ke-24 para petani
berjalan. Hampir sepanjang waktu itu, Ava dan Aksel di bawah asuhan nenek
mereka dan adik Novel.
Sebagai seorang ibu, perasaan rindu kepada anak
selalu hadir. Di tengah kesibukan mengadvokasi petani Jambi, Novel beberapa
kali menyempatkan waktu untuk menelepon kedua buah hatinya. Anak yang paling
besar, kata Novel, kerap menanyakan kapan dirinya pulang ke rumah. Hatinya
makin sedih ketika suatu kali dia berbicara dengan Aksel yang tengah dilanda
sakit demam. "Pulang Ma. Aksel sakit. Obatnya pahit."
Ketika mendengar anaknya sakit, Novel tersentuh
dan ingin rasanya segera pulang. Namun, ibu muda itu juga tak mengerti mengapa
hasrat itu tak kunjung dipenuhinya. Perasaan sedih yang menggelayut selalu dia
singkirkan.
Sampai satu saat, Novel menelepon kembali ke rumah
untuk bicara dengan anaknya. Betapa terkejutnya dia ketika ada nada penolakan
dari si sulung. "Ngapain mama nelpon?" Sesak Novel mendengar
perkataan anak yang dilahirkannya. Dia sadar bahwa Ara semakin kritis.
Menurut dia, apa yang dilakukannya selama ini juga
bagian dari memperjuangkan masa depan anak-anaknya, dan masa depan semua anak
bangsa ini.
"Bagaimana nasib anak-anak kita kalau
negara terus menindas rakyatnya," ujarnya.
Novel pertama kali berorganisasi saat duduk di
bangku kuliah. Dia aktif sebagai pengurus organisasi kesenian bergaris
kerakyatan (seni pembebasan).
Di tahun 2004, kiprahnya dalam organisasi
kerakyatan melesat. Dia merambah ke berbagai organisasi ekstra kampus seperti
Komite Perempuan Lampung dan Komite Pembebasan Seni Budaya Rakyat. Di tahun itu
pula, Novel menjadi Ketua Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Lampung.
Uji materi pengoranisiran dimulainya di tengah
kalangan muda Lampung, organisasi Seni Budaya Pelajar di Bandar Lampung,
membentuk sanggar belajar gratis untuk kaum miskin Bandar Lampung dan
sebagainya. Tak terhitung banyaknya dia terlibat dalam advokasi pendidikan anak
dari keluarga miskin, advokasi jaminan kesehatan daerah (jamkesda) dan
pembagian kartu jamkesda dan penanganan konflik agraria.
Seperti diakuinya sendiri, kerja advokasi selalu
meninggalkan kesan tersendiri. Dengan demikian dia bertemu banyak orang dan
belajar mengenal karakter orang. Novel semakin dalam mengetahui persoalan
sehari-hari rakyat kelas bawah. Salah satu pengalaman yang tak terlupakan Novel
adalah ketika dia mengorganisir kelompok preman dan bandar narkoba. Saking
dekatnya Novel dengan mereka, istri para preman cemburu dan melabraknya.
"Saya dekat dengan preman tujuannya agar
mereka bersatu," ucapnya enteng.
Selama tenggelam dalam aktivisme , Novel mengaku
kenyang akan intimidasi, sampai akrab dengan nasi basi.
Pergaulannya dengan kelompok tani dimulai saat
melakukan advokasi melawan perusahaan yang menggunakan preman di register 45
Mesuji Lampung. Ia ikut memimpin warga untuk mencabut patok tanah. Petani resah
karena lahan yang sudah mereka tanami diklaim oleh pihak lain.
Kedua orangtua awalnya tidak tahu sepak terjang
dia. Namun, setelah tahu apa yang dilakukan Novel positif, orangtuanya
mendukung dan berpesan agar selalu menjaga kepercayaan yang diberikan orang
lain.
Sempat dia memutuskan cuti dari segala aktivisme
kerakyatan setelah hidup berumahtangga. Tapi tak bertahan lama. Pada 2010 lalu,
Novel kembali ke jalanan karena alasan yang sangat "klise", tak tahan
melihat penindasan negara yang kian menjadi-jadi.
Sumber ; http://m.rmol.co/news.php?id=92741 RMOL / Rakyat Merdeka Online, ditulis oleh Henry Ginting pada 4 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar