Sabtu, 28 September 2013 | 14:53 WIB
Tahun ini genap empat belas tahun
sudah berlalunya salah satu peristiwa pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi
di Lampung, tepatnya pada 28 September 1999, dan berlokasi persis di depan
gedung kampus Universitas Bandar Lampung (UBL).
Peristiwa itu dicatat oleh NGO Kontras sebagai aksi kekerasan aparat TNI /
POLRI terbesar yang menimpa gerakan mahasiswa di Lampung, dengan jatuhnya
korban sekitar 44 orang mahasiswa luka-luka dan dua orang mahasiswa Universitas
Lampung tewas, yakni Saidatul Fitria “Atul” dan M. Yusuf Rizal “Ijal”.
Barangkali hanya sedikit masyarakat Lampung yang mengingatnya, atau bahkan
lebih banyak lagi yang tak mau ambil tahu, tapi janganlah sampai kita—meminjam
istilah mendiang Gus Dur—‘menjadi Bangsa pelupa yang hebat.
Sebuah Malapetaka
Sebenarnya peristiwa ini sudah lebih dulu populer dengan sebutan Tragedi 28
September / UBL Berdarah. Namun, saya lebih suka merujuk pada istilah
malapetaka dalam konsepsi Max R Lane, seorang Indonesianis yang telah banyak
memberi curahan perhatian pada upaya pelurusan sejarah politik Indonesia.
Menurutnya, kata tragedi berasal dari istilah berbahasa Inggris yang
bermakna sebagai peristiwa menyedihkan dan patut disesali, ibarat suatu
kecelakaan yang tak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Sementara istilah
malapetaka dirasa lebih layak disematkan pada berbagai peristiwa kekerasan dan
pembunuhan sistematik yang direncanakan oleh pemegang
status quo
terhadap orang-orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, namun dianggap
mengganggu seperti peristiwa ini (Lane, 2012).
Benar saja, Malapetaka 28 September/ UBL Berdarah ini memang tak bisa kita
pandang secara atomik, terpisah dari kejadian lainnya yang serupa. Peristiwa
ini adalah bagian utuh dari rangkaian kekerasan dan pembunuhan sistemik yang
dilakukan oleh aparat bersenjata selama kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru,
bahkan masih terus berlanjut hingga masa setelahnya. Khususnya ini terjadi
sepanjang bulan September 1999, dimana mahasiswa di hampir seluruh wilayah
Indonesia yang masih dalam nuansa
euphoria reformasi, melakukan aksi
demonstrasi menolak rencana penerapan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB)
dan RUU Rakyat Terlatih (Ratih) yang dianggap bertentangan dengan
semangat demokratisasi dan memberi peluang kembali menguatnya Dwi Fungsi ABRI.
Puncaknya terjadi setelah peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999,
dimana aparat menembak mati Yap Yun Hap mahasiswa UI dan 16 orang lainnya di
Jakarta. Sontak gerakan mahasiswa di berbagai daerah meresponnya lewat aksi
solidaritas dengan tuntutan yang sama. Namun, reaksi pemerintah dan aparatnya
justru semakin mengeras hingga meletus aksi represif serupa di Lampung, dimana
Ijal aktivis Cakrawala FISIP Unila tewas terkena tembakan peluru tajam di dada
dan lehernya, sementara Atul aktivis Teknokra Unila yang sedang meliput tewas
setelah kepalanya dipopor senapan, selanjutnya menyusul pada 5 Oktober di
Palembang, Meyer Ardiansyah mahasiswa ABI tewas setelah dipukuli dan ditusuk
sangkur oleh aparat.
Demonstrasi mahasiswa di Lampung ini dilakukan setelah ratusan gabungan
aliansi mahasiswa melakukan aksi
long march dari kampus Unila menuju
Makoramil Kedaton, persis di seberang kampus UBL, mereka meminta bendera merah
putih dikibarkan setengah tiang dan komandan Koramil menandatangani surat
dukungan penolakan RUU PKB dan ditolak. Setelah berunding, disepakati mahasiswa
akan menumpang 20 bus menuju kantor Gubernur dan melanjutkan aksinya,
namun mendadak situasi berubah menjadi
chaos, dan meski mahasiswa telah
berlindung masuk areal kampus UBL, aparat tetap menyerbu masuk dan melakukan
penembakan, penangkapan, pemukulan, serta perusakan kendaraan dan gedung hingga
setelahnya perkuliahan harus diliburkan.
Hutang Sejarah
Untungnya malapetaka ini di Lampung tidak benar-benar dilupakan. Setiap
tahunnya masih ada saja kelompok mahasiswa yang mengenang perjuangan generasi
pendahulunya tersebut. Bahkan meski belum terlaksana, sejak 2008 lalu Rektorat
Unila sempat menjanjikan nama Atul menjadi nama bagi gedung PKM Unila,
sedangkan nama Ijal menjadi nama salah satu gedung di FISIP Unila. Selain itu
juga, nama Saidatul Fitria telah diabadikan oleh Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) menjadi acara penghargaan tahunan bagi karya jurnalistik yang bertanggung
jawab dan memiliki dampak perubahan di masyarakat.
Dalam tulisan ini, sekali lagi saya mengajak kita semua untuk tidak hanya
mengingat dan mengenang mereka yang tewas dalam memperjuangkan demokrasi di
Indonesia ini, sekedar sebagai korban pelanggaran HAM
an sich. Mereka
berhak mendapatkan apresiasi lebih tinggi lagi dari kita yang menikmati buah
perjuangannya sekarang ini. Mereka adalah juga pahlawan Bangsa, pelopor
perubahan yang dengan sadar berjuang dan berkorban demi terwujudnya kehidupan
masyarakat Indonesia yang lebih demokratis. Terlebih cita-cita mereka tentang kehidupan
ber-Bangsa yang adil dan makmur belumlah sepenuhnya terwujud. Bahkan sekarang
ini telah kembali muncul berbagai regulasi yang berpotensi membungkam demokrasi
dan memberi jalan bagi terulangnya kembali kekuasaan lalim yang otoriter
melalui UU Kamnas, UU Intelejen, UU Komcad, UU Ormas dan sebagainya.
Meski dalam persitiwa ini ada pihak yang secara tak langsung mengaku
bertanggung jawab, yakni pernyataan Dandenpom II/3 Sriwijaya Lampung Letkol CPM
Bagus Heru Sucahyo menyatakan bahwa dirinya sudah mengamankan proyektil peluru
pada tubuh korban dan saat itu Dema Unila pun telah menerima surat permintaan
maaf dari Danrem 043 Gatam, Kol. Inf. Mudjiono, namun kelanjutan kasusnya tak
pernah dituntaskan. Lembaga-lembaga
stakeholder seperti Komnas HAM RI,
Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk TNI, haruslah lebih pro aktif berupaya
menuntaskannya selayak mungkin. Bagaimanapun, malapetaka haruslah diakui dengan
kesatria dan dipertanggungjawabkan dengan bijaksana. Jika tidak selamanya ini
akan terus menghantui kita, menjadi hutang sejarah kepada generasi
penerus Bangsa ini.
Saddam Cahyo,
sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(LMND) Wilayah Lampung dan Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung
(Unila)